Angkatan Kelima: Polemik Sejarah dan Kekuatan Rakyat Indonesia

Membongkar gagasan kontroversial yang membayangi periode krusial perjalanan bangsa.

Sejarah Indonesia pasca-kemerdekaan adalah rentetan peristiwa kompleks yang membentuk identitas dan arah bangsa. Salah satu babak yang paling penuh polemik dan perdebatan, namun seringkali kurang dipahami secara mendalam oleh masyarakat luas, adalah gagasan tentang "Angkatan Kelima." Istilah ini merujuk pada sebuah proposal politik radikal yang muncul di tengah-tengah gejolak tahun 1960-an, sebuah masa yang sarat dengan intrik politik, pergolakan ideologi global, dan konsolidasi kekuasaan di tingkat nasional. Angkatan Kelima bukanlah sekadar wacana militer; ia merupakan representasi dari tarik-menarik kekuatan politik yang ekstrem, sebuah cerminan dari pertarungan ideologi yang mendalam antara kekuatan nasionalis, agama, dan komunis, sebagaimana yang terangkum dalam konsep Nasakom yang digagas Presiden Sukarno.

Proposal pembentukan Angkatan Kelima secara substansial adalah ide untuk mempersenjatai petani dan buruh sebagai bagian dari pertahanan negara. Gagasan ini, yang utamanya disuarakan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI), menimbulkan kekhawatiran serius di kalangan Angkatan Darat (AD) dan elemen-elemen anti-komunis lainnya. Dalam konteks Perang Dingin, di mana ideologi komunisme dan kapitalisme saling berseteru di panggung global, serta di tengah-tengah kampanye Dwikora yang sedang berlangsung, wacana Angkatan Kelima menjadi titik panas yang memanaskan suhu politik dan pada akhirnya berkontribusi pada ketegangan yang memuncak menjelang peristiwa tragis G30S.

Memahami Angkatan Kelima membutuhkan penelusuran yang cermat terhadap latar belakang sejarah, motivasi para aktor kuncinya, argumen yang mendasari proposal tersebut, serta implikasi jangka pendek maupun jangka panjang yang timbul. Artikel ini akan mencoba menelaah secara komprehensif seluruh aspek tersebut, dari akar ideologinya hingga bayangan yang ditinggalkannya dalam historiografi Indonesia.

Latar Belakang dan Konteks Ideologis: Dekade 1960-an

Untuk memahami mengapa gagasan Angkatan Kelima muncul dan menjadi sangat kontroversial, kita harus kembali ke Indonesia pada awal hingga pertengahan tahun 1960-an. Periode ini adalah puncak kepemimpinan Presiden Sukarno dengan kebijakan "Demokrasi Terpimpin"nya. Di bawah Demokrasi Terpimpin, Sukarno berusaha menyeimbangkan tiga pilar kekuatan utama dalam masyarakat Indonesia: Nasionalisme, Agama, dan Komunisme (Nasakom). Konsep ini, yang bagi Sukarno adalah resep untuk persatuan bangsa, justru menciptakan ketegangan laten yang luar biasa.

PKI, di bawah kepemimpinan D.N. Aidit, adalah partai komunis terbesar di luar Uni Soviet dan Tiongkok. Dengan basis massa yang luas di kalangan petani dan buruh, serta intelektual, PKI tumbuh menjadi kekuatan politik yang sangat signifikan. Mereka aktif dalam berbagai organisasi massa, termasuk serikat buruh (SOBSI), organisasi petani (BTI), organisasi wanita (Gerwani), dan organisasi pemuda (Pemuda Rakyat). Kekuatan ini memberikan PKI pengaruh yang besar dalam arena politik nasional.

Di sisi lain, Angkatan Darat (AD) juga memiliki posisi yang sangat kuat. Setelah pengalaman perjuangan kemerdekaan dan berbagai pemberontakan daerah, AD memandang dirinya sebagai penjaga utama persatuan dan kesatuan bangsa. Mereka memiliki ideologi anti-komunis yang kuat, sebagian besar karena pengalaman menghadapi pemberontakan komunis pada Madiun dan trauma atas upaya-upaya komunis untuk menembus struktur militer di masa lalu. AD melihat PKI sebagai ancaman potensial terhadap stabilitas dan ideologi Pancasila.

Konteks global juga tidak dapat diabaikan. Ini adalah era puncak Perang Dingin, di mana dunia terbagi antara blok Barat (kapitalis) dan blok Timur (komunis). Indonesia, melalui kebijakan luar negeri bebas-aktifnya, berupaya mengambil jalan tengah, menjadi pelopor Gerakan Non-Blok. Namun, di dalam negeri, pengaruh kedua blok ini tetap terasa. PKI secara alami berorientasi ke blok sosialis, sementara AD seringkali dipandang lebih dekat dengan blok Barat, atau setidaknya anti-komunis.

