Agroikos: Memahami Spirit Pedesaan di Dunia Modern
Dalam hiruk pikuk kehidupan modern yang serba cepat, di mana urbanisasi dan digitalisasi menjadi poros utama, seringkali kita melupakan akar kita, koneksi kita dengan alam, dan filosofi kehidupan yang lebih sederhana. Salah satu konsep kuno yang mungkin terpinggirkan namun kini semakin relevan adalah "agroikos". Berasal dari bahasa Yunani kuno, kata ini secara harfiah berarti 'yang berasal dari desa' atau 'petani'. Namun, maknanya jauh melampaui sekadar deskripsi geografis atau profesi; ia mengandung konotasi budaya, sosial, dan bahkan filosofis yang mendalam, seringkali diasosiasikan dengan sifat-sifat pedesaan seperti kesederhanaan, kepolosan, kekasaran, atau bahkan kurangnya budaya atau kecanggihan.
Pada awalnya, terutama di lingkungan perkotaan Yunani dan Romawi kuno, istilah agroikos sering digunakan dengan nada merendahkan, untuk menggambarkan seseorang yang kurang berpendidikan, canggung secara sosial, atau tidak memiliki 'kehalusan' yang diharapkan dari warga kota. Ia adalah antitesis dari 'urbanitas' – kecanggihan dan keanggunan kota. Namun, seiring berjalannya waktu dan perubahan paradigma sosial, makna agroikos telah berevolusi, atau setidaknya, telah mengalami reinterpretasi yang signifikan. Di era modern ini, di tengah krisis lingkungan, tekanan hidup, dan pencarian makna, esensi dari 'agroikos' justru menemukan relevansi baru, bukan sebagai stempel negatif, melainkan sebagai sebuah panggilan untuk kembali pada nilai-nilai otentik dan berkelanjutan.
Artikel ini akan menjelajahi berbagai dimensi dari konsep agroikos, mulai dari asal-usul historisnya, bagaimana ia dipandang dalam berbagai peradaban, hingga bagaimana ia direinterpretasikan dalam konteks masyarakat kontemporer. Kita akan melihat bagaimana 'sifat pedesaan' ini telah beralih dari cibiran menjadi inspirasi bagi gerakan keberlanjutan, gaya hidup minimalis, dan pencarian makna yang lebih mendalam. Mari kita selami perjalanan makna sebuah kata yang mungkin tampak sederhana, namun menyimpan kekayaan filosofis tentang hubungan manusia dengan alam dan dirinya sendiri.
Asal-Usul dan Konotasi Historis "Agroikos"
Untuk memahami sepenuhnya makna agroikos, kita harus kembali ke akar bahasanya di Yunani kuno. Kata ἀγροῖκος (agroîkos) berasal dari dua kata: ἀγρός (agrós) yang berarti 'ladang' atau 'pedesaan', dan sufiks -ικος (-ikos) yang menunjukkan 'yang berkaitan dengan' atau 'berasal dari'. Jadi, secara etimologis, ia merujuk pada 'seseorang yang berasal dari atau berkaitan dengan pedesaan'. Namun, seperti banyak kata lain, makna leksikalnya diperkaya oleh konteks sosial dan budaya di mana ia digunakan.
Yunani Kuno: Kontras Antara Polis dan Pedesaan
Di Yunani kuno, terutama pada masa Athena klasik, terjadi polarisasi yang kuat antara kehidupan kota (polis) dan kehidupan pedesaan. Polis adalah pusat kebudayaan, filsafat, seni, dan pemerintahan. Warganya, khususnya kaum elit, bangga dengan pendidikan retorika, etika, dan tata krama mereka. Mereka melihat diri mereka sebagai puncak peradaban manusia. Sebaliknya, penduduk pedesaan, yang sebagian besar adalah petani atau gembala, dipandang sebagai orang-orang yang sederhana, kurang berpendidikan, dan tidak memiliki kecanggihan sosial yang dimiliki oleh warga kota.
Istilah agroikos sering muncul dalam komedi-komedi Yunani kuno, seperti karya Aristophanes, di mana karakter pedesaan sering digambarkan secara stereotip sebagai orang yang bodoh, lugu, kasar, dan mudah ditipu. Mereka menjadi bahan tertawaan karena ketidakmampuan mereka beradaptasi dengan norma-norma sosial kota yang rumit. Para filsuf seperti Plato dan Aristotle, meskipun mengakui pentingnya pertanian, cenderung menempatkan nilai yang lebih tinggi pada kehidupan kota sebagai tempat di mana akal budi dan kebaikan dapat berkembang sepenuhnya.
