Alah Bisa Tegah Biasa: Merangkai Keunggulan Diri Melalui Ketekunan

Ilustrasi seseorang yang mendaki tangga menuju puncak, melambangkan ketekunan dan kemajuan dalam perjalanan "alah bisa tegah biasa".

Dalam khazanah peribahasa Melayu, terdapat sebuah ungkapan yang sarat makna dan relevansi abadi: "Alah Bisa Tegah Biasa". Peribahasa ini, yang secara harfiah dapat diartikan sebagai "kalau sudah biasa (terbiasa), maka hilanglah susahnya", adalah sebuah kearifan lokal yang menggarisbawahi kekuatan adaptasi, ketekunan, dan transformasi diri. Pada dasarnya, ia mengajarkan kita bahwa setiap kesulitan, setiap tantangan baru, betapapun beratnya di awal, akan menjadi lebih mudah, bahkan lumrah, seiring dengan waktu dan latihan yang konsisten. Ini bukan sekadar pepatah kuno; ini adalah fondasi psikologis dan neurologis yang mendalam tentang bagaimana manusia belajar, tumbuh, dan menguasai berbagai aspek kehidupan.

Artikel ini akan mengupas tuntas filosofi di balik "Alah Bisa Tegah Biasa", menelusuri bagaimana prinsip ini bekerja dalam diri kita, serta menyajikan strategi praktis untuk menerapkannya dalam berbagai dimensi kehidupan. Dari pengembangan keterampilan baru hingga pembentukan kebiasaan positif, dari mengatasi ketakutan hingga meraih keunggulan profesional, kita akan melihat bagaimana ketekunan dan pengulangan adalah kunci untuk membuka potensi tak terbatas dalam diri kita. Mari kita selami perjalanan mengubah yang sulit menjadi mudah, yang mustahil menjadi mungkin, dan yang asing menjadi bagian tak terpisahkan dari diri kita.

Memahami Filosofi "Alah Bisa Tegah Biasa"

Inti dari "Alah Bisa Tegah Biasa" adalah pengakuan atas sifat alami manusia yang cenderung menghindari ketidaknyamanan dan mencari kenyamanan. Setiap kali kita dihadapkan pada hal baru — belajar bahasa asing, mengoperasikan perangkat lunak baru, memulai rutinitas olahraga, atau berbicara di depan umum — respons awal kita sering kali adalah rasa canggung, ketidakpastian, atau bahkan ketakutan. Ada friksi, resistensi, dan kadang-kadang kegagalan. Ini adalah fase "alah bisa" yang sesungguhnya: periode di mana kita merasa kalah oleh kesulitan, merasa tidak mampu, atau menganggap tugas tersebut terlalu besar.

Namun, peribahasa ini tidak berhenti pada pengakuan kesulitan. Ia menawarkan solusi: "Tegah Biasa". Kata "biasa" di sini bukan sekadar tentang melakukan sesuatu secara rutin, tetapi tentang integrasi aktivitas tersebut ke dalam alam bawah sadar kita, ke dalam pola saraf kita, hingga ia menjadi respons otomatis yang tidak lagi memerlukan usaha kognitif yang besar. Saat kita terus-menerus mempraktikkan sesuatu, bahkan ketika itu sulit, kita sedang membangun jembatan di antara neuron-neuron otak kita, membentuk jalur baru yang semakin kuat dengan setiap pengulangan. Inilah yang mengubah rasa "alah" menjadi "mudah", atau bahkan "alami".

Filosofi ini mengajarkan kita tentang kesabaran, tentang menghargai proses, dan tentang kekuatan transformatif dari pengulangan yang disengaja. Ia menantang kita untuk melampaui zona nyaman, untuk merangkul ketidaknyamanan sebagai bagian integral dari pertumbuhan, dan untuk percaya bahwa dengan cukup waktu dan upaya, apa pun dapat dikuasai.

"Kehidupan ini adalah serangkaian kebiasaan. Semakin banyak kebiasaan positif yang kita tanam, semakin kuat kita."