Selain itu, Indonesia sedang menghadapi Konfrontasi dengan Malaysia (Dwikora), yang dicanangkan Sukarno. Dwikora, atau "Dwi Komando Rakyat," menyerukan perjuangan untuk mengganyang Malaysia. Situasi perang ini menciptakan kebutuhan akan kekuatan pertahanan yang lebih besar, dan inilah celah yang dimanfaatkan PKI untuk mengajukan gagasan Angkatan Kelima.

Gagasan Angkatan Kelima: Argumen PKI dan Resonansinya

Gagasan untuk membentuk Angkatan Kelima, yaitu mempersenjatai rakyat di luar empat angkatan bersenjata yang sudah ada (Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Kepolisian), pertama kali secara serius dilontarkan oleh Ketua Comite Central PKI, D.N. Aidit. Dalam berbagai pidatonya, Aidit berulang kali menekankan pentingnya peran rakyat dalam pertahanan negara secara menyeluruh. Ia berargumen bahwa dalam kondisi perang, seperti Konfrontasi dengan Malaysia, pertahanan negara tidak boleh hanya bergantung pada militer profesional, melainkan harus melibatkan seluruh lapisan masyarakat.

Argumen utama PKI dapat diuraikan sebagai berikut:

  1. Pertahanan Rakyat Semesta: PKI berargumen bahwa prinsip pertahanan Indonesia adalah pertahanan rakyat semesta. Artinya, setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Dengan mempersenjatai petani dan buruh, yang merupakan mayoritas penduduk, Indonesia akan memiliki kekuatan pertahanan yang tak terkalahkan. Mereka mengutip contoh revolusi di Tiongkok dan Vietnam, di mana milisi rakyat terbukti sangat efektif melawan kekuatan militer konvensional yang lebih besar.
  2. Anti-Imperialisme dan Anti-Nekolim: Gagasan ini juga diselaraskan dengan semangat anti-imperialisme dan anti-neokolonialisme (Nekolim) yang gencar digaungkan Sukarno. PKI menganggap bahwa mempersenjatai rakyat adalah cara untuk menggalang kekuatan maksimal melawan ancaman asing, terutama dari negara-negara Barat yang dianggap mendukung Malaysia dan mengancam kedaulatan Indonesia. Rakyat yang bersenjata akan menjadi benteng hidup melawan Nekolim.
  3. Revolusi Nasional dan Sosialisme: Bagi PKI, Angkatan Kelima adalah langkah maju dalam revolusi Indonesia menuju masyarakat sosialis. Dengan mempersenjatai petani dan buruh, berarti memberikan mereka kekuatan politik dan militer, yang sejalan dengan cita-cita perjuangan kelas. Ini akan memperkuat posisi mereka dalam struktur kekuasaan dan mempercepat implementasi program-program kerakyatan, termasuk reformasi agraria.
  4. Dwikora: Konfrontasi dengan Malaysia menjadi momentum strategis bagi PKI. Mereka mengklaim bahwa Angkatan Kelima akan menjadi tulang punggung dalam upaya Dwikora, memberikan tambahan kekuatan yang signifikan dalam menghadapi ancaman dari luar. Tanpa Angkatan Kelima, menurut PKI, Dwikora tidak akan bisa berjalan maksimal.

PKI mengusulkan agar petani dan buruh yang telah terlatih dalam berbagai latihan militer dasar (seperti Resimen Mahasiswa atau Latihan Kemiliteran Rakyat) diberikan senjata. Mereka membayangkan satuan-satuan milisi rakyat ini akan berfungsi sebagai cadangan strategis, membantu tugas-tugas teritorial, dan siap tempur dalam keadaan darurat. Wacana ini sangat populer di kalangan massa pendukung PKI, yang merasa diberi kesempatan untuk berperan aktif dalam membela negara dan, pada saat yang sama, meningkatkan posisi sosial-politik mereka.

Ilustrasi Angkatan Kelima
Ilustrasi simbolis rakyat yang bersatu dan siap membela negara, mencerminkan gagasan Angkatan Kelima.

Penolakan Angkatan Darat: Kekhawatiran dan Ideologi

Gagasan Angkatan Kelima langsung mendapatkan penolakan keras dari Angkatan Darat. Bagi AD, proposal ini bukan hanya masalah teknis militer, tetapi merupakan ancaman fundamental terhadap struktur kekuasaan, ideologi, dan profesionalisme mereka. Jenderal Ahmad Yani, Menteri/Panglima Angkatan Darat saat itu, adalah salah satu tokoh yang paling gigih menentang ide ini.