Namun, perlu dicatat bahwa pandangan ini tidak sepenuhnya negatif. Ada juga elemen idealisasi kehidupan pedesaan yang muncul sesekali, terutama dalam sastra pastoral atau dalam pemikiran beberapa filsuf yang mengkritik kemewahan dan dekadensi kota. Meski demikian, konotasi dominan dari agroikos tetaplah seseorang yang 'tidak berbudaya' atau 'tidak beradab' dari sudut pandang perkotaan.
Romawi Kuno: "Rusticitas" dan "Urbanitas"
Di Romawi kuno, dikotomi serupa terjadi antara "rusticitas" (sifat pedesaan) dan "urbanitas" (sifat perkotaan). Bangsa Romawi, seperti Yunani, menghargai kecanggihan retorika, hukum, dan seni yang berkembang di kota Roma. Istilah seperti "rusticus" (mirip dengan agroikos) sering digunakan untuk menggambarkan seseorang yang kasar, lugu, atau kurang sopan santun.
Cicero, seorang orator dan negarawan Romawi terkemuka, sering berbicara tentang pentingnya urbanitas dalam pidatonya, mengacu pada kefasihan, humor cerdas, dan keanggunan bicara yang dianggap sebagai ciri khas warga Roma yang berbudaya. Sementara itu, sifat-sifat yang berlawanan, yang diasosiasikan dengan pedesaan, dianggap sebagai kekurangan. Namun, ada juga paradoks dalam pandangan Romawi: meskipun memandang rendah sifat 'rusticus', mereka juga sangat menghargai kerja keras, moralitas, dan kesederhanaan yang diasosiasikan dengan kehidupan pertanian. Cincinnatus, seorang petani yang menjadi diktator dan kemudian kembali ke ladangnya, adalah simbol ideal dari kebajikan Romawi.
Abad Pertengahan dan Renaisans: Kehidupan Feodal dan Ideal Pastoral
Selama Abad Pertengahan di Eropa, struktur masyarakat sangat terfragmentasi antara bangsawan, klerus, dan kaum tani. Mayoritas penduduk hidup di pedesaan, bergantung pada pertanian. Dalam sistem feodal, petani (serf) adalah kelas sosial terendah, seringkali tidak memiliki hak dan terikat pada tanah. Pandangan terhadap mereka mirip dengan agroikos: dianggap kasar, tidak berpendidikan, dan hanya fokus pada pekerjaan fisik.
Namun, pada masa Renaisans, terjadi pergeseran menarik. Meskipun kota-kota Italia menjadi pusat kebudayaan dan intelektual, ada juga kebangkitan minat pada sastra pastoral. Penyair seperti Virgil (pendahulu Romawi) dan kemudian Petrarch dan Boccaccio pada Renaisans mulai mengidealisasi kehidupan pedesaan sebagai tempat yang damai, murni, dan penuh keindahan alami, kontras dengan intrik dan kemewahan kota. Konsep gembala yang lugu namun bijaksana muncul sebagai simbol kebijaksanaan alami. Ini adalah awal dari romantisasi kehidupan pedesaan, sebuah tema yang akan berkembang lebih jauh di kemudian hari.
Agroikos di Era Modern: Dari Stigma Menjadi Inspirasi
Dengan datangnya Revolusi Industri pada abad ke-18 dan ke-19, terjadi eksodus besar-besaran dari pedesaan ke kota. Urbanisasi menjadi kekuatan pendorong utama, mengubah struktur sosial dan ekonomi secara drastis. Kota-kota tumbuh pesat, menjadi pusat industri, perdagangan, dan inovasi. Pada periode ini, pandangan terhadap pedesaan dan orang-orang pedesaan kembali didominasi oleh stereotip negatif: keterbelakangan, kemiskinan, dan kurangnya peluang. Istilah agroikos, atau padanannya dalam berbagai bahasa, sering digunakan untuk merujuk pada 'orang udik' atau 'kampungan'.
