Adat Bercakap Berelok Elok: Pilar Harmoni Komunikasi Budaya Indonesia
Dalam khazanah budaya Indonesia yang kaya dan beragam, terdapat sebuah prinsip luhur yang menjadi landasan utama interaksi sosial: adat bercakap berelok elok. Frasa ini, meskipun terdengar sederhana, mengandung makna yang sangat dalam dan berfungsi sebagai kompas moral dalam setiap komunikasi. Lebih dari sekadar tata krama atau etiket berbicara, adat bercakap berelok elok adalah manifestasi dari nilai-nilai luhur seperti rasa hormat, empati, kesantunan, kerendahan hati, dan keinginan kuat untuk menjaga harmoni sosial. Ia bukan hanya tentang apa yang diucapkan, melainkan juga bagaimana cara menyampaikannya, dengan siapa berbicara, dan dalam konteks apa percakapan itu berlangsung. Prinsip ini telah diwariskan secara turun-temurun, membentuk karakter masyarakat Indonesia yang terkenal ramah dan penuh sopan santun. Memahami dan mengimplementasikan adat ini berarti menyelami akar kebudayaan yang mengutamakan kebersamaan dan menghindari perselisihan.
Definisi dan Makna Filosofis Adat Bercakap Berelok Elok
Secara harfiah, "adat" berarti kebiasaan, tradisi, atau norma yang berlaku dalam masyarakat. "Bercakap" merujuk pada tindakan berbicara atau berkomunikasi. Sementara itu, "berelok elok" berarti baik, indah, sopan, atau pantas. Jadi, adat bercakap berelok elok dapat diartikan sebagai kebiasaan atau tradisi berkomunikasi dengan cara yang baik, sopan, santun, dan sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Ini bukan sekadar rangkaian kata-kata yang diucapkan, melainkan sebuah seni yang melibatkan pemilihan kosakata, intonasi suara, mimik wajah, gerak tubuh, bahkan heningnya jeda. Keseluruhan aspek ini diatur untuk menciptakan suasana komunikasi yang produktif, harmonis, dan saling menghargai. Tujuan utamanya adalah mencegah konflik, membangun jembatan pemahaman, dan memelihara hubungan baik antarindividu maupun antarkelompok.
Pilar-Pilar Filosofis
Di balik praktik sehari-hari, adat bercakap berelok elok ditopang oleh beberapa pilar filosofis yang mendalam:
- Rasa Hormat (Sopan Santun): Ini adalah fondasi utama. Setiap individu, tanpa memandang status sosial, usia, atau latar belakang, berhak diperlakukan dengan hormat. Hormat di sini bukan hanya ditunjukkan kepada orang yang lebih tua atau berkedudukan tinggi, tetapi juga kepada sesama, bahkan kepada yang lebih muda, dalam konteks membimbing dan mendidik.
- Empati dan Pengertian: Sebelum berbicara, seseorang diajarkan untuk mempertimbangkan perasaan orang lain. Apakah perkataan kita akan menyakiti? Apakah akan disalahpahami? Empati membantu seseorang memilih kata-kata yang paling tepat dan menyampaikannya dengan cara yang paling bijak.
- Harmoni Sosial (Rukun dan Damai): Masyarakat Indonesia sangat menjunjung tinggi keharmonisan. Konflik terbuka seringkali dianggap sebagai hal yang harus dihindari. Adat bercakap berelok elok berfungsi sebagai mekanisme untuk meredam potensi konflik dan menjaga kedamaian dalam komunitas.
- Kerendahan Hati (Andap Asor): Seseorang yang mengamalkan adat ini cenderung tidak sombong atau merendahkan orang lain. Ia sadar bahwa setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan, dan bahwa kebenaran sejati seringkali berada di antara banyak perspektif.
- Kearifan Lokal (Bijaksana): Berbicara tidak hanya tentang menyampaikan informasi, tetapi juga tentang menyampaikan kebijaksanaan. Kata-kata yang dipilih haruslah penuh makna, tidak terburu-buru, dan mencerminkan kematangan berpikir.