Alasan penolakan AD dapat dirangkum sebagai berikut:

  1. Profesionalisme Militer: AD berargumen bahwa pertahanan negara adalah tugas militer profesional yang terlatih secara khusus. Memberikan senjata kepada rakyat sipil tanpa pelatihan militer yang memadai akan menciptakan milisi yang tidak disiplin, kurang efektif, dan berpotensi menimbulkan kekacauan. Mereka khawatir militer akan terpolitisasi secara ekstrem jika setiap golongan dipersenjatai.
  2. Ancaman terhadap Stabilitas dan Keamanan: Angkatan Darat sangat khawatir bahwa mempersenjatai petani dan buruh, yang sebagian besar merupakan basis massa PKI, akan menimbulkan perang saudara. Dalam konteks polarisasi politik yang sudah sangat tajam, senjata di tangan kelompok sipil dapat dengan mudah digunakan untuk kepentingan politik sektarian, bukan untuk pertahanan negara secara keseluruhan. Ini juga akan mengancam monopoli negara atas kekerasan yang sah.
  3. Dualisme Kekuasaan dan Keamanan Nasional: Pembentukan Angkatan Kelima akan menciptakan dualisme kekuasaan dan komando di dalam tubuh pertahanan negara. AD melihat ini sebagai upaya PKI untuk membentuk angkatan bersenjata sendiri yang berada di luar kontrol pemerintah dan militer yang sah. Ini akan menggerogoti wewenang dan kekuatan AD sebagai tulang punggung pertahanan negara.
  4. Ideologi Anti-Komunis: Latar belakang ideologis AD yang anti-komunis menjadi faktor krusial. Mereka melihat proposal Angkatan Kelima sebagai taktik PKI untuk secara efektif mengambil alih kekuasaan, menggunakan milisi bersenjata untuk menekan lawan-lawan politiknya dan memaksakan ideologi komunis. Bagi AD, ini adalah pengulangan sejarah Madiun 1948 dalam skala yang lebih besar.
  5. Penyalahgunaan Sumber Daya: AD juga berargumen bahwa sumber daya negara untuk pengadaan senjata dan pelatihan sangat terbatas. Lebih baik fokus pada modernisasi dan penguatan empat angkatan yang sudah ada daripada memecah sumber daya untuk membentuk angkatan baru yang tidak profesional.

Jenderal Yani bahkan pernah berujar, "Selama saya menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat, saya tidak akan membiarkan PKI membentuk Angkatan Kelima." Pernyataan ini mencerminkan sikap tegas AD yang tidak akan berkompromi pada masalah ini. Penolakan AD ini didukung oleh berbagai pihak non-PKI, termasuk beberapa partai politik, organisasi Islam, dan kalangan intelektual yang khawatir akan prospek destabilisasi yang ditimbulkan oleh Angkatan Kelima.

"Kekuatan senjata harus berada di bawah kendali negara yang sah, bukan di tangan kelompok-kelompok politik. Ini adalah prinsip dasar ketahanan nasional."

— Ungkapan yang sering dikaitkan dengan pandangan militer kala itu.

Dilema Sukarno: Antara Keseimbangan dan Kebutuhan

Presiden Sukarno berada dalam posisi yang sangat sulit dalam menyikapi polemik Angkatan Kelima. Sebagai penggagas Nasakom, ia berusaha menjaga keseimbangan antara PKI, AD, dan kekuatan agama. Di satu sisi, Sukarno menghargai dukungan PKI yang militan terhadap kebijakan-kebijakan revolusionernya, terutama dalam Konfrontasi dengan Malaysia dan dalam menentang Nekolim. Gagasan untuk melibatkan rakyat dalam pertahanan juga sejalan dengan semangat revolusi dan kedaulatan rakyat yang sering ia kumandangkan.

Namun, di sisi lain, Sukarno juga sangat menyadari kekuatan dan loyalitas AD sebagai pilar utama stabilitas negaranya. Ia memahami kekhawatiran AD tentang potensi kekacauan dan ancaman terhadap kesatuan nasional jika Angkatan Kelima dibentuk. Sukarno tidak ingin mengambil risiko memecah belah angkatan bersenjata dan menciptakan perang saudara di tengah perjuangan Konfrontasi yang sedang berjalan.

Dalam banyak kesempatan, Sukarno mencoba mencari jalan tengah atau menunda keputusan. Ia mengapresiasi semangat PKI untuk membantu negara, tetapi juga tidak ingin secara eksplisit menyetujui pembentukan Angkatan Kelima yang akan memprovokasi AD. Ia sering menggunakan retorika yang ambigu, memberikan harapan kepada PKI namun tidak memberikan instruksi konkret yang akan menentang AD. Ini adalah bagian dari strategi "bermain di atas angin" Sukarno, di mana ia berusaha mengendalikan dan memanfaatkan semua kekuatan politik untuk kepentingannya sendiri dan revolusi.