Romantisme Alam dan Kritik terhadap Industrialisasi
Namun, seiring dengan pesatnya industrialisasi, muncul pula gerakan Romantisme yang mengkritik dampak negatif modernisasi dan urbanisasi. Para penyair seperti William Wordsworth dan filsuf seperti Jean-Jacques Rousseau mulai mengagungkan alam dan kehidupan pedesaan sebagai sumber keaslian, kemurnian, dan kebahagiaan sejati. Rousseau dengan konsepnya tentang "manusia mulia yang belum beradab" (noble savage) secara implisit memberikan nilai positif pada karakteristik agroikos: kesederhanaan, kedekatan dengan alam, dan kebebasan dari korupsi peradaban kota.
Pada abad ke-20, kritik terhadap dampak buruk industrialisasi dan konsumerisme semakin menguat. Isu-isu lingkungan, polusi, ketimpangan sosial, dan stres perkotaan mendorong banyak orang untuk mencari alternatif. Inilah titik di mana makna agroikos mulai mengalami transformasi paling radikal. Ia tidak lagi sekadar merujuk pada seseorang dari desa, melainkan pada spirit atau filosofi kehidupan yang menghargai nilai-nilai pedesaan.
Reinterpretasi Positif: Menemukan Kembali Nilai "Agroikos"
Di dunia yang semakin kompleks dan cepat ini, nilai-nilai yang dulunya dianggap sebagai kekurangan dari agroikos kini justru dilihat sebagai kekuatan. Kesederhanaan, kemandirian, kedekatan dengan alam, kerja keras, dan koneksi komunitas menjadi aspirasi bagi banyak orang. Berikut adalah beberapa aspek di mana spirit agroikos menemukan relevansi positif di era modern:
- Gaya Hidup Minimalis dan Dekonsumsi: Agroikos menolak kemewahan dan konsumerisme berlebihan, memilih hidup dengan apa yang benar-benar dibutuhkan. Ini sejalan dengan gerakan minimalisme modern yang menganjurkan pengurangan barang, fokus pada pengalaman, dan mengurangi jejak ekologis.
- Keberlanjutan dan Ekologi: Dekat dengan alam berarti memahami siklusnya, menghargai sumber daya, dan hidup secara harmonis dengan lingkungan. Konsep permakultur, pertanian organik, dan gerakan "kembali ke tanah" (back-to-the-land) adalah manifestasi modern dari spirit agroikos yang pro-lingkungan.
- Kemandirian dan Keterampilan Praktis: Petani tradisional memiliki berbagai keterampilan mulai dari menanam, memelihara hewan, membangun, hingga memperbaiki. Di era modern, minat pada keterampilan DIY (Do It Yourself), berkebun urban, pengawetan makanan, dan kerajinan tangan adalah refleksi dari keinginan untuk lebih mandiri dan memiliki kemampuan praktis.
- Koneksi Komunitas dan Solidaritas: Kehidupan pedesaan seringkali ditandai oleh komunitas yang erat, saling membantu, dan solidaritas. Di kota-kota besar, banyak orang merindukan koneksi sosial yang autentik ini, mendorong munculnya inisiatif komunitas lokal, pasar petani, dan gerakan "lokal" (localism).
- Ketenangan dan Kesehatan Mental: Jauh dari hiruk pikuk kota, pedesaan menawarkan ketenangan dan kedamaian. Banyak penelitian menunjukkan manfaat kesehatan mental dari waktu yang dihabiskan di alam. "Pelarian" ke pedesaan atau sekadar mengadopsi ritme hidup yang lebih lambat adalah cara modern untuk mencari "ketenangan agroikos".
Filosofi "Agroikos": Kebijaksanaan dari Tanah
Lebih dari sekadar gaya hidup, agroikos dapat dipandang sebagai sebuah filosofi yang berakar pada kebijaksanaan yang lahir dari kedekatan dengan tanah dan siklus alam. Ini adalah filosofi yang mengajarkan kesabaran, kerja keras, adaptasi, dan kerendahan hati di hadapan kekuatan alam yang tak terkalahkan.