Neuroplastisitas dan Adaptasi Otak: Fondasi Ilmiah "Alah Bisa"

Di balik kearifan "Alah Bisa Tegah Biasa", terdapat ilmu pengetahuan modern yang memvalidasinya: konsep neuroplastisitas. Neuroplastisitas adalah kemampuan luar biasa otak untuk mengubah struktur dan fungsinya sebagai respons terhadap pengalaman, pembelajaran, dan cedera. Seiring kita terus-menerus mempraktikkan suatu keterampilan atau kebiasaan, otak kita secara fisik mulai berubah.

Membangun Jalur Saraf Baru

Setiap kali kita belajar hal baru atau melakukan suatu tindakan, sinyal listrik mengalir di antara neuron-neuron di otak kita. Jika tindakan itu diulang, koneksi (sinapsis) antara neuron-neuron yang terlibat akan semakin kuat. Ini seperti membuat jalan setapak di hutan belantara; pertama kali sulit dan lambat, tetapi semakin sering dilalui, semakin jelas dan mudah jalan itu dilewati. Dalam konteks otak, jalur saraf yang kuat ini memungkinkan informasi diproses lebih cepat dan efisien, sehingga tugas yang awalnya sulit menjadi lebih mudah dan otomatis.

Melampaui Zona Nyaman

Awalnya, belajar hal baru sering kali mengaktifkan korteks prefrontal, bagian otak yang bertanggung jawab untuk pemikiran sadar, perencanaan, dan pengambilan keputusan. Ini membutuhkan banyak energi mental dan terasa melelahkan. Namun, seiring waktu dan pengulangan, tugas tersebut "bergeser" ke bagian otak yang lebih tua dan lebih otomatis, seperti ganglia basal. Ini membebaskan korteks prefrontal untuk fokus pada tugas-tugas yang lebih kompleks, sembari kita melakukan kebiasaan baru kita dengan "pilot otomatis". Inilah mengapa seorang pianis berpengalaman dapat memainkan melodi kompleks sambil berbicara, atau seorang pengemudi dapat menavigasi lalu lintas tanpa berpikir keras tentang setiap gerakan roda kemudi.

Memahami neuroplastisitas memberi kita perspektif ilmiah tentang mengapa "Alah Bisa Tegah Biasa" adalah kebenaran universal. Ini bukan hanya masalah kemauan, tetapi juga masalah fisiologi otak yang mampu beradaptasi dan bertransformasi. Dengan pengetahuan ini, kita dapat mendekati setiap tantangan baru dengan keyakinan bahwa otak kita *dirancang* untuk menguasainya, asalkan kita memberinya kesempatan untuk membentuk jalur baru melalui ketekunan.

Mengatasi Hambatan Awal: Langkah Pertama Menuju "Biasa"

Meskipun filosofi "Alah Bisa Tegah Biasa" sangat memotivasi, langkah pertama seringkali adalah yang paling sulit. Fase "alah bisa" dapat terasa sangat berat karena berbagai hambatan psikologis dan praktis. Mengidentifikasi dan mengatasi hambatan-hambatan ini adalah kunci untuk memulai perjalanan menuju "biasa".

1. Ketakutan akan Kegagalan atau Kesempurnaan

Banyak dari kita enggan mencoba hal baru karena takut tidak sempurna atau gagal. Kita ingin segera mahir, dan ketika kenyataan menunjukkan bahwa kita harus memulai dari nol dan akan membuat banyak kesalahan, kita cenderung mundur. Ini adalah jebakan perfeksionisme.

2. Prokrastinasi dan Kurangnya Motivasi

Tugas-tugas yang terasa besar atau tidak menyenangkan sering kali ditunda. Kurangnya motivasi untuk memulai bisa menjadi penghalang serius, terutama jika hasil tidak terlihat dalam waktu singkat.

3. Terlalu Banyak Informasi (Overwhelm)

Di era digital, kita dibombardir dengan informasi. Ketika memulai hal baru, seringkali kita merasa kewalahan dengan banyaknya metode, tutorial, atau alat yang tersedia.

