Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia, memengaruhi jutaan individu dan memberikan beban signifikan pada sistem kesehatan global. Salah satu manifestasi paling umum dan menyedihkan dari PJK adalah angina pektoris, suatu kondisi yang ditandai dengan nyeri atau ketidaknyamanan di dada yang khas. Nyeri ini, yang seringkali digambarkan sebagai sensasi tertekan, berat, atau sesak, terjadi ketika otot jantung (miokardium) tidak mendapatkan pasokan oksigen yang memadai untuk memenuhi kebutuhannya. Ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan oksigen ini, yang dikenal sebagai iskemia miokard, dapat menyebabkan rasa tidak nyaman yang menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, atau punggung, serta secara signifikan menurunkan kualitas hidup pasien.
Bagi pasien dengan angina, setiap aktivitas fisik yang sedikit lebih berat, stres emosional, atau bahkan paparan suhu dingin dapat memicu episode nyeri. Hal ini membatasi kemampuan mereka untuk berpartisipasi dalam aktivitas sehari-hari, bekerja, atau menikmati waktu luang, sehingga memengaruhi kesejahteraan fisik dan psikologis mereka secara keseluruhan. Lebih dari sekadar gejala yang mengganggu, angina juga merupakan tanda peringatan serius akan adanya penyakit jantung koroner yang mendasari dan potensi risiko kejadian kardiovaskular mayor di masa depan, seperti infark miokard (serangan jantung) atau kematian jantung mendadak.
Dalam menghadapi tantangan medis yang kompleks ini, terapi antiangina memainkan peran yang sangat krusial. Obat-obatan antiangina adalah kategori farmasi yang dirancang khusus untuk berbagai tujuan terapeutik: meredakan nyeri angina yang akut, mengurangi frekuensi dan intensitas serangan angina di masa mendatang, meningkatkan toleransi aktivitas fisik pasien, dan yang paling penting, mencegah kejadian kardiovaskular mayor serta meningkatkan harapan hidup dan kualitas hidup secara keseluruhan. Artikel ini bertujuan untuk menyajikan panduan komprehensif mengenai berbagai aspek terapi antiangina. Kami akan mengupas tuntas mulai dari patofisiologi angina yang mendasari, meninjau mekanisme kerja masing-masing kelas obat antiangina utama, membahas indikasi klinis, potensi efek samping, hingga manajemen pasien yang komprehensif, termasuk modifikasi gaya hidup dan peran intervensi non-farmakologis. Dengan pemahaman yang mendalam tentang prinsip-prinsip ini, diharapkan pembaca dapat memiliki wawasan yang lebih baik tentang bagaimana angina dapat dikelola secara efektif untuk mencapai kesehatan jantung yang optimal.
Angina pektoris, yang secara etimologis berarti "cekikan di dada," adalah sindrom klinis yang didefinisikan oleh nyeri atau ketidaknyamanan substernal (di balik tulang dada) yang khas. Sensasi ini dapat bermanifestasi sebagai tekanan, sesak, berat, terbakar, atau rasa tercekik. Angina timbul sebagai konsekuensi langsung dari iskemia miokard, sebuah kondisi di mana otot jantung mengalami kekurangan pasokan oksigen dan nutrisi yang vital. Kekurangan ini terjadi ketika aliran darah melalui arteri koroner, yang bertanggung jawab memasok darah ke jantung, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik miokardium. Dalam sebagian besar kasus (lebih dari 90%), angina adalah gejala dari penyakit jantung koroner (PJK), yang disebabkan oleh aterosklerosis—penumpukan plak lemak di dinding arteri yang menyebabkan penyempitan dan pengerasan pembuluh darah.
Inti dari patofisiologi angina terletak pada ketidakseimbangan yang kritis antara permintaan oksigen oleh miokardium dan pasokan oksigen yang tersedia. Otot jantung, tidak seperti otot rangka, harus terus-menerus berkontraksi sepanjang hidup tanpa henti, dan oleh karena itu, ia memiliki kebutuhan oksigen yang sangat tinggi dan konstan. Meskipun jantung memiliki cadangan energi, pasokan oksigen yang stabil sangat penting untuk sintesis adenosin trifosfat (ATP), molekul energi utama untuk kontraksi miokard.