Evolusi dan Konteks Historis Adat Ini
Adat bercakap berelok elok bukanlah konsep yang tiba-tiba muncul. Ia adalah hasil dari proses panjang interaksi sosial, pembentukan norma, dan transmisi nilai-nilai dari generasi ke generasi. Akar dari adat ini dapat ditelusuri kembali ke masa masyarakat agraris tradisional Indonesia, di mana kehidupan komunal sangat kuat. Dalam masyarakat seperti ini, kelangsungan hidup dan kesejahteraan bersama sangat bergantung pada kerja sama dan minimnya konflik. Komunikasi yang efektif dan harmonis menjadi kunci untuk mencapai tujuan tersebut.
Sistem kekerabatan yang kompleks, hirarki sosial yang jelas (tetua adat, pemimpin suku, dsb.), serta kepercayaan spiritual yang kuat juga turut membentuk corak komunikasi. Masyarakat pra-modern cenderung lebih kolektif, menempatkan kepentingan komunitas di atas individu. Oleh karena itu, cara bicara yang menyinggung atau merusak tatanan sosial akan sangat dihindari. Sanksi sosial seringkali lebih efektif daripada sanksi hukum formal dalam menjaga kepatuhan terhadap norma-norma ini.
Pengaruh agama-agama besar yang masuk ke Nusantara, seperti Hindu-Buddha, Islam, dan Kristen, juga turut memperkaya dan mengukuhkan nilai-nilai kesopanan dan etika berbicara. Ajaran-ajaran tentang pentingnya lidah yang terjaga, perkataan yang baik, dan menghindari fitnah atau perkataan kotor, menyatu dengan nilai-nilai lokal dan memperkuat fondasi adat bercakap berelok elok.
Manifestasi Praktis dalam Kehidupan Sehari-hari
Adat bercakap berelok elok tidak hanya berupa konsep abstrak, tetapi terwujud dalam berbagai aspek praktis komunikasi di Indonesia. Praktik ini sangat variatif tergantung pada konteks regional dan etnis, namun prinsip dasarnya tetap sama.
1. Pemilihan Kosakata dan Tingkat Bahasa
Di banyak daerah di Indonesia, terutama Jawa dan Sunda, terdapat sistem tingkat bahasa yang ketat (misalnya, Ngoko, Madya, Krama Inggil di Jawa; atau undak-usuk basa di Sunda). Pemilihan tingkat bahasa ini sangat krusial dan harus disesuaikan dengan siapa kita berbicara. Berbicara dengan orang yang lebih tua, orang yang dihormati, atau dalam situasi formal, wajib menggunakan bahasa yang lebih halus dan sopan. Kesalahan dalam pemilihan tingkat bahasa dapat dianggap sebagai bentuk ketidaksopanan atau bahkan penghinaan. Hal ini menunjukkan betapa detailnya perhatian terhadap aspek verbal dalam komunikasi.
- Kata Sapaan dan Panggilan Hormat: Penggunaan "Bapak," "Ibu," "Kakak," "Adik," "Pakdhe," "Budhe," "Eyang," "Om," "Tante" dan variasi regional lainnya sangat penting. Bahkan untuk orang yang tidak memiliki hubungan keluarga, penggunaan sapaan hormat ini menunjukkan pengakuan terhadap keberadaan dan status mereka.
- Menghindari Kata Kasar atau Umpatan: Dalam masyarakat yang menjunjung tinggi adat bercakap berelok elok, penggunaan kata-kata kotor, umpatan, atau makian dianggap sangat tabu dan mencerminkan pribadi yang tidak berbudaya.
- Penggunaan Eufemisme: Seringkali, untuk menghindari konfrontasi atau menyampaikan berita buruk, digunakan eufemisme atau ungkapan yang lebih halus agar tidak menyinggung perasaan lawan bicara.
2. Intonasi dan Nada Suara
Bukan hanya kata-kata, tetapi cara kata-kata itu diucapkan juga sangat diperhatikan. Nada suara yang lembut, tidak terlalu keras, dan tenang mencerminkan ketenangan batin dan rasa hormat. Berbicara dengan nada tinggi, membentak, atau bernada marah, terutama kepada orang yang lebih tua atau dalam forum umum, dianggap sangat tidak etis dan bisa merusak suasana. Intonasi yang tepat dapat mengubah makna sebuah kalimat, dari yang biasa menjadi sangat sopan, atau sebaliknya.
3. Mimik Wajah dan Ekspresi
Ekspresi wajah yang ramah, senyum tipis, dan tatapan mata yang sopan (tidak melotot atau terlalu intens) adalah bagian integral dari komunikasi yang berelok elok. Kontak mata seringkali dijaga, namun tidak berlebihan, terutama saat berbicara dengan orang yang lebih tua atau dihormati. Menunduk sedikit saat berbicara dengan tetua adalah bentuk penghormatan yang umum. Mimik wajah yang tegang, cemberut, atau sinis dapat langsung menandakan ketidaksopanan, meskipun kata-kata yang diucapkan tidak kasar.
4. Gerak Tubuh dan Gestur
Gerak tubuh juga memiliki peran penting. Menunjuk dengan jari telunjuk dianggap tidak sopan; sebagai gantinya, biasanya digunakan ibu jari atau seluruh telapak tangan. Saat berjalan melewati orang yang lebih tua, seringkali sedikit membungkuk dan mengucapkan "permisi" atau "nuwun sewu." Memberi atau menerima sesuatu dengan tangan kanan adalah praktik umum yang menunjukkan penghormatan. Menyilangkan kaki saat duduk di depan orang yang lebih tua juga kerap dianggap tidak sopan.
5. Konteks dan Situasi Percakapan
Adat bercakap berelok elok sangat kontekstual. Cara berbicara akan berbeda-beda tergantung pada:
- Usia dan Status Sosial: Berbicara kepada orang yang lebih tua, guru, atasan, atau tokoh masyarakat memerlukan tingkat kesopanan yang lebih tinggi dan pemilihan kata yang lebih hati-hati.
- Hubungan Kekeluargaan: Tingkat formalitas akan berbeda antara berbicara dengan anggota keluarga dekat dibandingkan dengan orang asing atau kenalan baru.
- Situasi Formal vs. Informal: Rapat adat, upacara keagamaan, atau forum resmi lainnya menuntut bahasa yang lebih baku dan formal, sementara percakapan santai dengan teman bisa lebih rileks, namun tetap menjaga batas kesopanan.
- Topik Pembicaraan: Topik sensitif atau pribadi harus dibahas dengan sangat hati-hati dan empati, menghindari kesan menginterogasi atau menghakimi.
"Lidah itu tak bertulang, tetapi bisa mematahkan hati. Karena itu, jagalah lisanmu."
— Pepatah Lama
Peran Adat Bercakap Berelok Elok dalam Berbagai Aspek Kehidupan
Adat ini bukan sekadar aturan, melainkan fondasi yang menopang berbagai struktur sosial dan budaya di Indonesia.
1. Dalam Keluarga
Keluarga adalah lembaga pertama di mana adat bercakap berelok elok ditanamkan. Anak-anak diajarkan untuk berbicara sopan kepada orang tua, kakek-nenek, dan anggota keluarga lainnya. Penggunaan panggilan hormat, tata krama saat meminta sesuatu, dan cara menyampaikan pendapat yang berbeda adalah pelajaran awal. Lingkungan keluarga yang menjunjung tinggi adat ini akan menumbuhkan anak-anak yang berkarakter baik dan peka terhadap perasaan orang lain.
2. Dalam Pendidikan
Sekolah dan lembaga pendidikan memiliki peran penting dalam melanjutkan penanaman nilai-nilai ini. Guru tidak hanya mengajarkan materi pelajaran, tetapi juga etika berkomunikasi, termasuk cara bertanya, menjawab, atau mengemukakan pendapat di kelas. Adat ini juga tercermin dalam hubungan murid-guru yang penuh hormat.
3. Dalam Masyarakat dan Lingkungan Sosial
Di tingkat komunitas, adat bercakap berelok elok menjadi perekat sosial. Ia memfasilitasi musyawarah dan mufakat, memungkinkan perbedaan pendapat diungkapkan tanpa merusak hubungan. Dalam acara-acara adat, pertemuan RT/RW, atau interaksi sehari-hari dengan tetangga, prinsip ini sangat dijunjung tinggi untuk menjaga kerukunan dan kebersamaan. Contoh paling nyata adalah bagaimana seseorang menyampaikan kritik atau nasihat, seringkali tidak langsung, tetapi melalui metafora atau sindiran halus yang memungkinkan penerima untuk merenungkan tanpa merasa disudutkan.
4. Dalam Kepemimpinan dan Pemerintahan
Seorang pemimpin yang menjunjung tinggi adat bercakap berelok elok akan lebih dihormati dan didengar oleh rakyatnya. Cara berkomunikasi yang santun, mendengarkan dengan penuh perhatian, dan menyampaikan kebijakan dengan bahasa yang mudah dipahami serta menghargai martabat masyarakat, akan membangun kepercayaan dan legitimasi. Sebaliknya, pemimpin yang berbicara kasar atau merendahkan cenderung akan kehilangan dukungan.