4. Kurangnya Lingkungan yang Mendukung

Lingkungan kita, baik fisik maupun sosial, memiliki dampak besar pada kemampuan kita untuk membentuk kebiasaan baru. Jika lingkungan tidak mendukung, akan lebih sulit untuk bertahan.

Mengatasi hambatan-hambatan ini membutuhkan kesadaran diri, perencanaan, dan yang terpenting, kesediaan untuk memulai meskipun tidak sempurna. Ingatlah bahwa setiap langkah kecil, setiap upaya yang dilakukan, adalah investasi dalam proses "alah bisa tegah biasa" Anda.

Penerapan "Alah Bisa" dalam Berbagai Aspek Kehidupan

Prinsip "Alah Bisa Tegah Biasa" adalah lensa universal yang dapat diterapkan untuk mencapai keunggulan di hampir setiap area kehidupan. Dari pertumbuhan pribadi hingga kesuksesan profesional, kekuatan kebiasaan dan ketekunan adalah fondasi yang kokoh.

1. Pengembangan Keterampilan Baru: Bahasa, Musik, dan Lainnya

Salah satu area paling jelas di mana "Alah Bisa Tegah Biasa" bersinar adalah dalam pembelajaran keterampilan baru. Siapa pun yang pernah mencoba belajar bahasa asing, memainkan alat musik, atau menguasai perangkat lunak kompleks pasti merasakan fase "alah" di awal.

Kunci di sini adalah konsistensi, bukan intensitas sesaat. Sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit, dan kesulitan akan luntur menjadi kemahiran.

2. Pembentukan Kebiasaan Positif: Kesehatan Fisik dan Mental

Menerapkan "Alah Bisa Tegah Biasa" untuk membentuk kebiasaan yang meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan adalah investasi terbaik yang bisa Anda lakukan.

3. Mengatasi Ketakutan dan Kecemasan: Berbicara di Depan Umum atau Interaksi Sosial

Ketakutan seringkali adalah hasil dari ketidaktahuan atau kurangnya pengalaman. Dengan menghadapi ketakutan secara bertahap dan berulang, kita dapat mengubah respons emosional kita.

4. Produktivitas dan Efisiensi Kerja: Mengelola Waktu dan Tugas

Di lingkungan kerja yang serba cepat, menguasai produktivitas adalah kunci. Kebiasaan-kebiasaan kecil dapat membuat perbedaan besar.

5. Hubungan Interpersonal: Empati dan Komunikasi Efektif

Hubungan yang sehat tidak hanya tentang cinta atau kebetulan, tetapi juga tentang keterampilan yang diasah melalui praktik.

6. Kesehatan Mental dan Emosional: Mengelola Stres dan Resiliensi

Membangun kesehatan mental yang kuat adalah proses berkelanjutan yang melibatkan kebiasaan sehari-hari.

7. Kewirausahaan dan Inovasi: Adaptasi dan Pembelajaran Berkelanjutan

Dunia bisnis dan inovasi adalah arena di mana "Alah Bisa Tegah Biasa" adalah filosofi esensial untuk bertahan hidup dan berkembang.

Dalam setiap contoh ini, benang merahnya jelas: kesulitan awal adalah bagian yang tak terhindarkan dari proses. Namun, dengan ketekunan, kesabaran, dan praktik yang disengaja, apa pun yang awalnya terasa "alah bisa" akan bertransformasi menjadi "tegah biasa", membuka jalan menuju penguasaan dan keunggulan diri.

Seni Latihan yang Disengaja (Deliberate Practice): Mempercepat Proses "Alah Bisa"

Meskipun pengulangan adalah kunci, tidak semua pengulangan diciptakan sama. Untuk benar-benar mempercepat proses "Alah Bisa Tegah Biasa" dan mencapai tingkat penguasaan yang tinggi, kita perlu beralih dari sekadar latihan rutin ke latihan yang disengaja (deliberate practice).