Pada kondisi normal, arteri koroner mampu menyesuaikan diameternya untuk meningkatkan aliran darah saat permintaan oksigen meningkat (misalnya saat berolahraga). Namun, pada PJK, plak aterosklerotik yang terbentuk di dalam arteri koroner menyebabkan penyempitan (stenosis) yang membatasi kemampuan pembuluh darah untuk berdilatasi dan meningkatkan aliran darah. Saat stenosis mencapai tingkat kritis (umumnya lebih dari 70% lumen), aliran darah menjadi terganggu bahkan pada kondisi istirahat atau aktivitas ringan.
Ketika permintaan oksigen miokard melebihi pasokan yang tersedia, sel-sel otot jantung beralih ke metabolisme anaerobik, menghasilkan produk sampingan seperti asam laktat. Akumulasi asam laktat dan metabolit lainnya (misalnya, adenosin, bradikinin) mengiritasi ujung saraf nyeri di jantung, memicu sensasi nyeri yang dikenal sebagai angina. Penting untuk dicatat bahwa iskemia dapat terjadi tanpa nyeri yang jelas, suatu kondisi yang disebut iskemia diam (silent ischemia), yang juga merupakan indikator risiko kardiovaskular yang serius.
Faktor-faktor utama yang meningkatkan permintaan oksigen miokard meliputi:
Faktor-faktor yang menurunkan pasokan oksigen miokard meliputi:
Angina dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis berdasarkan karakteristik klinis, penyebab, dan prognosisnya. Memahami jenis-jenis ini penting untuk menentukan strategi pengobatan yang tepat:
Ini adalah jenis angina yang paling umum dan seringkali merupakan manifestasi awal dari PJK. Angina stabil ditandai oleh pola nyeri dada yang terprediksi dan konsisten. Nyeri biasanya muncul saat jantung bekerja lebih keras, misalnya selama aktivitas fisik (berjalan menanjak, berolahraga), stres emosional, atau setelah makan berat. Gejalanya relatif konsisten dalam hal onset, durasi (biasanya 5-15 menit), tingkat keparahan, dan lokasi. Nyeri mereda dengan istirahat atau dengan pemberian nitrogliserin sublingual. Angina stabil umumnya disebabkan oleh stenosis aterosklerotik yang tetap pada arteri koroner, yang membatasi peningkatan aliran darah selama peningkatan permintaan oksigen.
Pengelolaan angina stabil berfokus pada: 1) Pencegahan serangan dengan membatasi aktivitas yang memicu nyeri, 2) Peredaan cepat gejala dengan nitrat kerja cepat, 3) Terapi jangka panjang untuk mengurangi frekuensi serangan dan mencegah kejadian kardiovaskular, serta 4) Modifikasi faktor risiko aterosklerosis.
Angina tidak stabil adalah kondisi yang jauh lebih serius dan dianggap sebagai bagian dari sindrom koroner akut (SKA), yang memerlukan perhatian medis darurat. Ini adalah tanda bahwa PJK telah memburuk secara signifikan dan risiko infark miokard atau kematian mendadak sangat tinggi. Angina tidak stabil didefinisikan oleh salah satu dari tiga karakteristik berikut:
Patofisiologi angina tidak stabil melibatkan ruptur plak aterosklerotik yang rentan, diikuti oleh pembentukan trombus (bekuan darah) non-oklusif atau sub-oklusif pada arteri koroner. Trombus ini menyebabkan penyempitan arteri yang dinamis dan parah, yang dapat membatasi aliran darah secara intermiten atau terus-menerus. Kondisi ini seringkali merupakan prekursor infark miokard dan memerlukan rawat inap, pemantauan ketat, dan intervensi medis atau revaskularisasi segera.
Juga dikenal sebagai angina varian, jenis angina ini relatif jarang. Tidak seperti angina stabil yang disebabkan oleh stenosis tetap, angina Prinzmetal disebabkan oleh spasme sementara pada arteri koroner yang sehat atau yang memiliki aterosklerosis minimal. Spasme ini menyebabkan oklusi total atau hampir total pada arteri, yang secara mendadak dan parah membatasi aliran darah ke bagian miokardium. Gejala nyeri biasanya terjadi saat istirahat, seringkali pada dini hari, dan dapat berulang pada waktu yang sama setiap harinya. Gejalanya dapat mereda dengan nitrat atau calcium channel blockers, yang bekerja dengan merelaksasi otot polos vaskular.