Kesabaran dan Siklus Alam
Hidup di pedesaan, terutama sebagai petani, menuntut kesabaran yang luar biasa. Panen tidak datang dalam semalam; ia membutuhkan waktu, perawatan, dan penantian. Para petani memahami siklus musim, ketergantungan pada cuaca, dan laju pertumbuhan alami. Filosofi ini mengajarkan bahwa tidak semua hal dapat dipercepat atau dikendalikan. Ada ritme alami yang harus dihormati. Di dunia modern yang serba instan, kesabaran agroikos menjadi pengingat penting bahwa beberapa hal terbaik dalam hidup membutuhkan waktu.
Kerja Keras dan Realitas Fisik
Kehidupan pedesaan adalah tentang kerja keras fisik. Mencangkul tanah, menanam benih, memanen hasil, beternak, semua membutuhkan tenaga dan dedikasi. Tidak ada jalan pintas. Filosofi ini menekankan nilai dari upaya nyata, ketahanan, dan penghargaan terhadap hasil yang diperoleh melalui keringat dan kerja keras. Ini adalah antitesis dari budaya "klik instan" dan penghasilan pasif tanpa usaha yang sering dipromosikan di dunia digital.
Kemandirian dan Keterampilan Praktis
Orang-orang agroikos secara historis adalah individu yang mandiri. Mereka harus bisa mengurus diri sendiri, keluarga, dan lahan mereka. Ini berarti mengembangkan berbagai keterampilan praktis: bertukang, menjahit, memasak dari nol, memelihara peralatan, atau bahkan membuat obat-obatan herbal. Filosofi ini mengajarkan pentingnya otonomi, kemampuan untuk menyelesaikan masalah, dan tidak sepenuhnya bergantung pada sistem atau layanan eksternal. Di era di mana banyak keterampilan dasar telah hilang, semangat kemandirian ini menjadi sangat berharga.
Komunitas dan Gotong Royong
Meskipun sering digambarkan sebagai individu yang mandiri, kehidupan pedesaan juga sangat bergantung pada komunitas. Musim tanam dan panen seringkali membutuhkan bantuan tetangga, acara-acara penting dirayakan bersama, dan kesulitan ditanggung bersama. Filosofi agroikos menekankan nilai solidaritas, gotong royong, dan pentingnya koneksi sosial yang kuat dan saling mendukung. Di tengah individualisme modern, ini adalah pengingat akan kekuatan dan kehangatan komunitas.
Kerendahan Hati dan Hubungan dengan Alam
Kedekatan dengan alam mengajarkan kerendahan hati. Petani tahu bahwa mereka tidak bisa mengendalikan segalanya; mereka tunduk pada kekuasaan cuaca, penyakit, dan siklus kehidupan. Filosofi ini mengajarkan rasa hormat terhadap alam, pengakuan akan tempat kita sebagai bagian dari ekosistem yang lebih besar, dan kesadaran bahwa kita adalah penjaga, bukan penguasa, bumi. Ini adalah pelajaran yang sangat relevan di tengah krisis iklim saat ini.
Agroikos di Era Digital: Peluang dan Tantangan
Di era digital, di mana konektivitas global semakin intens, konsep agroikos menghadapi peluang dan tantangan unik. Bagaimana spirit pedesaan ini dapat berintegrasi atau bahkan berkembang di tengah kemajuan teknologi?
Peluang: Konektivitas dan Pemberdayaan
Internet dan teknologi komunikasi telah meruntuhkan banyak batasan geografis. Kini, seseorang bisa tinggal di pedesaan yang tenang namun tetap bekerja secara remote untuk perusahaan di kota besar, atau bahkan membangun bisnis online global. Ini membuka peluang bagi komunitas pedesaan untuk berkembang tanpa harus kehilangan identitas atau harus berpindah ke kota.
- Desa Digital (Digital Villages): Banyak inisiatif muncul untuk membekali warga desa dengan keterampilan digital, memungkinkan mereka memasarkan produk lokal secara online, mengakses pendidikan jarak jauh, atau menjadi freelancer digital.
- Agro-Teknologi: Teknologi modern dapat digunakan untuk membuat pertanian lebih efisien dan berkelanjutan. Sensor tanah, drone untuk pemantauan lahan, dan aplikasi cuaca dapat membantu petani membuat keputusan yang lebih baik, menghemat sumber daya, dan meningkatkan hasil panen. Ini adalah "agroikos" yang diperbarui, menggabungkan kearifan tradisional dengan inovasi.
- Edukasi dan Kesadaran: Platform online memungkinkan penyebaran informasi tentang gaya hidup berkelanjutan, pertanian organik, dan nilai-nilai pedesaan kepada audiens global. Spirit agroikos kini dapat menginspirasi lebih banyak orang, di mana pun mereka berada.
Tantangan: Kesenjangan Digital dan Homogenisasi
Meskipun ada peluang, tantangan juga tetap ada. Kesenjangan digital, di mana akses internet cepat dan terjangkau masih terbatas di banyak daerah pedesaan, menjadi hambatan utama. Selain itu, ada risiko homogenisasi budaya, di mana nilai-nilai pedesaan dapat terkikis oleh pengaruh budaya global yang dominan melalui media digital.
- Kesenjangan Infrastruktur: Banyak daerah pedesaan masih kekurangan infrastruktur telekomunikasi yang memadai, membatasi akses mereka ke peluang digital.
- Ancaman terhadap Identitas Lokal: Paparan terus-menerus terhadap budaya global dapat mengikis praktik-praktik tradisional, bahasa lokal, dan nilai-nilai unik komunitas pedesaan.
- Urbanisasi Digital: Bahkan jika orang tinggal di pedesaan, jika gaya hidup mereka sepenuhnya terfokus pada layar dan koneksi virtual, esensi dari kedekatan dengan alam dan lingkungan fisik bisa hilang.
Maka, tantangannya adalah bagaimana merangkul teknologi untuk memberdayakan spirit agroikos tanpa mengorbankan esensinya. Bagaimana kita bisa menggunakan digitalisasi untuk memperkuat komunitas lokal, mempromosikan keberlanjutan, dan menjaga koneksi dengan alam, alih-alih justru menjauhkannya?
Menerapkan Spirit "Agroikos" dalam Kehidupan Sehari-hari
Bagi sebagian besar dari kita yang tinggal di perkotaan, pindah ke pedesaan mungkin bukan pilihan yang realistis. Namun, ini tidak berarti kita tidak dapat mengintegrasikan spirit agroikos ke dalam kehidupan sehari-hari. Spirit ini bukan tentang lokasi geografis, melainkan tentang pola pikir dan nilai-nilai yang kita anut. Berikut adalah beberapa cara untuk menerapkan filosofi ini:
1. Bertani atau Berkebun di Perkotaan
Jika Anda memiliki lahan, bahkan sekecil apa pun, pertimbangkan untuk menanam sayuran, buah-buahan, atau rempah-rempah sendiri. Berkebun memberikan koneksi langsung dengan alam, mengajarkan kesabaran, dan memberikan kepuasan melihat hasil kerja keras. Jika tidak ada lahan, kebun vertikal, hidroponik, atau menanam di pot dan balkon adalah alternatif yang bagus. Banyak kota juga memiliki taman komunitas atau kebun bersama yang bisa menjadi sarana untuk terhubung dengan tanah dan orang lain.
2. Mendukung Produk Lokal dan Musiman
Salah satu inti dari agroikos adalah menghargai apa yang tumbuh di sekitar kita dan yang sesuai dengan musim. Belilah dari pasar petani lokal, toko-toko yang mendukung produk daerah, atau langsung dari petani. Ini tidak hanya mendukung ekonomi lokal dan mengurangi jejak karbon akibat transportasi, tetapi juga mendorong Anda untuk makan makanan segar, lebih sehat, dan memahami siklus pangan.
3. Mengembangkan Keterampilan Praktis (DIY)
Alih-alih selalu membeli yang baru atau membayar orang lain untuk memperbaiki, cobalah belajar keterampilan DIY dasar. Perbaiki barang-barang yang rusak, buat sendiri barang-barang rumah tangga, atau belajar kerajinan tangan. Ini tidak hanya menghemat uang tetapi juga menumbuhkan rasa kemandirian, kreativitas, dan penghargaan terhadap proses pembuatan.
4. Mempraktikkan Kesederhanaan dan Dekonsumsi
Tinjau kembali barang-barang yang Anda miliki. Apakah Anda benar-benar membutuhkannya? Praktikkan minimalisme dengan mengurangi barang-barang yang tidak perlu, memilih barang-barang berkualitas yang tahan lama, dan menolak godaan konsumerisme. Fokus pada pengalaman daripada kepemilikan. Spirit agroikos adalah tentang mencukupkan diri dengan apa yang ada dan menghargai nilai intrinsik, bukan nilai material.