Sebagai contoh, Sukarno pernah mengatakan, "Semua orang harus ambil bagian dalam revolusi, dengan atau tanpa senjata." Ini adalah pernyataan yang dapat ditafsirkan dengan berbagai cara, tergantung pada siapa yang mendengarnya. Bagi PKI, ini bisa diartikan sebagai lampu hijau untuk mempersiapkan diri secara militer. Bagi AD, itu bisa berarti partisipasi rakyat harus dalam kerangka yang sudah ada dan dikendalikan oleh militer profesional.

Dwikora, atau "Dwi Komando Rakyat," yang sedang berjalan, semakin menambah tekanan pada Sukarno. Kebutuhan akan kekuatan tambahan untuk menghadapi Malaysia, di satu sisi, memberi argumen bagi PKI. Namun, di sisi lain, AD beranggapan bahwa penguatan militer profesional adalah prioritas, bukan penciptaan milisi yang berpotensi memecah belah fokus dan sumber daya.

Implikasi Politik dan Keamanan Nasional

Polemik Angkatan Kelima memiliki implikasi yang sangat luas terhadap stabilitas politik dan keamanan nasional Indonesia. Ketegangan antara PKI dan AD semakin memuncak, menciptakan suasana permusuhan yang mendalam di antara dua kekuatan politik terbesar di Indonesia. Setiap langkah atau pernyataan dari salah satu pihak selalu direspons dengan kecurigaan dan balasan dari pihak lainnya.

Polarisasi Sosial dan Politik

Gagasan Angkatan Kelima memperkuat polarisasi yang sudah ada di masyarakat. Pendukung PKI, terutama di pedesaan, melihat ini sebagai kesempatan untuk mendapatkan kekuatan dan melindungi diri dari ancaman tuan tanah dan aparat yang seringkali berpihak pada status quo. Bagi mereka, memiliki senjata adalah simbol emansipasi dan partisipasi aktif dalam revolusi.

Sebaliknya, kelompok anti-komunis, termasuk sebagian besar organisasi keagamaan (Islam dan Kristen), partai-partai nasionalis non-PKI, dan tentu saja AD, melihat Angkatan Kelima sebagai langkah berbahaya menuju komunisasi Indonesia. Mereka percaya bahwa jika PKI berhasil mempersenjatai massanya, mereka akan menggunakan kekuatan ini untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya dan mengubah Indonesia menjadi negara komunis.

Ancaman Perang Saudara

Ketakutan terbesar AD dan kelompok anti-komunis adalah terjadinya perang saudara. Sejarah telah menunjukkan bahwa milisi sipil yang dipersenjatai dan tidak tunduk pada satu komando terpusat yang kuat dapat dengan mudah menjadi pemicu konflik bersenjata internal. Dalam konteks Indonesia yang memiliki sejarah panjang pemberontakan dan konflik etnis/agama di beberapa daerah, prospek Angkatan Kelima sangat menakutkan.

Melemahnya Negara dan Militer

Bagi AD, pembentukan Angkatan Kelima tidak hanya akan melemahkan posisi mereka sebagai penjaga pertahanan, tetapi juga akan melemahkan negara secara keseluruhan. Wewenang negara untuk memiliki monopoli atas penggunaan kekerasan yang sah akan terkikis, menciptakan kekosongan kekuasaan yang dapat dieksploitasi oleh berbagai kepentingan. Hal ini juga akan memecah belah loyalitas di kalangan rakyat dan tentara itu sendiri.

Dampak terhadap Dwikora

Meskipun Angkatan Kelima diusulkan dalam konteks Dwikora, polemik yang ditimbulkannya justru berpotensi mengganggu konsentrasi nasional terhadap Konfrontasi. Energi dan sumber daya politik terkuras untuk perdebatan internal, daripada difokuskan pada ancaman eksternal. Ironisnya, upaya untuk memperkuat pertahanan justru bisa melemahkan kesatuan di garis belakang.

Keterkaitan dengan Peristiwa G30S/PKI

Tidak dapat dipungkiri bahwa polemik Angkatan Kelima menjadi salah satu faktor kunci yang memanaskan suhu politik dan menciptakan kondisi rentan di Indonesia menjelang peristiwa G30S/PKI. Meskipun tidak secara langsung menjadi penyebab tunggal, penolakan keras AD terhadap Angkatan Kelima, dan desakan gigih PKI untuk mewujudkannya, adalah manifestasi dari pertarungan kekuasaan yang tidak dapat didamaikan.

