Dalam khazanah bahasa Arab dan lebih khususnya lagi dalam konteks keagamaan Islam, terdapat sebuah kata yang memiliki resonansi mendalam, mengandung implikasi teologis, filosofis, dan bahkan psikologis yang kaya: abtar. Kata ini, meskipun singkat, sarat makna dan seringkali disalahpahami atau kurang dieksplorasi secara komprehensif. Artikel ini akan menyelami berbagai dimensi makna ‘abtar’, dari akar linguistiknya hingga manifestasinya dalam sejarah dan relevansinya dalam kehidupan kontemporer, terutama berdasarkan perspektif Islam.
Secara etimologi, kata ‘abtar’ (أبتر) berasal dari akar kata بتر (b-t-r) yang secara harfiah berarti "terpotong," "terputus," atau "terpisah." Makna dasarnya merujuk pada sesuatu yang kehilangan bagian ujungnya, seperti hewan yang ekornya terpotong, atau sesuatu yang tidak lengkap. Namun, dalam penggunaannya, terutama dalam Al-Quran, makna ini meluas jauh melampaui arti harfiahnya, menyentuh aspek-aspek kehidupan yang lebih abstrak seperti keberkahan, keturunan, dan warisan spiritual.
Dalam kamus-kamus bahasa Arab klasik, 'abtar' memiliki beberapa definisi yang saling terkait:
Penting untuk memahami bahwa dalam budaya Arab pra-Islam, memiliki keturunan laki-laki adalah lambang kekuatan, kelangsungan nama, dan kehormatan suku. Seseorang yang tidak memiliki anak laki-laki dianggap "terputus" garis keturunannya, namanya akan hilang setelah kematiannya, dan warisannya tidak akan berlanjut secara fisik. Konsep ini adalah kunci untuk memahami mengapa ejekan 'abtar' begitu menyakitkan dan mengapa Al-Quran menanggapi tuduhan ini dengan begitu serius.
Konsep 'abtar' mendapatkan sorotan paling terang dalam sejarah Islam melalui penurunannya dalam Al-Quran, khususnya Surah Al-Kawthar (Surah ke-108). Surah ini adalah surah terpendek dalam Al-Quran, namun sarat dengan makna dan perlindungan ilahi bagi Nabi Muhammad SAW.
Pada masa awal dakwah Nabi Muhammad SAW di Mekah, beliau menghadapi berbagai macam tekanan, ejekan, dan permusuhan dari kaum Quraisy. Salah satu bentuk ejekan yang paling pedih adalah tuduhan bahwa beliau adalah 'abtar'. Ejekan ini muncul setelah wafatnya putra-putra Nabi Muhammad, Al-Qasim dan Abdullah (disebut juga At-Tayyib dan At-Thahir), yang meninggal dunia saat masih bayi. Beliau juga memiliki putra bernama Ibrahim dari Mariah Al-Qibtiyah, yang juga wafat di usia muda.
Dalam tradisi Arab, kematian anak laki-laki tanpa penerus dianggap sebagai kemalangan besar. Musuh-musuh Nabi, terutama tokoh-tokoh seperti Al-'As ibn Wa'il, Abu Lahab, dan lainnya, memanfaatkan peristiwa ini untuk merendahkan beliau. Mereka berkata, "Sesungguhnya Muhammad adalah seorang 'abtar', tidak memiliki anak laki-laki yang akan melanjutkan keturunannya. Setelah dia meninggal, namanya akan terputus dan tidak akan ada lagi yang mengingatnya." Tujuan mereka adalah untuk merusak moral Nabi dan menunjukkan bahwa risalahnya tidak memiliki masa depan.
Sebagai respons langsung terhadap ejekan kejam ini, Allah menurunkan Surah Al-Kawthar. Surah ini berbunyi:
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
اِنَّآ اَعْطَيْنٰكَ الْكَوْثَرَۗ
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْۗ
اِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْاَبْتَرُۗ
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.
Sungguh, Kami telah memberimu (Muhammad) Al-Kawthar.
Maka laksanakanlah salat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah).
Sungguh, orang-orang yang membencimu dialah yang terputus (dari rahmat Allah).
Ayat ketiga, اِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْاَبْتَرُۗ (inna shani’aka huwal abtar), adalah titik sentral pembahasan kita. Ayat ini secara tegas menolak tuduhan musuh dan membalikkan narasi. Allah menyatakan bahwa justru orang yang membenci Nabi-lah yang akan menjadi 'abtar', bukan Nabi Muhammad SAW. Ini adalah penegasan ilahi tentang keagungan dan kelanggengan warisan Nabi.
Para mufassir (penafsir Al-Quran) telah banyak membahas makna 'Al-Kawthar' dan 'abtar' dalam surah ini:
Kata 'Al-Kawthar' (الكوثر) secara harfiah berarti "melimpah ruah," "banyak sekali kebaikannya," atau "berkah yang tak terhingga." Ada beberapa penafsiran utama:
Dengan menganugerahkan Al-Kawthar, Allah menunjukkan kepada Nabi bahwa Dia akan memberinya kebaikan yang tak terhingga, baik di dunia maupun di akhirat, yang jauh lebih besar dan lebih langgeng daripada sekadar keturunan laki-laki.
Ayat terakhir Surah Al-Kawthar adalah pernyataan tegas dari Allah SWT. Ini bukan hanya penolakan, tetapi juga sebuah nubuat. Orang-orang yang mencela Nabi Muhammad SAW sebagai 'abtar' (terputus) justru merekalah yang akan benar-benar terputus. Terputus dari apa?
Inti dari pesan ini adalah bahwa kemuliaan sejati bukan terletak pada jumlah anak laki-laki atau kekayaan materi, melainkan pada hubungan seseorang dengan Allah SWT dan pada jejak kebaikan yang ditinggalkannya di dunia. Nabi Muhammad SAW, dengan risalahnya, telah meninggalkan warisan yang tak terhingga dan tak terputus, jauh melampaui segala ekspektasi manusia.
Meskipun konteks historis 'abtar' sangat spesifik, maknanya dapat diperluas untuk memahami berbagai aspek kehidupan manusia yang lebih universal. Konsep 'terputus' ini dapat menjadi peringatan dan refleksi bagi kita semua.
Ini mungkin adalah bentuk 'abtar' yang paling menakutkan. Seseorang yang terputus dari rahmat Allah adalah mereka yang enggan beribadah, menolak kebenaran, berbuat dosa secara terus-menerus tanpa taubat, dan hatinya mengeras. Mereka mungkin memiliki segalanya di dunia, tetapi merasa hampa, gelisah, dan tidak menemukan kedamaian. Kebaikan tidak lagi menyentuh hati mereka, dan mereka terputus dari sumber kehidupan spiritual.
Seorang Muslim sejati selalu berusaha menjaga tali hubungannya dengan Allah, karena ia tahu bahwa tanpa hubungan itu, ia akan menjadi 'abtar' dalam arti yang paling fundamental, kehilangan arah dan makna hidup.
Dalam Islam, ada konsep amalan jariyah, yaitu amalan yang pahalanya terus mengalir meskipun seseorang telah meninggal dunia. Ini seperti ilmu yang bermanfaat, sedekah jariyah (wakaf, pembangunan fasilitas umum), atau anak saleh yang mendoakan orang tuanya. Seseorang yang hidupnya hanya untuk kesenangan pribadi, tidak meninggalkan jejak kebaikan, dan tidak berinvestasi pada akhirat, bisa disebut 'abtar' dalam konteks ini. Ketika ia meninggal, amalannya pun terputus. Sebaliknya, orang yang meninggalkan banyak kebaikan, namanya dan pahalanya akan terus hidup.
Manusia adalah makhluk sosial. Terputus dari komunitas, hidup dalam isolasi karena keangkuhan, kezaliman, atau egoisme, juga bisa menjadi bentuk 'abtar'. Orang yang tidak memiliki hubungan baik dengan sesama, tidak peduli dengan orang lain, dan tidak memberi manfaat bagi masyarakat, pada akhirnya akan diabaikan dan terlupakan. Kontribusinya minim, dan ketika ia tiada, kehadirannya tidak terasa bermakna.
Seseorang yang enggan belajar, tidak menyebarkan ilmu yang bermanfaat, atau tidak menghasilkan karya intelektual yang berarti, juga bisa menjadi 'abtar' dalam konteks ini. Ilmu adalah warisan. Jika ilmu tidak diajarkan, tidak ditulis, atau tidak dikembangkan, maka akan terputus dan hilang. Sebaliknya, seorang ulama, ilmuwan, atau pendidik yang meninggalkan warisan ilmu pengetahuan akan dikenang dan ilmunya terus memberi manfaat bagi generasi mendatang.
Para penguasa atau pemimpin yang zalim, yang membangun kekuasaan mereka di atas penindasan dan ketidakadilan, seringkali memiliki akhir yang 'abtar'. Kekuasaan mereka mungkin besar pada masanya, tetapi setelah mereka tiada, nama mereka akan dicela, dan warisan mereka akan dihancurkan. Sebaliknya, pemimpin yang adil dan berbakti akan dikenang dengan hormat dan ajarannya akan terus menginspirasi.
Mengingat makna multidimensional dari 'abtar', bagaimana kita dapat memastikan bahwa kita tidak termasuk dalam golongan yang 'terputus'?
Ini adalah fondasi utama. Melalui ibadah yang ikhlas, zikir, doa, membaca Al-Quran, dan berusaha menaati perintah-Nya, kita membangun jembatan yang kokoh dengan Sang Pencipta. Hubungan ini adalah sumber keberkahan yang tak akan terputus.
Nabi Muhammad SAW, meskipun menghadapi banyak kesedihan pribadi, tidak pernah terputus dari Allah. Justru kesabaran dan ketabahannya dalam menghadapi cobaan adalah bukti hubungannya yang kuat dengan Ilahi, yang kemudian membawanya pada anugerah Al-Kawthar. Ini mengajarkan kita bahwa kekayaan sejati ada pada ketakwaan dan keimanan.
Setiap Muslim diajak untuk berinvestasi pada akhirat dengan melakukan amalan jariyah. Ini bisa berupa:
Dengan melakukan hal-hal ini, kita memastikan bahwa "buku amalan" kita tidak terputus setelah kematian, dan warisan kebaikan kita terus mengalir.
Berinteraksi dengan sesama dengan akhlak mulia, saling tolong-menolong, menyebarkan kebaikan, dan menjadi anggota masyarakat yang produktif akan mencegah kita dari keterputusan sosial. Kehadiran kita akan dirindukan, dan kepergian kita akan meninggalkan kesan yang baik.
Tuduhan 'abtar' kepada Nabi Muhammad SAW adalah ujian kesabaran yang luar biasa. Namun, beliau menghadapinya dengan tawakal dan keyakinan pada janji Allah. Dalam kehidupan, kita mungkin menghadapi cobaan yang membuat kita merasa "terputus"—kehilangan pekerjaan, kegagalan, atau kehilangan orang yang dicintai. Dalam momen-momen ini, penting untuk bersabar, merenungi hikmah di balik setiap takdir, dan tetap berpegang teguh pada harapan akan rahmat Allah. Jangan sampai cobaan membuat kita terputus dari-Nya.
Pelajaran dari Surah Al-Kawthar juga mengajarkan kita untuk tidak terpaku pada kuantitas (misalnya, jumlah anak laki-laki) sebagai tolok ukur kesuksesan atau kehormatan. Yang lebih penting adalah kualitas spiritual dan dampak kebaikan yang kita ciptakan. Nabi Muhammad SAW, meskipun memiliki sedikit keturunan laki-laki yang hidup hingga dewasa, meninggalkan warisan kualitas kenabian dan risalah yang mengubah dunia.
Di era modern ini, konsep 'abtar' masih sangat relevan. Manusia seringkali mengukur keberhasilan dengan metrik duniawi: kekayaan, kekuasaan, popularitas, atau jumlah pengikut di media sosial. Namun, Al-Quran melalui Surah Al-Kawthar memberikan perspektif yang berbeda.
Berapa banyak individu yang, meskipun memiliki kekayaan melimpah atau jabatan tinggi, akhirnya "terputus" dari kebahagiaan sejati, kedamaian batin, atau bahkan dari ingatan positif masyarakat setelah mereka tiada? Sebaliknya, banyak tokoh-tokoh sederhana namun berhati mulia, yang meninggalkan jejak kebaikan dan inspirasi, diingat dan dihormati oleh banyak orang jauh setelah kematian mereka. Mereka tidak 'abtar'.
Fenomena ini menegaskan bahwa warisan yang paling abadi bukanlah yang bersifat materi atau sementara, melainkan yang bersifat spiritual, moral, dan kemanusiaan. Orang yang terputus dari nilai-nilai luhur, dari tujuan hidup yang lebih besar, dan dari hubungan dengan Yang Maha Kuasa, sesungguhnya adalah orang yang 'abtar' dalam makna yang paling hakiki.
Dalam konteks pengembangan diri, 'abtar' juga bisa menjadi peringatan untuk tidak hanya fokus pada "starting point" tetapi juga "finishing line" dari sebuah proyek atau upaya. Sebuah karya yang tidak pernah selesai, sebuah ide yang tidak pernah diwujudkan, atau sebuah janji yang tidak ditepati, bisa dianggap "abtar" karena tidak mencapai tujuan akhirnya atau terputus di tengah jalan, tidak memberikan manfaat maksimal.
Kata 'abtar' (أبتر) lebih dari sekadar istilah linguistik. Ia adalah sebuah konsep yang kaya, terutama dalam konteks Islam, yang membawa pesan moral dan spiritual yang mendalam. Dari ejekan musuh-musuh Nabi Muhammad SAW hingga penegasan ilahi dalam Surah Al-Kawthar, 'abtar' mengajarkan kita tentang sumber kemuliaan sejati, yaitu hubungan yang kokoh dengan Allah SWT, keberkahan yang melimpah (Al-Kawthar), dan warisan kebaikan yang tak terputus.
Nabi Muhammad SAW, yang awalnya diejek sebagai 'abtar', justru menjadi pribadi yang paling tidak 'abtar' dalam sejarah kemanusiaan. Nama beliau senantiasa disebut, ajarannya abadi, dan umatnya terus berkembang. Sementara itu, para pencelanya, yang sejatinya memiliki keturunan fisik, nama mereka justru terputus dari ingatan positif sejarah.
Pelajaran bagi kita adalah untuk tidak pernah merasa 'terputus' dari rahmat dan kasih sayang Allah, senantiasa berbuat baik, meninggalkan jejak yang bermanfaat bagi sesama, dan menjaga tali silaturahim baik dengan Sang Pencipta maupun dengan ciptaan-Nya. Dengan demikian, kita berharap dapat membangun warisan yang abadi dan tidak menjadi 'abtar' dalam kehidupan ini maupun di akhirat kelak.
Semoga artikel ini memberikan pemahaman yang lebih komprehensif dan inspiratif mengenai makna mendalam dari 'abtar' dan bagaimana kita dapat menginternalisasikannya dalam perjalanan hidup kita.
* Artikel ini ditulis berdasarkan penafsiran umum dari Al-Quran dan hadis serta pemahaman linguistik bahasa Arab. Untuk pemahaman yang lebih mendalam, disarankan untuk merujuk kepada ulama dan literatur tafsir yang kredibel.