5. Mencari Koneksi dengan Alam
Luangkan waktu untuk berada di alam, bahkan di tengah kota. Kunjungi taman, hutan kota, atau sekadar duduk di bawah pohon. Perhatikan burung-burung, tanam-tanaman, dan perubahan cuaca. Biarkan diri Anda merasakan ritme alami. Piknik di taman, berjalan kaki di jalur hijau, atau hiking di akhir pekan adalah cara-cara sederhana untuk memelihara koneksi esensial ini.
6. Membangun Komunitas Lokal
Di kota, sangat mudah untuk merasa terasing. Carilah cara untuk terhubung dengan tetangga atau orang-orang di lingkungan Anda. Bergabunglah dengan klub buku lokal, kelompok relawan, atau inisiatif lingkungan. Pertukaran barang atau keterampilan dengan tetangga adalah praktik agroikos yang sangat relevan. Membangun hubungan yang kuat di tingkat lokal menciptakan jaringan dukungan dan rasa memiliki.
7. Memperlambat Ritme Hidup
Di dunia yang serba cepat, melambat adalah tindakan revolusioner. Berikan diri Anda waktu untuk beristirahat, merenung, dan menikmati momen. Jangan terburu-buru. Nikmati makanan Anda. Luangkan waktu untuk hobi yang tidak melibatkan layar. Ini adalah tentang menghormati ritme alami tubuh dan pikiran Anda, mirip dengan bagaimana petani menghormati siklus alam.
8. Menghargai Kerendahan Hati dan Adaptasi
Kehidupan tidak selalu berjalan sesuai rencana, dan alam seringkali mengajarkan kita tentang ketidakpastian. Spirit agroikos mengajarkan kerendahan hati untuk menerima hal-hal yang tidak bisa kita ubah, dan kemampuan untuk beradaptasi dengan kondisi yang berubah. Ini adalah pelajaran penting dalam menghadapi tantangan hidup modern.
Kesimpulan: Memeluk Kebijaksanaan "Agroikos"
Dari asal-usulnya yang seringkali merendahkan di Yunani kuno hingga reinterpretasinya yang inspiratif di dunia modern, konsep agroikos telah menempuh perjalanan makna yang panjang dan kompleks. Awalnya adalah label bagi mereka yang dianggap kurang beradab dari pedesaan, kini ia bertransformasi menjadi simbol nilai-nilai yang semakin dicari: kesederhanaan, kemandirian, kedekatan dengan alam, keberlanjutan, dan kekuatan komunitas.
Di tengah tantangan abad ke-21—mulai dari krisis iklim, ketimpangan ekonomi, hingga pandemi global dan krisis kesehatan mental—filosofi agroikos menawarkan sebuah panduan yang berharga. Ia mengingatkan kita bahwa kebahagiaan sejati mungkin tidak ditemukan dalam akumulasi kekayaan atau pencapaian status sosial yang tinggi, tetapi dalam koneksi otentik dengan diri kita sendiri, orang lain, dan alam yang menopang kehidupan kita.
Menerapkan spirit agroikos tidak berarti harus meninggalkan kota dan menjadi petani. Sebaliknya, ia adalah ajakan untuk menanamkan nilai-nilai pedesaan—kesabaran, kerja keras, kerendahan hati, kemandirian, dan semangat komunitas—ke dalam setiap aspek kehidupan kita, di mana pun kita berada. Ini adalah tentang memilih kesederhanaan di tengah kerumitan, keberlanjutan di tengah konsumerisme, dan koneksi di tengah isolasi.
Pada akhirnya, agroikos adalah lebih dari sekadar kata; ia adalah panggilan untuk kembali ke esensi, sebuah filosofi yang mengajak kita untuk hidup dengan lebih sadar, lebih bertanggung jawab, dan lebih harmonis dengan dunia di sekitar kita. Di era yang serba cepat dan seringkali terputus ini, kebijaksanaan dari tanah mungkin adalah kompas terbaik yang bisa kita miliki untuk menemukan arah menuju kehidupan yang lebih bermakna dan berkelanjutan.
Dengan memeluk spirit agroikos, kita tidak hanya menghormati warisan masa lalu, tetapi juga membangun masa depan yang lebih kokoh, lebih seimbang, dan lebih manusiawi.