Konsep latihan yang disengaja dipopulerkan oleh psikolog K. Anders Ericsson, yang penelitiannya menunjukkan bahwa bukan hanya jumlah jam latihan yang penting, tetapi juga *cara* kita berlatih. Latihan yang disengaja adalah aktivitas terstruktur dan fokus yang dirancang untuk meningkatkan kinerja, seringkali dengan mendorong kita keluar dari zona nyaman.

Ciri-ciri Latihan yang Disengaja:

  1. Tujuan yang Jelas dan Spesifik: Bukan hanya "berlatih gitar," tetapi "berlatih akor G minor dengan kecepatan 60 bpm tanpa kesalahan." Fokus pada satu aspek kecil untuk ditingkatkan.
  2. Fokus Penuh dan Konsentrasi Tinggi: Latihan yang disengaja membutuhkan perhatian penuh, bukan multitasking atau latihan sambil lalu. Setiap sesi adalah kesempatan untuk memperbaiki detail.
  3. Umpan Balik Instan dan Akurat: Anda perlu tahu apakah Anda berhasil atau gagal, dan mengapa. Ini bisa datang dari pelatih, mentor, rekan, atau bahkan dari diri sendiri jika Anda belajar mengamati kinerja Anda secara objektif. Umpan balik membantu Anda menyesuaikan pendekatan Anda.
  4. Mendorong Diri Keluar dari Zona Nyaman: Latihan yang disengaja tidak nyaman. Ini melibatkan secara aktif mencoba hal-hal yang sulit, membuat kesalahan, dan memperbaiki kelemahan. Ini adalah proses yang menantang dan kadang-kadang membuat frustrasi.
  5. Pengulangan yang Bertujuan: Bukan hanya mengulang hal yang sama, tetapi mengulang dengan niat untuk meningkatkan, mencoba pendekatan yang berbeda, atau meningkatkan kecepatan/akurasi.
  6. Membutuhkan Upaya Mental yang Signifikan: Karena harus fokus dan keluar dari zona nyaman, latihan yang disengaja lebih melelahkan secara mental dibandingkan latihan biasa.

Contoh dalam Praktik:

Dengan menerapkan prinsip-prinsip latihan yang disengaja, kita tidak hanya mengandalkan waktu untuk membuat sesuatu "biasa", tetapi secara aktif membentuk dan mempercepat proses adaptasi otak kita. Ini mengubah "alah bisa" menjadi "cepat bisa" dan "tegah biasa" menjadi "menguasai". Ini adalah cara untuk tidak hanya menjadi kompeten, tetapi untuk mencapai keunggulan sejati.

Tantangan dan Jebakan dalam Perjalanan "Alah Bisa"

Meskipun janji "Alah Bisa Tegah Biasa" sangat menggiurkan, perjalanan menuju penguasaan tidak selalu mulus. Ada berbagai tantangan dan jebakan yang dapat menggagalkan upaya kita. Mengenali dan mempersiapkan diri untuk menghadapinya adalah bagian penting dari ketekunan.

1. Plateau atau Kemandegan

Setelah periode kemajuan yang pesat di awal, seringkali kita mencapai titik di mana kemajuan terasa melambat atau bahkan terhenti sama sekali. Ini adalah "plateau", dan dapat sangat mengecilkan hati.

2. Kejenuhan dan Kebosanan

Melakukan hal yang sama berulang kali, terutama jika itu menantang, bisa sangat membosankan. Kebosanan adalah musuh utama konsistensi.

3. Terlalu Banyak Tekanan atau Perfeksionisme

Paradoksnya, keinginan untuk "sempurna" dapat menghambat kemajuan. Menetapkan standar yang terlalu tinggi atau terlalu banyak menekan diri sendiri dapat menyebabkan kelelahan dan menyerah.

4. Distraksi dan Prioritas yang Berubah

Dunia modern penuh dengan distraksi. Prioritas kita juga dapat bergeser, membuat kita kehilangan fokus pada tujuan awal.