5. Dalam Penyelesaian Konflik
Ketika konflik muncul, adat bercakap berelok elok menjadi alat penting untuk mediasi dan mencari solusi damai. Para tetua adat atau mediator akan menggunakan bahasa yang menenangkan, mencari titik temu, dan mendorong pihak-pihak yang berselisih untuk berbicara dengan kepala dingin dan hati terbuka, fokus pada solusi daripada saling menyalahkan.
Variasi Regional Adat Bercakap Berelok Elok
Meskipun prinsip dasarnya universal di Indonesia, manifestasi spesifik dari adat bercakap berelok elok sangat bervariasi antar suku dan daerah. Keragaman ini menambah kekayaan budaya Indonesia.
1. Jawa
Salah satu contoh paling menonjol adalah di Jawa, terutama Jawa Tengah dan Yogyakarta, dengan sistem tingkat bahasa (unggah-ungguh basa) yang sangat kompleks. Konsep andap asor (rendah hati) dan tepa selira (toleransi dan empati) menjadi inti dari cara berbicara orang Jawa. Berbicara dengan lemah lembut, memilih kata yang halus (krama inggil), dan menghindari pembicaraan langsung yang konfrontatif adalah ciri khasnya. Kritik sering disampaikan secara implisit atau melalui perumpamaan.
2. Sunda
Masyarakat Sunda di Jawa Barat juga memiliki sistem tingkat bahasa yang disebut undak-usuk basa. Konsep someah (ramah dan murah senyum) serta cageur, bageur, pinter, singer, bener (sehat, baik hati, pintar, terampil, benar) sangat memengaruhi cara berkomunikasi. Orang Sunda dikenal dengan tutur katanya yang lembut, humoris, dan penuh kiasan, namun tetap menjaga kesopanan.
3. Minangkabau
Di Sumatera Barat, masyarakat Minangkabau sangat menjunjung tinggi pepatah dan petitih dalam komunikasi. Berbicara tidak hanya tentang menyampaikan informasi, tetapi juga tentang menunjukkan kecerdasan dan kebijaksanaan melalui penggunaan pantun, peribahasa, dan ungkapan-ungkapan yang indah. Konsep adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah (adat berlandaskan syariat, syariat berlandaskan Kitabullah) juga menanamkan nilai-nilai etika berbicara yang Islami.
4. Batak
Masyarakat Batak di Sumatera Utara memiliki gaya komunikasi yang mungkin tampak lebih lugas dan keras bagi orang luar, namun di balik itu terdapat makna dan aturan kesopanan tersendiri. Penggunaan partuturan (sistem sapaan kekerabatan) sangat penting. Meskipun suaranya mungkin keras, niat di baliknya seringkali adalah kejujuran dan ketegasan, bukan ketidaksopanan. Mereka juga sangat menghormati dalihan na tolu (tiga tungku) sebagai filosofi kehidupan yang menuntun interaksi sosial.
5. Bali
Di Bali, konsep Tri Hita Karana (tiga penyebab kebahagiaan: hubungan harmonis dengan Tuhan, sesama manusia, dan lingkungan) sangat memengaruhi cara berkomunikasi. Bahasa Bali juga memiliki tingkat-tingkat kesopanan yang berbeda. Ujaran yang santun, menghindari perkataan kotor, dan senantiasa menjaga hubungan baik dengan orang lain adalah kunci dalam interaksi sosial mereka.
Variasi ini menunjukkan bahwa meskipun ada perbedaan dalam bentuk dan detailnya, esensi dari adat bercakap berelok elok—yaitu menjaga harmoni, menghormati sesama, dan berbicara dengan bijak—tetap menjadi benang merah yang mengikat seluruh masyarakat Indonesia.
Manfaat dan Dampak Positif
Praktik adat bercakap berelok elok membawa segudang manfaat dan dampak positif, baik bagi individu maupun masyarakat secara keseluruhan.
1. Memelihara Harmoni Sosial
Ini adalah manfaat paling fundamental. Dengan berbicara sopan, menghindari konflik verbal, dan menjaga perasaan orang lain, masyarakat dapat hidup dalam suasana yang rukun dan damai. Lingkungan yang harmonis akan mendorong kerja sama dan saling membantu, bukan saling mencurigai atau berselisih.