Jenis angina ini merupakan tantangan diagnostik dan terapeutik. Pasien dengan angina mikrovascular (atau Sindrom X) mengalami gejala angina dan hasil tes stres positif (menunjukkan iskemia), tetapi angiografi koroner mereka menunjukkan arteri koroner epikardial yang bersih atau hanya memiliki aterosklerosis minimal. Angina ini diyakini disebabkan oleh disfungsi pembuluh darah koroner kecil (mikrovaskuler) yang tidak dapat divisualisasikan dengan angiografi standar. Pembuluh darah kecil ini tidak dapat berdilatasi dengan baik untuk memenuhi kebutuhan oksigen miokard yang meningkat, menyebabkan iskemia. Diagnosis biasanya merupakan diagnosis eksklusi, setelah menyingkirkan penyebab angina lainnya. Pengobatannya seringkali lebih sulit karena targetnya yang mikroskopis.
Manajemen angina pektoris adalah pendekatan multi-pronged yang bertujuan untuk mencapai beberapa tujuan utama: meredakan gejala (mengurangi frekuensi dan intensitas nyeri), meningkatkan kapasitas fungsional dan kualitas hidup pasien, dan yang paling penting, mencegah kejadian kardiovaskular mayor seperti infark miokard, stroke, gagal jantung, atau kematian. Untuk mencapai tujuan-tujuan ini, terapi antiangina menggabungkan modifikasi gaya hidup, intervensi farmakologis, dan dalam beberapa kasus, prosedur revaskularisasi.
Mayoritas obat antiangina bekerja dengan mengurangi beban kerja jantung, yang secara langsung menurunkan kebutuhan oksigen miokard. Strategi ini sangat efektif karena mengurangi "beban" pada jantung yang sudah berkompromi. Pendekatan ini mencakup:
Meskipun sebagian besar terapi berfokus pada pengurangan permintaan, beberapa obat juga dapat berkontribusi pada peningkatan pasokan oksigen miokard, terutama dengan memengaruhi vaskulatur koroner:
Selain farmakoterapi, modifikasi gaya hidup adalah fondasi utama manajemen PJK dan angina. Ini meliputi berhenti merokok (intervensi tunggal terpenting), mengelola tekanan darah tinggi dan kadar kolesterol melalui diet dan obat-obatan, mengontrol diabetes, mencapai dan mempertahankan berat badan yang sehat, berolahraga secara teratur (sesuai toleransi dan rekomendasi dokter), serta mengurangi stres. Intervensi revaskularisasi seperti angioplasti koroner perkutan (PCI) dengan stenting atau operasi bypass arteri koroner (CABG) dipertimbangkan untuk pasien yang tidak responsif terhadap terapi medis optimal, atau yang memiliki anatomi koroner yang berisiko tinggi dan iskemia miokard yang signifikan.
Secara tradisional, terapi farmakologis untuk angina berpusat pada tiga kelas obat utama: nitrat, beta-blocker, dan calcium channel blockers. Obat-obatan ini sering digunakan sendiri atau dalam kombinasi, disesuaikan dengan profil klinis pasien, keparahan gejala, komorbiditas, dan respons terhadap terapi. Pemilihan obat seringkali mengikuti pendekatan bertahap, dimulai dengan monoterapi dan beralih ke kombinasi jika gejala tidak terkontrol.
Nitrat adalah vasodilator yang kuat dan merupakan obat lini pertama yang sangat efektif untuk meredakan serangan angina akut. Mereka juga digunakan secara luas untuk profilaksis (pencegahan) pada angina stabil kronis.
Nitrat bekerja dengan melepaskan oksida nitrat (NO) di sel otot polos vaskular. NO adalah molekul sinyal endogen yang memainkan peran kunci dalam regulasi tonus vaskular. Setelah nitrat masuk ke dalam sel otot polos, mereka dimetabolisme menjadi NO. NO kemudian mengaktifkan enzim guanilat siklase, yang pada gilirannya meningkatkan produksi siklik guanosin monofosfat (cGMP). Peningkatan kadar cGMP memicu serangkaian peristiwa intraseluler yang menyebabkan defosforilasi rantai ringan miosin, yang merupakan langkah penting dalam relaksasi otot polos. Hasil akhirnya adalah vasodilatasi.