Beberapa analisis sejarah menunjukkan keterkaitan Angkatan Kelima dengan G30S/PKI sebagai berikut:

  1. Peningkatan Ketegangan: Perdebatan tentang Angkatan Kelima secara signifikan meningkatkan ketegangan antara PKI dan AD. Kedua belah pihak saling mencurigai dan menganggap pihak lain sebagai ancaman eksistensial. PKI merasa AD menghalangi jalan revolusi, sementara AD merasa PKI sedang merencanakan kudeta dengan dalih pertahanan rakyat.
  2. Perasaan Terdesak PKI: Bagi PKI, kegagalan untuk membentuk Angkatan Kelima mungkin menimbulkan perasaan terdesak. Mereka melihat bahwa tanpa kekuatan bersenjata sendiri, posisi politik mereka rentan terhadap kemungkinan tindakan keras dari AD. Ini bisa menjadi salah satu motivasi bagi unsur-unsur di PKI untuk mengambil langkah-langkah drastis, seperti yang terjadi pada G30S, dengan harapan dapat melumpuhkan kepemimpinan AD yang dianggap menghalangi.
  3. Argumentasi G30S: Setelah G30S/PKI, narasi pemerintah Orde Baru secara konsisten menekankan bahwa PKI adalah pihak yang ingin merebut kekuasaan dan mengubah ideologi negara. Gagasan Angkatan Kelima seringkali disebut sebagai bukti ambisi PKI untuk membentuk tentara sendiri dan menjadi instrumen utama dalam upaya kudeta komunis.
  4. Isu "Dewan Jenderal": Di tengah panasnya perdebatan Angkatan Kelima, muncul isu "Dewan Jenderal" yang konon akan mengkudeta Sukarno. PKI menggunakan isu ini untuk membenarkan perlunya Angkatan Kelima sebagai penyeimbang kekuatan AD, atau bahkan sebagai pembenaran untuk tindakan preemptif terhadap AD. Meskipun keberadaan "Dewan Jenderal" dalam artian ingin mengkudeta tidak pernah terbukti secara meyakinkan, isu ini semakin memanaskan suasana.

Peristiwa G30S yang menewaskan enam jenderal dan satu perwira AD merupakan puncak dari ketegangan politik dan ideologis ini. Setelah peristiwa tersebut, militer mengambil alih kendali, dan PKI dihancurkan. Gagasan Angkatan Kelima pun terkubur bersamaan dengan runtuhnya kekuatan politik PKI.

Interpretasi Historis dan Legasi Angkatan Kelima

Pasca-1965, narasi sejarah tentang Angkatan Kelima didominasi oleh interpretasi Orde Baru. Dalam narasi ini, Angkatan Kelima digambarkan sebagai salah satu bukti utama ambisi PKI untuk mengambil alih negara dan mengganti ideologi Pancasila dengan komunisme. Ini menjadi bagian dari "dosa" PKI yang dilegitimasi secara resmi selama puluhan tahun. Buku-buku sejarah, film, dan media massa secara konsisten menyajikan Angkatan Kelima sebagai ancaman nyata terhadap integritas nasional.

Interpretasi ini menyoroti bagaimana PKI menggunakan Konfrontasi dan popularitas Sukarno untuk memajukan agenda ideologisnya sendiri. Dalam pandangan Orde Baru, penolakan AD terhadap Angkatan Kelima adalah tindakan heroik untuk menyelamatkan negara dari bahaya komunisme. Oleh karena itu, Angkatan Kelima menjadi simbol dari bahaya laten komunisme dan pelajaran penting tentang perlunya kewaspadaan terhadap ideologi tersebut.

Re-evaluasi Pasca-Reformasi

Setelah berakhirnya Orde Baru pada tahun 1998 dan dimulainya era Reformasi, interpretasi sejarah mulai lebih terbuka dan multidimensional. Historikus dan peneliti mulai mempertanyakan narasi tunggal yang ada dan mencari sudut pandang baru. Beberapa akademisi mencoba memahami Angkatan Kelima dalam konteks geopolitik yang lebih luas, di mana negara-negara baru di Asia-Afrika seringkali mencoba mengembangkan bentuk pertahanan rakyat mereka sendiri.

Ada pula yang mencoba melihat motivasi PKI bukan semata-mata sebagai upaya kudeta, melainkan juga sebagai bagian dari perjuangan kelas dan upaya untuk memberdayakan petani dan buruh yang secara historis terpinggirkan. Dalam konteks reformasi agraria dan janji-janji kemerdekaan yang belum sepenuhnya terwujud bagi sebagian besar rakyat, Angkatan Kelima dapat dilihat sebagai aspirasi untuk partisipasi yang lebih besar dalam negara.

Namun, meskipun ada re-evaluasi ini, kebanyakan sejarawan dan analisis politik tetap mengakui bahwa gagasan Angkatan Kelima adalah proposal yang sangat berisiko, yang dalam konteks polarisasi tahun 1960-an, memiliki potensi besar untuk menimbulkan konflik bersenjata internal. Pertanyaan utama tetap pada masalah komando, kontrol, dan loyalitas jika Angkatan Kelima benar-benar terwujud.

Legasi dan Pelajaran

Angkatan Kelima, meskipun tidak pernah terwujud, meninggalkan legasi penting dalam sejarah politik Indonesia. Ia mengingatkan kita akan:

Hingga kini, perdebatan tentang Angkatan Kelima masih relevan dalam diskusi mengenai hubungan sipil-militer, peran organisasi massa, dan interpretasi sejarah yang adil. Ia adalah pengingat bahwa masa lalu tidak pernah sepenuhnya mati, dan peristiwa-peristiwa penting selalu menawarkan pelajaran berharga bagi masa kini dan masa depan.

Konteks Geopolitik dan Keterlibatan Internasional

Periode 1960-an bukanlah waktu yang tenang bagi dunia, dan Indonesia tidak terlepas dari dinamika geopolitik global. Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet menciptakan atmosfer ketegangan di mana setiap negara di dunia, terutama di negara-negara berkembang, dipandang sebagai potensi sekutu atau musuh. Indonesia, dengan populasi besar dan sumber daya alam yang melimpah, menjadi medan pertarungan ideologi yang menarik perhatian banyak pihak.

Gerakan Non-Blok dan Ambisi Sukarno

Presiden Sukarno adalah salah satu arsitek utama Gerakan Non-Blok (GNB), yang berupaya menyatukan negara-negara yang tidak ingin berpihak pada salah satu blok adidaya. Melalui GNB, Sukarno ingin memposisikan Indonesia sebagai kekuatan moral dan politik yang independen di panggung dunia. Namun, di dalam negeri, keberadaan PKI yang kuat dan progresif secara ideologis seringkali disalahartikan oleh Barat sebagai indikasi bahwa Indonesia condong ke blok Timur.

PKI sendiri, meskipun secara retorika mendukung kebijakan luar negeri bebas-aktif Sukarno, secara praktis memiliki afiliasi ideologis yang kuat dengan Uni Soviet dan, terutama pada periode ini, dengan Tiongkok Komunis. Dukungan dari Tiongkok, baik secara moral maupun logistik (walaupun tidak dalam bentuk senjata langsung untuk Angkatan Kelima, namun dalam bentuk dukungan politik umum), seringkali menjadi sorotan.

Intervensi dan Kecurigaan Asing

Amerika Serikat, yang sangat khawatir dengan penyebaran komunisme di Asia Tenggara (setelah kekalahan di Vietnam), memandang perkembangan di Indonesia dengan penuh kecurigaan. Kemungkinan PKI memiliki kekuatan militer sendiri (melalui Angkatan Kelima) adalah skenario terburuk bagi mereka. Ada dugaan kuat bahwa badan intelijen AS (CIA) secara aktif memantau situasi dan bahkan mungkin terlibat dalam upaya untuk menghambat PKI dan mendukung elemen-elemen anti-komunis di militer.

Di sisi lain, Uni Soviet dan Tiongkok memiliki kepentingan untuk melihat PKI berkuasa di Indonesia, atau setidaknya memiliki posisi yang kuat. Angkatan Kelima akan menjadi kemenangan ideologis besar bagi mereka di salah satu negara terpadat di Asia. Oleh karena itu, gagasan ini menjadi bagian dari intrik internasional yang lebih besar, di mana setiap pihak berusaha memengaruhi arah politik Indonesia sesuai dengan kepentingannya sendiri.

Konfrontasi dengan Malaysia juga memiliki dimensi internasional. Malaysia didukung oleh Inggris dan Persemakmuran, sementara Indonesia mendapatkan simpati dari beberapa negara Non-Blok. Dalam konteks ini, usulan Angkatan Kelima oleh PKI juga dapat dilihat sebagai upaya untuk memobilisasi dukungan rakyat secara maksimal dalam "perang" melawan kekuatan imperialis/neo-kolonialis yang dianggap mendukung Malaysia. Ini memberikan argumen tambahan bagi PKI untuk memperkuat klaim mereka tentang perlunya Angkatan Kelima.

Angkatan Kelima dalam Historiografi dan Memori Kolektif

Bagaimana Angkatan Kelima diingat dan diinterpretasikan telah mengalami pergeseran signifikan seiring waktu. Selama Orde Baru, memori kolektif masyarakat diarahkan untuk melihat Angkatan Kelima sebagai manifestasi jahat dari niat PKI untuk mengkomuniskan Indonesia. Ini adalah bagian dari "doktrin bahaya laten komunis" yang tertanam kuat di benak setiap warga negara. Setiap penyebutan Angkatan Kelima akan membangkitkan citra ancaman, kekerasan, dan pengkhianatan terhadap Pancasila dan UUD 1945.

Narasi Orde Baru dan Pembatasan Diskusi

Pemerintah Orde Baru secara sistematis membangun narasi yang mengutuk PKI dan segala gagasan yang terkait dengannya. Angkatan Kelima menjadi salah satu poin penting dalam pembentukan citra negatif PKI. Kurikulum sekolah, media massa, film-film propaganda seperti "Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI", dan berbagai seminar serta lokakarya, semuanya mengulang narasi yang sama. Hal ini mengakibatkan diskusi kritis dan analitis tentang Angkatan Kelima sangat terbatas, bahkan cenderung dihindari. Siapa pun yang mencoba menawarkan perspektif berbeda seringkali dicurigai sebagai simpatisan komunis.

Pembatasan ini juga memengaruhi bagaimana sumber-sumber sejarah diakses dan diinterpretasikan. Dokumen-dokumen yang relevan seringkali sulit dijangkau oleh peneliti independen, dan hanya narasi resmi yang didorong ke publik. Akibatnya, pemahaman masyarakat tentang Angkatan Kelima menjadi dangkal dan sangat politis, bukan berdasarkan analisis sejarah yang objektif.

Setelah Reformasi: Awal Keterbukaan

Dengan jatuhnya Orde Baru pada tahun 1998, ruang untuk diskusi terbuka tentang sejarah Indonesia mulai terbuka lebar. Para sejarawan, akademisi, dan peneliti mulai menggali kembali arsip, mewawancarai saksi sejarah, dan menawarkan interpretasi yang lebih beragam tentang peristiwa-peristiwa krusial, termasuk Angkatan Kelima. Buku-buku baru diterbitkan, film dokumenter dibuat, dan diskusi publik menjadi lebih berani.

Dalam konteks ini, Angkatan Kelima mulai dipandang tidak hanya sebagai "upaya kudeta," tetapi juga sebagai produk dari pertarungan ideologis yang kompleks di era Perang Dingin, di mana berbagai aktor politik memiliki agenda dan ketakutan mereka sendiri. Beberapa studi baru mencoba menempatkan gagasan ini dalam konteks perjuangan anti-kolonialisme dan cita-cita keadilan sosial yang menjadi inti dari revolusi Indonesia.

Misalnya, ada upaya untuk memahami mengapa gagasan ini begitu menarik bagi sebagian besar petani dan buruh. Bagi mereka, Angkatan Kelima bukan hanya tentang senjata, tetapi tentang pengakuan, pemberdayaan, dan kesempatan untuk melindungi hak-hak mereka, terutama dalam konteks reformasi agraria yang seringkali mandek atau tidak menguntungkan mereka. Ini adalah suara dari "rakyat kecil" yang ingin didengar dan diakui sebagai bagian integral dari pertahanan negara.

Meskipun demikian, sensitivitas terhadap topik ini masih sangat tinggi. Trauma masa lalu yang terkait dengan G30S/PKI dan kekerasan yang menyertainya masih melekat pada sebagian besar masyarakat. Oleh karena itu, setiap diskusi tentang Angkatan Kelima, atau PKI secara umum, harus dilakukan dengan kehati-hatian dan penghormatan terhadap berbagai sudut pandang dan pengalaman historis.

Refleksi Kontemporer: Pelajaran Berharga dari Masa Lalu

Angkatan Kelima, sebagai bagian dari sejarah kelam dan kompleks Indonesia, menawarkan pelajaran berharga yang relevan hingga saat ini. Di tengah tantangan kontemporer seperti polarisasi politik, hoaks, dan konflik kepentingan, melihat kembali episode ini dapat memberikan perspektif yang lebih dalam.

Hubungan Sipil-Militer yang Sehat

Salah satu pelajaran terpenting adalah tentang pentingnya hubungan sipil-militer yang sehat dan profesional. Polemik Angkatan Kelima menunjukkan bahaya ketika militer terlalu terlibat dalam politik praktis, dan di sisi lain, ketika kekuatan politik sipil mencoba untuk mengintervensi struktur dan profesionalisme militer tanpa pemahaman yang memadai. Demokrasi yang kuat membutuhkan militer yang profesional, loyal pada konstitusi, dan berada di bawah kendali sipil yang efektif. Memastikan militer fokus pada tugas pertahanan negara dan tidak terlibat dalam politik praktis adalah kunci untuk menghindari terulangnya ketegangan serupa.