2. Membangun Kepercayaan dan Rasa Hormat
Seseorang yang dikenal selalu berbicara baik akan lebih mudah dipercaya dan dihormati. Kata-katanya memiliki bobot karena diucapkan dengan penuh pertimbangan. Ini sangat penting dalam membangun kepemimpinan yang efektif, hubungan profesional yang sehat, dan persahabatan yang langgeng.
3. Mencegah Kesalahpahaman dan Konflik
Pemilihan kata yang hati-hati dan intonasi yang tepat dapat mengurangi risiko salah tafsir. Dalam situasi di mana perbedaan pendapat muncul, cara berbicara yang santun memungkinkan diskusi yang konstruktif untuk mencari solusi, alih-alih berujung pada pertengkaran.
4. Meningkatkan Kualitas Interaksi
Komunikasi yang berelok elok menciptakan interaksi yang lebih nyaman dan menyenangkan bagi semua pihak. Orang akan merasa dihargai, didengarkan, dan dimengerti, yang pada gilirannya akan mendorong partisipasi aktif dan keterbukaan.
5. Membentuk Karakter Individu
Sejak dini, praktik ini membentuk karakter seseorang menjadi pribadi yang sabar, bijaksana, empati, dan rendah hati. Ini adalah soft skills yang sangat berharga dalam kehidupan pribadi dan profesional.
6. Melestarikan Warisan Budaya
Dengan terus mempraktikkan adat bercakap berelok elok, kita tidak hanya menjaga norma sosial, tetapi juga melestarikan salah satu pilar penting dari identitas budaya Indonesia yang unik dan luhur.
Tantangan dan Relevansi di Era Modern
Di tengah arus globalisasi dan perkembangan teknologi informasi yang pesat, adat bercakap berelok elok menghadapi berbagai tantangan. Namun, relevansinya justru semakin terasa penting.
1. Pengaruh Budaya Asing
Paparan terhadap budaya komunikasi Barat yang cenderung lebih langsung, individualistis, dan kadang terkesan kurang formal, dapat mengikis pemahaman dan praktik adat ini, terutama di kalangan generasi muda. Bahasa sarkasme atau konfrontasi langsung, yang mungkin diterima di budaya lain, seringkali bertentangan dengan nilai-nilai kesantunan di Indonesia.
2. Media Sosial dan Komunikasi Digital
Era media sosial telah mengubah lanskap komunikasi. Anonymity atau pseudonimitas di internet seringkali membuat orang merasa bebas untuk berbicara tanpa filter, menggunakan bahasa kasar (cyberbullying), menyebarkan ujaran kebencian (hate speech), atau berkomentar yang menyinggung tanpa mempertimbangkan dampaknya. Hal ini menjadi tantangan serius bagi kelestarian adat bercakap berelok elok.
3. Generasi Milenial dan Gen Z
Generasi muda saat ini tumbuh di lingkungan yang berbeda dari generasi sebelumnya. Mereka lebih terbuka terhadap pengaruh global dan terkadang menganggap aturan komunikasi tradisional sebagai sesuatu yang kuno atau tidak praktis. Penting untuk menemukan cara yang relevan untuk mengajarkan dan menanamkan nilai-nilai ini agar tidak tercerabut dari akar budayanya.
4. Polarisasi dan Fragmentasi Sosial
Tingginya polarisasi dalam isu-isu politik atau sosial dapat menyebabkan komunikasi menjadi lebih agresif dan kurang toleran terhadap perbedaan. Ruang diskusi yang sehat dan santun semakin sulit ditemukan, yang bertentangan langsung dengan semangat adat bercakap berelok elok.
Relevansi yang Semakin Penting
Meskipun menghadapi tantangan, justru di sinilah letak relevansi adat bercakap berelok elok di era modern. Ketika dunia semakin terkoneksi namun juga rentan terhadap perpecahan, kemampuan untuk berkomunikasi dengan hormat dan empati menjadi semakin krusial. Adat ini dapat menjadi penawar terhadap racun ujaran kebencian, alat untuk membangun jembatan di tengah perbedaan, dan panduan untuk menciptakan ruang digital yang lebih sehat. Ini bukan tentang menjadi kaku atau tidak jujur, melainkan tentang menyampaikan kebenaran dengan cara yang paling konstruktif dan tidak merusak hubungan.