Efek utama nitrat dalam konteks terapi antiangina meliputi:
Nitrat tersedia dalam berbagai formulasi untuk kebutuhan yang berbeda:
Efek samping umum nitrat sebagian besar terkait dengan sifat vasodilatasinya:
Nitrat dikontraindikasikan secara mutlak pada pasien yang baru saja mengonsumsi inhibitor fosfodiesterase-5 (PDE5) seperti sildenafil (Viagra), tadalafil (Cialis), atau vardenafil (Levitra) dalam 24-48 jam. Kombinasi ini dapat menyebabkan hipotensi berat yang mengancam jiwa dan syok kardiogenik. Juga harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan hipotensi berat, kardiomiopati obstruktif hipertrofik (karena dapat memperburuk obstruksi aliran keluar), atau stenosis aorta berat.
Beta-blocker (penyekat beta-adrenergik) adalah salah satu terapi lini pertama yang paling penting dan efektif untuk manajemen angina pektoris stabil, terutama pada pasien dengan riwayat infark miokard (serangan jantung). Mereka telah terbukti secara signifikan mengurangi mortalitas pada pasien pasca-IM dan meningkatkan kualitas hidup dengan mengurangi frekuensi dan keparahan serangan angina.
Beta-blocker bekerja dengan memblokir efek neurotransmiter katekolamin (seperti epinefrin dan norepinefrin) pada reseptor beta-adrenergik. Di jantung, reseptor yang paling relevan adalah beta-1 adrenergik. Dengan memblokir reseptor beta-1, beta-blocker menghasilkan beberapa efek yang sangat menguntungkan dalam konteks angina:
Efek gabungan dari penurunan denyut jantung, kontraktilitas, dan tekanan darah secara signifikan mengurangi beban kerja jantung, sehingga mengurangi kebutuhan oksigen miokard dan meredakan iskemia.
Beta-blocker dapat diklasifikasikan berdasarkan selektivitasnya terhadap reseptor beta-1:
Beta-blocker adalah terapi lini pertama untuk angina stabil kecuali ada kontraindikasi. Mereka sangat direkomendasikan untuk pasien pasca-infark miokard dan pasien dengan disfungsi ventrikel kiri asimtomatik, karena terbukti menurunkan mortalitas dan morbiditas. Mereka juga sangat berguna pada pasien dengan angina yang disertai takiaritmia (denyut jantung cepat) atau hipertensi.
Efek samping umum meliputi:
Penghentian beta-blocker secara tiba-tiba dapat menyebabkan sindrom penarikan (rebound phenomenon), yang dapat mencakup takikardia parah, hipertensi, atau memburuknya angina, bahkan dapat memicu infark miokard. Oleh karena itu, beta-blocker harus diturunkan secara bertahap selama beberapa hari hingga minggu.
Kontraindikasi mutlak meliputi asma bronkial parah, PPOK berat, bradikardia berat (umumnya < 50-60 bpm), blok AV derajat tinggi (derajat kedua atau ketiga) tanpa pacemaker, hipotensi berat, dan gagal jantung dekompensasi akut (syok kardiogenik). Harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan diabetes yang rentan terhadap hipoglikemia dan penyakit vaskular perifer berat.
Calcium Channel Blockers (penyekat saluran kalsium) adalah kelompok obat yang heterogen tetapi sangat efektif dalam terapi antiangina. Obat ini merupakan pilihan yang sangat baik, terutama pada pasien yang tidak dapat mentoleransi beta-blocker, atau yang memiliki angina Prinzmetal atau penyakit vaskular perifer yang signifikan. CCB tidak hanya meredakan gejala angina tetapi juga dapat digunakan untuk mengelola hipertensi dan beberapa aritmia jantung.
CCB bekerja dengan memblokir masuknya ion kalsium (Ca2+) ke dalam sel-sel otot polos vaskular dan sel-sel miokard melalui saluran kalsium tipe L. