Dalam lanskap pemikiran manusia, ada satu konsep yang secara konsisten mampu memicu imajinasi dan memprovokasi perdebatan sengit: Adimanusia. Lebih dari sekadar tokoh fiksi dengan kekuatan super, "adimanusia" adalah cerminan dari ambisi terdalam manusia untuk melampaui batasan biologis, intelektual, dan moralnya. Ini adalah sebuah ide yang berakar dalam mitologi kuno, berkembang melalui filosofi pencerahan, meledak dalam fiksi ilmiah, dan kini menemukan jalannya ke laboratorium sains dan diskusi etika global.
Definisi "adimanusia" itu sendiri bersifat cair dan multifaset. Bagi sebagian orang, ia adalah entitas yang secara fundamental lebih unggul dalam setiap aspek yang dianggap penting bagi keberadaan manusia. Bagi yang lain, ia melambangkan potensi yang belum terealisasi dalam diri setiap individu, sebuah panggilan untuk mengaktualisasikan diri sepenuhnya. Di era modern, dengan kemajuan pesat dalam bioteknologi, kecerdasan buatan, dan ilmu saraf, konsep ini tidak lagi terbatas pada ranah spekulasi murni, melainkan menjadi kemungkinan nyata yang menantang pemahaman kita tentang apa artinya menjadi manusia.
Artikel ini akan menelusuri perjalanan "adimanusia" dari akarnya dalam filsafat, melalui puncaknya dalam budaya populer, hingga implikasi transformatifnya dalam sains dan teknologi kontemporer. Kita akan menggali berbagai interpretasi, mengeksplorasi potensi dan bahayanya, serta merenungkan pertanyaan-pertanyaan etis dan eksistensial yang tak terhindarkan yang menyertainya. Pada akhirnya, kita akan mencoba memahami, apakah pencarian adimanusia adalah sebuah evolusi alami, ambisi yang berbahaya, atau justru sebuah keniscayaan yang akan membentuk masa depan kemanusiaan.
Ketika berbicara tentang adimanusia dalam konteks filosofis, tidak mungkin mengabaikan figur Friedrich Nietzsche dan konsepnya tentang *Übermensch*, yang sering kali diterjemahkan sebagai "Manusia Super" atau "Adimanusia". Meskipun sering disalahpahami dan disalahgunakan, terutama pada abad ke-20, visi Nietzsche adalah inti dari dorongan manusia untuk melampaui dirinya sendiri, bukan melalui kekuatan fisik eksternal, tetapi melalui kehendak dan transformasi internal.
Nietzsche hidup di masa ketika nilai-nilai moral tradisional, khususnya yang berakar pada Kekristenan, mulai dipertanyakan. Ia menganggap moralitas "budak" ini—yang memuji kerendahan hati, pengorbanan diri, dan kesamaan—sebagai penghambat potensi manusia. Menurut Nietzsche, moralitas ini lahir dari kebencian dan kelemahan, diciptakan oleh yang tertindas untuk menekan yang kuat dan membalas dendam pada "moralitas tuan" yang lebih kuno, yang memuliakan kekuatan, kebanggaan, dan pencapaian individu.
Dalam karyanya, *Genealogi Moral*, Nietzsche menelusuri asal-usul nilai-nilai ini, menunjukkan bagaimana konsep "baik" dan "jahat" berevolusi dari "baik" (mulia, aristokrat) dan "buruk" (biasa, rendah) menjadi biner moral yang kita kenal sekarang. Ia berpendapat bahwa manusia telah terlalu lama tunduk pada sistem nilai yang mengekang naluri vital dan dorongan kreatifnya, menuntun pada kondisi nihilisme, di mana hidup kehilangan makna intrinsiknya.
Inti dari filosofi Nietzsche adalah konsep "Kehendak untuk Berkuasa" (*Wille zur Macht*). Ini bukan sekadar keinginan untuk mendominasi orang lain, melainkan sebuah dorongan fundamental yang ada pada semua makhluk hidup untuk tumbuh, mengatasi, dan mengaktualisasikan potensi mereka secara maksimal. Bagi Nietzsche, hidup itu sendiri adalah kehendak untuk berkuasa—sebuah dorongan untuk melampaui batasan, menghadapi kesulitan, dan membentuk diri sendiri.
Dalam konteks ini, *Übermensch* adalah individu yang berhasil menyadari dan mengekspresikan kehendak untuk berkuasa ini sepenuhnya. Ia adalah pencipta nilai-nilai baru, bukan pengikut nilai-nilai lama. Ia tidak hanya menerima nasibnya (*amor fati*) tetapi juga mencintainya, melihat semua pengalaman, baik suka maupun duka, sebagai bagian integral dari pembentukannya. *Übermensch* adalah individu yang mampu meninjau kembali semua nilai, menilai kembali apa yang "baik" dan "buruk" bagi dirinya dan kemanusiaan, dan menciptakan tujuan serta makna hidupnya sendiri di dunia yang "Tuhan telah mati"—yaitu, di dunia tanpa landasan moral absolut yang diberikan dari atas.
"Manusia adalah tali yang terentang antara binatang dan Adimanusia—sebuah tali di atas jurang."
— Friedrich Nietzsche, *Juga Berbicaralah Zarathustra*
Beberapa ciri utama *Übermensch* menurut Nietzsche meliputi:
Sangat penting untuk memahami bahwa *Übermensch* Nietzsche tidak ada hubungannya dengan superioritas rasial atau dominasi politik, seperti yang disalahgunakan oleh rezim Nazi. Nietzsche sendiri sangat menentang antisemitisme dan nasionalisme. *Übermensch* adalah ideal individual, bukan kolektif. Ini adalah panggilan untuk setiap individu untuk menjadi arsitek dirinya sendiri, untuk mengatasi kekosongan dan nihilisme dengan menegaskan kehidupan dan menciptakan makna.
Meskipun kontroversial, konsep *Übermensch* tetap relevan dalam diskusi tentang potensi manusia, etika individu, dan pencarian makna di dunia modern. Ia menantang kita untuk bertanya: Apa batas-batas potensi kita? Bagaimana kita dapat mengaktualisasikan diri secara penuh dan bermakna di dunia yang semakin kompleks dan tanpa nilai-nilai yang mutlak?
Jika filsafat Nietzsche memberi kita kerangka teoritis untuk "adimanusia", maka fiksi ilmiah dan budaya populer telah memberi kita gambaran visual dan naratif yang kaya tentang apa artinya menjadi lebih dari manusia. Dari pahlawan super hingga cyborg, karakter-karakter ini mencerminkan harapan, ketakutan, dan ambisi kolektif kita tentang evolusi masa depan.
Pahlawan super adalah manifestasi paling jelas dari konsep adimanusia dalam budaya populer. Mereka adalah individu yang memiliki kemampuan luar biasa—kekuatan, kecepatan, penerbangan, kemampuan mental—yang jauh melampaui manusia biasa. Mereka sering kali datang dari luar bumi (seperti Superman), hasil eksperimen ilmiah (Captain America, Hulk), mutasi genetik (X-Men), atau teknologi canggih (Iron Man).
Superman, diciptakan oleh Jerry Siegel dan Joe Shuster, adalah arketipe adimanusia. Sebagai alien dari Krypton, ia memiliki kekuatan yang tak terbatas di Bumi. Namun, yang membuatnya menjadi adimanusia sejati bukanlah hanya kekuatannya, melainkan komitmen moralnya yang teguh terhadap keadilan, kebenaran, dan cara hidup Amerika. Ia mewakili idealisme—seseorang dengan kekuatan dewa yang memilih untuk menggunakannya untuk kebaikan umat manusia, meskipun ia sendiri sering kali terisolasi oleh perbedaannya.
Dilema Superman sering berkisar pada batas-batas kekuatannya dan tanggung jawab moralnya. Bisakah ia secara paksa menciptakan utopia? Haruskah ia ikut campur dalam politik dunia? Keterbatasannya sering kali bersifat etis dan filosofis, bukan fisik.
X-Men, dari Marvel Comics, menyajikan perspektif yang berbeda. Mutan, individu yang lahir dengan kekuatan super karena mutasi genetik, adalah "adimanusia" berikutnya. Namun, alih-alih dipuja, mereka sering kali ditakuti dan dibenci oleh masyarakat manusia. Ini menjadikan X-Men sebagai metafora yang kuat untuk minoritas, prasangka, dan perjuangan untuk penerimaan. Mereka mewakili faksi-faksi yang berbeda dalam bagaimana "adimanusia" harus berinteraksi dengan manusia normal—apakah mereka harus mengintegrasikan diri (visi Profesor X) atau mendominasi (visi Magneto).