5. Kurangnya Dukungan atau Akuntabilitas

Mencoba sendirian dapat terasa berat. Kurangnya dukungan atau akuntabilitas dapat mengurangi motivasi.

Perjalanan "Alah Bisa Tegah Biasa" adalah sebuah maraton, bukan sprint. Akan ada rintangan, tetapi dengan kesadaran dan strategi yang tepat, Anda dapat melewati setiap tantangan dan terus maju menuju penguasaan diri.

Transformasi Jangka Panjang: Buah dari "Alah Bisa Tegah Biasa"

Meskipun perjuangan di awal dapat terasa berat, imbalan dari menerapkan prinsip "Alah Bisa Tegah Biasa" bersifat transformatif dan berkelanjutan. Ini bukan hanya tentang menguasai satu keterampilan atau membentuk satu kebiasaan, tetapi tentang menumbuhkan pola pikir dan gaya hidup yang memungkinkan pertumbuhan tanpa henti.

1. Penguasaan dan Keunggulan Diri

Manfaat paling jelas adalah penguasaan. Ketika sesuatu yang dulu terasa sulit kini menjadi "biasa" dan otomatis, Anda telah mencapai tingkat kompetensi yang tinggi. Ini bisa berarti Anda fasih berbahasa baru, mahir dalam instrumen musik, seorang ahli di bidang pekerjaan Anda, atau memiliki kendali penuh atas kebiasaan sehat Anda. Penguasaan ini tidak hanya meningkatkan kemampuan fungsional Anda, tetapi juga membuka pintu ke peluang baru dan pengalaman yang lebih kaya.

2. Peningkatan Kepercayaan Diri dan Efikasi Diri

Setiap kali Anda mengubah sesuatu yang "alah bisa" menjadi "tegah biasa", Anda membuktikan kepada diri sendiri bahwa Anda mampu. Ini membangun kepercayaan diri yang mendalam dan rasa efikasi diri—keyakinan pada kemampuan Anda untuk berhasil dalam situasi tertentu. Kepercayaan diri ini menyebar ke area lain dalam hidup Anda, membuat Anda lebih berani mengambil risiko, mengatasi tantangan baru, dan percaya pada potensi Anda.

3. Pola Pikir Berkembang (Growth Mindset)

Perjalanan "Alah Bisa Tegah Biasa" secara inheren menumbuhkan pola pikir berkembang, di mana Anda melihat kemampuan dan kecerdasan sebagai sesuatu yang dapat dikembangkan melalui dedikasi dan kerja keras, bukan sebagai sifat tetap yang tidak dapat diubah. Ini adalah antidot terhadap pola pikir tetap yang percaya bahwa bakat adalah satu-satunya penentu kesuksesan. Dengan pola pikir berkembang, setiap tantangan adalah kesempatan untuk belajar, dan setiap kesalahan adalah batu loncatan menuju peningkatan.

4. Resiliensi yang Lebih Besar

Melewati fase "alah bisa" berulang kali membangun resiliensi—kemampuan untuk bangkit kembali dari kesulitan. Anda belajar bahwa ketidaknyamanan adalah sementara, dan bahwa dengan ketekunan, Anda dapat mengatasi rintangan. Ini membuat Anda lebih siap menghadapi tantangan hidup lainnya, baik pribadi maupun profesional, dengan kekuatan dan ketenangan.

5. Perluasan Zona Nyaman

Setiap kali Anda berhasil membuat sesuatu yang baru menjadi "biasa", zona nyaman Anda secara efektif meluas. Apa yang dulu terasa menakutkan atau asing kini menjadi bagian dari repertoar Anda. Ini menciptakan ruang untuk petualangan baru, pembelajaran lebih lanjut, dan eksplorasi diri yang berkelanjutan. Anda menjadi pribadi yang lebih adaptif dan terbuka terhadap pengalaman baru.