Manajemen Konflik Ideologi

Era 1960-an adalah bukti bahwa konflik ideologi yang tidak dikelola dengan baik dapat membawa bencana besar. Angkatan Kelima adalah simbol dari ketidakmampuan elit politik pada waktu itu untuk menemukan titik temu dan kompromi di tengah perbedaan ideologi yang tajam. Di masa kini, meskipun ideologi komunisme tidak lagi menjadi ancaman dominan, polarisasi berdasarkan suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA) atau perbedaan pandangan politik lainnya masih bisa memecah belah bangsa. Pentingnya dialog, toleransi, dan penghormatan terhadap perbedaan pendapat adalah kunci untuk menjaga persatuan.

Partisipasi Rakyat dalam Pertahanan Negara

Gagasan tentang partisipasi rakyat dalam pertahanan negara masih relevan, meskipun dalam bentuk yang berbeda. Konsep "Pertahanan Rakyat Semesta" yang dianut Indonesia tidak lagi melibatkan mempersenjatai setiap golongan, tetapi lebih pada mobilisasi seluruh komponen bangsa (sumber daya manusia, alam, dan buatan) dalam kerangka sistem pertahanan nasional. Ini termasuk kesadaran bela negara, partisipasi dalam program-program pembangunan, dan kesiapsiagaan menghadapi berbagai ancaman non-militer seperti bencana alam atau pandemi.

Pentingnya Pendidikan Sejarah Kritis

Untuk menghindari terulangnya kesalahan masa lalu, masyarakat harus memiliki akses terhadap pendidikan sejarah yang kritis, komprehensif, dan multi-perspektif. Angkatan Kelima adalah salah satu topik yang harus diajarkan tidak hanya sebagai fakta, tetapi sebagai studi kasus tentang bagaimana kebijakan, ideologi, dan dinamika kekuasaan dapat berinteraksi untuk membentuk takdir bangsa. Memahami nuansa dan kompleksitas peristiwa ini adalah esensial untuk membangun kesadaran sejarah yang matang.

Dalam konteks modern, mungkin pertanyaan yang muncul bukanlah apakah harus ada "Angkatan Kelima" bersenjata, melainkan bagaimana kita bisa memastikan partisipasi aktif seluruh elemen masyarakat dalam pembangunan dan pertahanan negara tanpa menimbulkan fragmentasi atau polarisasi yang berbahaya. Bagaimana memastikan bahwa suara "rakyat kecil" didengar dan aspirasi mereka diakomodasi dalam kerangka demokrasi, sehingga tidak ada lagi kebutuhan untuk mencari solusi radikal yang bisa mengguncang fondasi negara.

Kesimpulan

Angkatan Kelima adalah sebuah babak yang kontroversial dan tidak pernah terwujud dalam sejarah Indonesia, namun memiliki dampak yang mendalam terhadap arah perjalanan bangsa. Muncul dari gagasan untuk mempersenjatai petani dan buruh, yang utamanya diusulkan oleh PKI di tengah-tengah gejolak tahun 1960-an dan Konfrontasi dengan Malaysia, proposal ini menjadi titik gesek paling tajam antara PKI dan Angkatan Darat.

PKI melihatnya sebagai bagian integral dari revolusi, manifestasi pertahanan rakyat semesta, dan langkah maju menuju masyarakat sosialis. Di sisi lain, Angkatan Darat menolaknya mentah-mentah, melihatnya sebagai ancaman terhadap profesionalisme militer, stabilitas nasional, dan integritas ideologi Pancasila, serta upaya PKI untuk membentuk angkatan bersenjatanya sendiri.

Dilema Sukarno dalam menyeimbangkan kekuatan Nasakom menciptakan ketidakpastian, yang justru memperparah ketegangan. Pada akhirnya, polemik Angkatan Kelima menjadi salah satu faktor signifikan yang berkontribusi pada memanasnya suhu politik dan ketidakstabilan yang memuncak pada peristiwa G30S/PKI. Setelah peristiwa tragis tersebut, gagasan Angkatan Kelima pun terkubur bersamaan dengan kekuatan PKI.

Melalui lensa waktu, Angkatan Kelima tetap menjadi studi kasus yang kompleks tentang hubungan sipil-militer, pertarungan ideologi, partisipasi rakyat dalam politik, dan bahaya polarisasi ekstrem. Ini adalah pengingat penting bagi kita semua untuk senantiasa mengedepankan dialog, toleransi, dan upaya untuk memahami berbagai perspektif demi menjaga persatuan dan keutuhan bangsa, serta membangun masa depan yang lebih stabil dan adil.

Memahami Angkatan Kelima bukan berarti menghidupkan kembali perdebatan yang memecah belah, melainkan mengambil pelajaran dari masa lalu untuk memperkuat fondasi kebangsaan kita di masa kini dan masa depan.