Narasi X-Men mengeksplorasi pertanyaan tentang identitas, toleransi, dan masa depan evolusi spesies. Apakah mutan adalah langkah evolusi selanjutnya, ataukah mereka adalah ancaman yang harus dimusnahkan?
Selain pahlawan super, fiksi ilmiah juga menjelajahi adimanusia melalui lensa teknologi. Konsep cyborg—organisme sibernetik, gabungan antara biologi dan teknologi—dan manusia pasca-biologis menjadi semakin populer, terutama dalam genre cyberpunk.
Karya-karya seperti *Ghost in the Shell* atau *Deus Ex* menampilkan dunia di mana augmentasi sibernetik adalah hal yang lumrah. Manusia mengganti anggota tubuh, organ, atau bahkan otak mereka dengan komponen mekanis dan elektronik untuk meningkatkan kemampuan fisik, kognitif, atau bahkan memperpanjang hidup. Ini memunculkan pertanyaan tentang batas antara manusia dan mesin, kesadaran, dan identitas pribadi. Jika sebagian besar tubuh Anda adalah buatan, apakah Anda masih sepenuhnya manusia?
Dalam narasi ini, seringkali ada kritik terhadap korporasi yang mengontrol teknologi ini, kesenjangan sosial antara mereka yang mampu membeli peningkatan dan yang tidak, serta ancaman terhadap kebebasan individu.
Konsep singularitas, di mana kecerdasan buatan melampaui kecerdasan manusia dan memicu perubahan yang tidak dapat diprediksi, juga sering dikaitkan dengan adimanusia. Dalam skenario ini, bukan manusia individu yang menjadi adimanusia, tetapi kolektif kesadaran atau entitas AI yang melampaui kapasitas manusia. Film seperti *Transcendence* atau novel seperti *Accelerando* mengeksplorasi potensi dan bahaya dari evolusi kecerdasan ini, yang dapat mengarah pada utopia atau distopia.
Dengan kemajuan ilmu genetika, fiksi ilmiah juga telah merambah ke area di mana manusia secara aktif merancang evolusinya sendiri.
Film seperti *Gattaca* menggambarkan masyarakat di mana rekayasa genetik menjadi norma, menciptakan kelas elit yang "sempurna" secara genetik dan menekan mereka yang lahir secara alami. Ini menimbulkan pertanyaan etis tentang keadilan, determinisme genetik, dan nilai-nilai kemanusiaan yang melekat. Apakah kita harus mengoptimalkan setiap aspek manusia jika itu berarti menciptakan kesenjangan sosial yang tak teratasi?
Dalam narasi lain, rekayasa genetika mungkin menciptakan spesies manusia baru, beradaptasi dengan lingkungan ekstrem atau bahkan ruang angkasa, yang secara fundamental berbeda dari manusia modern. Ini mendorong kita untuk mempertanyakan batas-batas spesies kita dan apa yang mendefinisikan "manusia."
Melalui fiksi, kita dapat bereksperimen dengan ide-ide ini tanpa konsekuensi nyata. Adimanusia dalam fiksi adalah lensa untuk menjelajahi ketakutan kita terhadap alienasi, obsesi kita terhadap kekuasaan, dan harapan abadi kita untuk mengatasi kelemahan dan keterbatasan. Mereka adalah cerminan dari diri kita, tetapi diproyeksikan ke masa depan yang lebih canggih dan seringkali lebih menakutkan atau inspiratif.
Budaya populer tidak hanya menghibur; ia juga membentuk cara kita berpikir tentang konsep-konsep ini, mempersiapkan kita secara mental (atau kadang-kadang menyesatkan kita) untuk kemungkinan-kemungkinan nyata yang mulai muncul dari laboratorium dan lembaga penelitian.
Di luar ranah filsafat dan fiksi, ada sebuah gerakan intelektual dan budaya yang secara aktif menganjurkan dan berupaya mencapai kondisi "adimanusia": transhumanisme. Ini bukan lagi sekadar spekulasi, melainkan sebuah filsafat yang didukung oleh ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang pesat.
Transhumanisme dapat didefinisikan sebagai gerakan yang mendukung penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi (seperti neuroteknologi, bioteknologi, nanoteknologi, dan kecerdasan buatan) untuk meningkatkan kemampuan fisik dan mental manusia secara signifikan, serta menghilangkan aspek-aspek yang tidak diinginkan dari kondisi manusia seperti penyakit, penuaan, dan bahkan kematian. Para transhumanis melihat kondisi manusia saat ini sebagai tahap awal dalam evolusi, bukan sebagai batas akhir.
Tujuan utama transhumanisme meliputi:
Gerakan transhumanis didukung oleh berbagai teknologi canggih yang sedang dikembangkan:
Kemajuan dalam bioteknologi, terutama alat pengeditan gen seperti CRISPR-Cas9, telah membuka pintu untuk secara presisi memodifikasi DNA manusia. Ini memiliki potensi luar biasa untuk mengobati penyakit genetik yang tidak dapat disembuhkan, tetapi juga menimbulkan kemungkinan untuk "menyempurnakan" manusia—membuat "bayi desainer" dengan sifat-sifat yang diinginkan, seperti peningkatan kecerdasan, ketahanan terhadap penyakit, atau bahkan karakteristik fisik tertentu.
Penelitian tentang penuaan juga merupakan bagian integral dari bioteknologi transhumanis. Ilmuwan sedang mengeksplorasi cara untuk membalikkan atau memperlambat proses penuaan melalui terapi gen, obat-obatan senolitik (yang menghilangkan sel-sel tua yang merusak), dan organ rekayasa. Tujuannya adalah untuk mencapai apa yang disebut "kecepatan lepas dari penuaan" (*longevity escape velocity*), di mana teknologi dapat memperpanjang hidup lebih cepat daripada waktu yang berlalu.
Neuroteknologi berupaya untuk berinteraksi langsung dengan otak. Antarmuka otak-komputer (BCI) atau antarmuka saraf memungkinkan komunikasi langsung antara otak manusia dan perangkat eksternal. Ini sudah digunakan untuk membantu penyandang disabilitas mengendalikan prostetik atau komputer dengan pikiran mereka.
Dalam konteks transhumanisme, BCI diharapkan dapat memungkinkan peningkatan kognitif yang dramatis: memori yang diperbesar, akses instan ke informasi internet, telepatik komunikasi antar otak, atau bahkan pengunduhan kesadaran (*mind uploading*) ke dalam komputasi digital—sebuah bentuk keabadian digital. Perusahaan seperti Neuralink milik Elon Musk secara aktif mengembangkan implan otak untuk tujuan ini.
Nanoteknologi melibatkan rekayasa materi pada skala atom dan molekuler. Dalam visi transhumanis, nanobot (robot seukuran nano) dapat beroperasi di dalam tubuh manusia, melakukan perbaikan seluler, memerangi penyakit dari dalam, membersihkan arteri, atau bahkan berfungsi sebagai "agen intelijen" untuk meningkatkan fungsi otak.
Konsep ini, meskipun masih sangat spekulatif dan futuristik, menjanjikan kemampuan untuk menyembuhkan semua penyakit dan bahkan merekayasa ulang biologi kita dari tingkat paling fundamental, menuju kondisi yang jauh lebih tangguh dan efisien.
AI memainkan peran ganda dalam transhumanisme. Pertama, sebagai alat untuk mempercepat penelitian ilmiah dan pengembangan teknologi lainnya. Kedua, sebagai entitas yang bisa mencapai tingkat kecerdasan super, yang dapat membantu umat manusia mengatasi masalah-masalah kompleks, atau bahkan menjadi bentuk adimanusia itu sendiri. Beberapa transhumanis percaya bahwa menyatukan kesadaran manusia dengan AI yang lebih besar adalah langkah logis selanjutnya dalam evolusi.
Meskipun menjanjikan, transhumanisme menghadapi kritik dan dilema etika yang mendalam:
Transhumanisme adalah arena perdebatan sengit antara optimisme teknologi dan kehati-hatian etis. Ini memaksa kita untuk menghadapi pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang siapa kita, siapa yang ingin kita menjadi, dan bagaimana kita harus membentuk masa depan kita.
Perjalanan menuju adimanusia, baik secara filosofis maupun teknologi, tidak lepas dari berbagai batasan dan tantangan yang kompleks. Tantangan ini bukan hanya bersifat teknis, tetapi juga etis, sosial, psikologis, dan eksistensial.
Salah satu kekhawatiran terbesar adalah bahwa teknologi peningkatan akan memperlebar jurang antara yang kaya dan yang miskin. Jika teknologi ini mahal, hanya segelintir orang yang mampu mengaksesnya. Ini bisa menciptakan "kelas adimanusia" yang secara biologis unggul, sementara sebagian besar populasi tetap menjadi "manusia biasa". Kesenjangan ini akan jauh lebih parah daripada kesenjangan sosial ekonomi saat ini, karena menyangkut perbedaan fundamental dalam kemampuan, kesehatan, dan umur itu sendiri.
Bagaimana masyarakat akan mengelola dua spesies, atau sub-spesies, manusia yang berbeda? Akankah ada diskriminasi berdasarkan genetik atau augmentasi? Pertanyaan tentang keadilan distributif—siapa yang berhak atas teknologi ini—menjadi sangat mendesak.
Jika kita dapat "memprogram" manusia untuk menjadi lebih baik, apakah ini mengurangi nilai intrinsik dari individu? Apakah kita mereduksi manusia menjadi serangkaian sifat yang dapat dioptimalkan? Kritik lain adalah bahwa pencarian kesempurnaan bisa mengarah pada intoleransi terhadap ketidaksempurnaan, yang merupakan bagian alami dari kondisi manusia.
Pertanyaan tentang hak asasi manusia juga muncul. Apakah manusia yang ditingkatkan memiliki hak yang sama, lebih banyak, atau lebih sedikit daripada manusia "alami"? Apakah hak untuk tidak ditingkatkan akan dihormati di masyarakat yang menekan untuk kesempurnaan?
Setiap teknologi canggih membawa risiko inheren. Rekayasa genetika dapat memiliki efek samping yang tidak terduga atau tidak diinginkan pada ekosistem genetik manusia. Implan sibernetik bisa rentan terhadap peretasan atau kegagalan sistem, yang dapat memiliki konsekuensi fatal bagi individu. AI supercerdas, jika tidak dikembangkan dengan etika yang kuat, dapat berbalik melawan penciptanya atau mengejar tujuannya sendiri yang tidak sejalan dengan kepentingan manusia.
Potensi senjata biologis atau siber yang ditingkatkan juga merupakan ancaman serius. Jika ada negara atau kelompok yang mengembangkan "adimanusia" untuk tujuan militer, ini dapat memicu perlombaan senjata global yang mengerikan.
Ketergantungan pada teknologi canggih dapat mengurangi otonomi manusia. Jika otak kita terhubung ke internet, siapa yang mengendalikan informasi yang kita akses atau bahkan pikiran kita? Siapa yang memiliki data biometrik dan kognitif kita? Perusahaan atau pemerintah yang mengendalikan teknologi peningkatan dapat memiliki kekuatan yang belum pernah terjadi sebelumnya atas individu.
Ini adalah pertanyaan filosofis yang paling mendasar. Jika kita mengubah begitu banyak aspek fundamental dari biologi dan kognisi kita, apakah kita masih "manusia" dalam arti tradisional? Apakah ada esensi manusia yang tak dapat diubah, ataukah kita adalah makhluk yang terus-menerus berevolusi dan mendefinisikan ulang diri kita?
Kehilangan batasan ini dapat menyebabkan krisis identitas kolektif dan individu. Jika kita tidak lagi rentan, sakit, atau fana, apa yang memotivasi kita? Apa yang memberi makna pada hidup?
Seorang adimanusia mungkin mengalami isolasi. Bagaimana rasanya hidup berabad-abad ketika semua orang yang Anda cintai telah meninggal? Bagaimana rasanya menjadi jauh lebih cerdas atau kuat daripada orang lain? Rasa kesepian, alienasi, dan beban eksistensial mungkin menjadi harga yang harus dibayar untuk kemampuan yang ditingkatkan.