6. Kebebasan dan Otonomi

Ketika tindakan menjadi otomatis dan Anda menguasai keterampilan, Anda merasakan kebebasan. Anda tidak lagi terbebani oleh perjuangan kognitif atau emosional yang melelahkan. Anda dapat melakukan tugas-tugas dengan lebih sedikit usaha, membebaskan energi mental untuk kreativitas, pemikiran strategis, atau sekadar menikmati hidup. Misalnya, seorang penutur bahasa asing yang mahir tidak lagi berjuang dengan setiap kata, tetapi dapat fokus pada nuansa percakapan dan hubungan antarmanusia.

Pada akhirnya, "Alah Bisa Tegah Biasa" bukan hanya tentang mencapai tujuan, tetapi tentang menjadi pribadi yang lebih kuat, lebih percaya diri, dan lebih adaptif. Ini adalah filosofi hidup yang, jika dipeluk, dapat membuka pintu menuju transformasi diri yang tak terbatas, di mana setiap kesulitan adalah peluang tersembunyi untuk tumbuh dan berkembang menjadi versi terbaik dari diri Anda.

Kesimpulan: Merangkul Perjalanan Menuju Penguasaan

Dari penggalan kearifan lokal "Alah Bisa Tegah Biasa", kita belajar sebuah kebenaran fundamental tentang pertumbuhan dan potensi manusia. Setiap hal besar yang pernah dicapai, setiap keterampilan yang pernah dikuasai, dan setiap kebiasaan positif yang pernah terbentuk, semuanya dimulai dari fase "alah bisa"—rasa canggung, sulit, dan kadang-kadang menyakitkan. Namun, dengan ketekunan, konsistensi, dan praktik yang disengaja, kita memiliki kemampuan luar biasa untuk mengubah kesulitan-kesulitan itu menjadi "tegah biasa", bahkan lumrah.

Kita telah menelusuri fondasi ilmiah dari prinsip ini melalui neuroplastisitas, yang menunjukkan bahwa otak kita memang dirancang untuk beradaptasi dan membentuk jalur saraf baru. Kita juga telah melihat bagaimana berbagai hambatan awal seperti ketakutan, prokrastinasi, dan kejenuhan dapat diatasi dengan strategi yang tepat.

Penerapan "Alah Bisa Tegah Biasa" bersifat universal, mencakup pengembangan keterampilan baru, pembentukan kebiasaan kesehatan, mengatasi ketakutan, meningkatkan produktivitas, memperkaya hubungan, hingga menumbuhkan resiliensi mental. Ini adalah panduan praktis untuk mencapai keunggulan di setiap aspek kehidupan Anda.

Dan yang terpenting, kita memahami bahwa imbalan dari perjalanan ini jauh melampaui penguasaan satu hal. Ia melahirkan kepercayaan diri yang tak tergoyahkan, pola pikir berkembang yang tak terbatas, resiliensi yang kokoh, dan perluasan zona nyaman yang berkelanjutan. Ini adalah transformasi pribadi yang mengubah cara kita memandang tantangan dan kemampuan diri kita sendiri.

Maka, pertanyaan yang perlu kita ajukan pada diri sendiri adalah: Apa yang akan Anda mulai jadikan "biasa" hari ini? Mungkin itu adalah kebiasaan membaca 10 menit setiap malam, mempelajari 5 kata bahasa baru setiap hari, atau meluangkan waktu 30 menit untuk berolahraga. Mungkin itu adalah memberanikan diri memulai proyek yang selama ini tertunda, atau menghadapi ketakutan yang telah lama bersembunyi.

Ingatlah, setiap master dulunya adalah seorang pemula. Setiap kebiasaan yang mudah sekarang, dulunya adalah sebuah perjuangan. Jangan biarkan kesulitan awal menghalangi Anda. Rangkullah ketidaknyamanan, percayalah pada proses, dan saksikan bagaimana dengan konsistensi, apa pun yang "alah bisa" akan menjadi "tegah biasa". Ini adalah jalan menuju penguasaan diri, keunggulan, dan kehidupan yang lebih penuh potensi.