Strategi Pelestarian dan Pengembangan
Melestarikan adat bercakap berelok elok bukanlah tugas yang mudah, tetapi sangat penting untuk menjaga identitas bangsa dan keharmonisan sosial. Beberapa strategi yang dapat dilakukan antara lain:
1. Peran Keluarga sebagai Fondasi Utama
Keluarga adalah lingkungan pertama dan utama tempat nilai-nilai ini diajarkan. Orang tua harus menjadi teladan dalam berbicara sopan, mengajarkan anak-anak tata krama, dan secara aktif mendiskusikan pentingnya menjaga lisan.
2. Pendidikan Formal dan Informal
Sekolah perlu mengintegrasikan pendidikan karakter yang kuat, termasuk etika berkomunikasi, ke dalam kurikulum. Kegiatan ekstrakurikuler, diskusi, atau lokakarya tentang budaya komunikasi juga dapat membantu. Di luar sekolah, organisasi kepemudaan dan komunitas adat dapat menjadi wadah untuk melestarikan dan mengajarkan adat ini melalui kegiatan yang relevan.
3. Pemanfaatan Teknologi dan Media Sosial
Alih-alih membiarkan teknologi mengikis nilai, kita bisa memanfaatkannya. Kampanye digital yang menarik tentang pentingnya berkomunikasi santun, pembuatan konten edukasi yang kreatif (video pendek, infografis), atau platform yang mendorong diskusi sehat, dapat menjadi cara efektif untuk menjangkau generasi muda.
4. Keteladanan Tokoh Masyarakat dan Pemimpin
Tokoh agama, pemimpin adat, pejabat publik, dan selebriti memiliki pengaruh besar. Keteladanan mereka dalam berbicara sopan, bijaksana, dan menenangkan dapat memberikan dampak positif yang luas bagi masyarakat.
5. Penguatan Literasi Digital dan Etika Berinternet
Pendidikan tentang literasi digital yang mencakup etika berinteraksi di dunia maya sangat penting. Masyarakat perlu diajarkan untuk membedakan informasi, berpikir kritis sebelum berkomentar, dan menghindari penyebaran ujaran kebencian.
6. Revitalisasi Bahasa Daerah
Karena banyak adat bercakap berelok elok terinternalisasi dalam tingkat dan nuansa bahasa daerah, revitalisasi bahasa-bahasa ini juga berarti melestarikan cara berkomunikasi yang beradab.
Kesimpulan: Jati Diri Bangsa yang Abadi
Adat bercakap berelok elok bukan sekadar warisan masa lalu yang harus disimpan dalam museum budaya. Ia adalah sebuah prinsip hidup yang dinamis, relevan, dan esensial bagi kelangsungan harmoni sosial di Indonesia. Di tengah gempuran modernitas dan tantangan komunikasi digital, nilai-nilai seperti rasa hormat, empati, kerendahan hati, dan kebijaksanaan dalam berbicara semakin dibutuhkan untuk merekatkan kembali tatanan sosial yang mungkin mulai retak. Ini adalah cerminan jati diri bangsa Indonesia yang kaya akan budi pekerti luhur.
Mari kita pahami, praktikkan, dan lestarikan adat bercakap berelok elok ini, bukan sebagai beban, melainkan sebagai sebuah aset tak ternilai yang akan terus membimbing kita menuju kehidupan yang lebih rukun, damai, dan bermartabat. Dengan menjaga lisan dan hati dalam setiap interaksi, kita turut membangun Indonesia yang lebih baik, di mana setiap perkataan adalah jembatan menuju pemahaman, bukan jurang pemisah. Adat ini adalah pengingat abadi bahwa kekuatan sejati bukan hanya terletak pada apa yang kita katakan, tetapi bagaimana kita memilih untuk mengatakannya, dengan penuh kebaikan dan keindahan.
Menerapkan prinsip ini dalam setiap aspek kehidupan, mulai dari lingkungan terkecil yaitu keluarga hingga interaksi dalam skala nasional dan global, akan membentuk karakter individu yang unggul dan masyarakat yang beradab. Inilah warisan yang patut kita banggakan dan teruskan ke generasi mendatang, agar semangat kebaikan dalam berkomunikasi tak lekang oleh waktu dan tak pudar oleh perubahan zaman.