Pertanyaan tentang tujuan hidup juga menjadi sangat penting. Jika semua kebutuhan dasar dan keinginan telah terpenuhi melalui teknologi, apa yang tersisa untuk diperjuangkan? Apakah manusia akan menemukan tujuan baru, atau terjebak dalam hedonisme yang hampa?
Meskipun teknologi sangat maju, ada batasan fundamental yang ditetapkan oleh hukum fisika dan biologi. Misalnya, ada batas kecepatan informasi dapat bergerak, batas seberapa efisien metabolisme dapat bekerja, atau batas seberapa banyak massa otak dapat diperluas tanpa konsekuensi negatif.
Beberapa "peningkatan" mungkin juga datang dengan *trade-off* yang tidak diinginkan. Misalnya, peningkatan memori yang ekstrem mungkin datang dengan biaya hilangnya kemampuan melupakan, yang penting untuk kesehatan mental. Atau peningkatan kekuatan fisik mungkin mengurangi kepekaan sentuhan.
Secara keseluruhan, pencarian adimanusia adalah perjalanan yang penuh dengan janji dan bahaya. Ini menantang kita untuk menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang paling sulit tentang sifat keberadaan kita dan tanggung jawab kita sebagai spesies yang mampu merekayasa takdirnya sendiri.
Melihat jauh ke depan, diskusi tentang adimanusia tidak hanya berpusat pada kemungkinan dan tantangan saat ini, tetapi juga pada bagaimana konsep ini akan membentuk masa depan kemanusiaan itu sendiri. Apakah kita menuju ke arah perpecahan spesies, era emas peningkatan manusia, atau kehancuran yang tak terhindarkan?
Dalam skenario paling optimis, teknologi peningkatan menjadi tersedia secara luas dan merata, mungkin melalui kebijakan publik atau inovasi yang menurunkan biaya secara drastis. Seluruh umat manusia dapat mengatasi penyakit, penuaan, dan keterbatasan kognitif. Kita mungkin menyaksikan ledakan kreativitas dan penemuan, dengan manusia yang ditingkatkan memecahkan masalah global seperti perubahan iklim, kemiskinan, dan penyakit yang saat ini tampak tak terpecahkan.
Dalam visi ini, adimanusia adalah lompatan evolusioner kolektif yang mengangkat seluruh spesies ke tingkat keberadaan yang lebih tinggi, mengarah pada masyarakat yang lebih cerdas, lebih sehat, dan lebih harmonis.
Sebaliknya, skenario pesimis menggambarkan masa depan di mana teknologi adimanusia hanya tersedia untuk segelintir elit. Ini menciptakan kesenjangan sosial yang ekstrem, dengan "post-human" yang superior dan "manusia alami" yang terpinggirkan. Konflik sosial, politik, dan bahkan fisik antara kedua kelompok ini bisa menjadi tak terhindarkan.
Selain itu, penguasa adimanusia mungkin mengembangkan nilai-nilai dan moralitas yang berbeda, yang bisa bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan tradisional, berpotensi mengarah pada penindasan atau bahkan pemusnahan manusia "inferior". Novel dan film fiksi ilmiah sering kali mengeksplorasi skenario distopia ini, seperti dalam *Elysium* atau *Altered Carbon*.
Skenario ketiga adalah jalan tengah, di mana manusia dan adimanusia (dalam berbagai tingkatan peningkatan) hidup berdampingan. Peningkatan mungkin lebih bertahap dan selektif, memungkinkan manusia untuk memilih tingkat modifikasi yang berbeda. Ini bisa mengarah pada masyarakat yang lebih beragam, di mana beberapa memilih untuk tetap "alami" sementara yang lain memilih untuk ditingkatkan.
Tantangan utama di sini adalah bagaimana membangun masyarakat yang inklusif dan adil yang menghormati pilihan individu dan mengatasi prasangka atau diskriminasi antara kelompok-kelompok yang berbeda.
Kehadiran adimanusia akan secara fundamental mengubah struktur masyarakat. Hierarki sosial mungkin didasarkan pada kemampuan yang ditingkatkan daripada kekayaan atau status yang diwariskan. Sistem pendidikan, hukum, dan politik harus beradaptasi dengan realitas baru ini.
Konsep meritokrasi akan diuji secara ekstrem. Jika seseorang secara genetik atau sibernetik "lebih baik" dalam segala hal, apakah mereka layak mendapatkan semua posisi teratas? Apa yang terjadi pada peran kerja ketika AI dan adimanusia dapat melakukan tugas-tugas yang kompleks dengan jauh lebih efisien?
Politik identitas akan meluas ke ranah spesies atau sub-spesies. Akan ada gerakan hak-hak "transhuman" atau "post-human" yang memperjuangkan pengakuan dan perlindungan bagi mereka yang telah memilih untuk ditingkatkan. Di sisi lain, akan ada gerakan konservasi "humanitas" yang berjuang untuk menjaga esensi manusia tradisional.
Perdebatan tentang apa yang membentuk "orang" atau "subjek hak" akan menjadi lebih kompleks. Apakah AI supercerdas, makhluk yang sangat ditingkatkan, atau entitas digital memiliki hak yang sama dengan manusia biologis?
Jika adimanusia dan AI dapat memecahkan masalah produksi dan sumber daya, kita mungkin bergerak menuju ekonomi pasca-kelangkaan, di mana barang dan jasa melimpah dan tersedia untuk semua. Namun, transisi ke sana akan sangat menantang, dengan kemungkinan pengangguran massal akibat otomatisasi dan peningkatan. Kebijakan seperti Pendapatan Dasar Universal (*Universal Basic Income*) mungkin menjadi sangat penting.
Masa depan adimanusia juga menuntut evolusi dalam pemikiran etika dan filosofi kita. Kita perlu mengembangkan kerangka kerja baru untuk menghadapi tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Konsep-konsep seperti keadilan, kesetaraan, identitas, dan makna hidup akan diuji dan mungkin didefinisikan ulang.
Filsuf dan etikus akan memainkan peran krusial dalam memandu percakapan publik, memastikan bahwa kemajuan teknologi tidak mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan yang mendasar, atau setidaknya, membantu kita memahami konsekuensi dari pilihan kita.
Konsep "adimanusia" adalah cermin yang memantulkan ambisi dan ketakutan terdalam umat manusia. Dari *Übermensch* Nietzsche yang menuntut aktualisasi diri dan penciptaan nilai baru, hingga pahlawan super fiksi yang mewakili idealisme dan dilema moral, hingga gerakan transhumanisme yang secara aktif berusaha merekayasa ulang batas-batas biologis kita—gagasan ini telah terus-menerus mendorong kita untuk mempertanyakan apa yang mungkin dan apa yang seharusnya.
Kita berdiri di ambang era transformatif. Kemajuan dalam bioteknologi, neuroteknologi, nanoteknologi, dan kecerdasan buatan tidak lagi menjadi domain eksklusif fiksi ilmiah. Mereka adalah alat nyata yang berpotensi untuk secara radikal mengubah kondisi manusia. Pertanyaan yang tersisa bukanlah *apakah* kita akan memiliki adimanusia, tetapi *bagaimana* kita akan menciptakan mereka, siapa yang akan memiliki akses ke mereka, dan bagaimana kita akan hidup di dunia yang mungkin dihuni oleh makhluk yang jauh melampaui kemampuan kita saat ini.
Tantangan yang menanti sangat besar: mengatasi kesenjangan etis dan sosial, mengelola risiko keamanan yang inheren dalam teknologi canggih, dan bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan mendalam tentang identitas dan makna kemanusiaan. Kita harus bergerak maju dengan kehati-hatian, dengan kesadaran penuh akan konsekuensi yang mungkin terjadi, dan dengan komitmen untuk memastikan bahwa masa depan yang kita ciptakan adalah masa depan yang adil, inklusif, dan penuh makna bagi semua.
Pencarian adimanusia adalah sebuah undangan untuk merefleksikan kembali sifat dasar kita—kerentanan kita, kekuatan kita, dan kapasitas kita yang tak terbatas untuk beradaptasi dan berkembang. Ini bukan hanya tentang menjadi lebih dari manusia, tetapi tentang memahami apa artinya menjadi manusia, dan bagaimana esensi itu akan bertahan atau berubah di hadapan kemungkinan-kemungkinan luar biasa yang kini ada di hadapan kita.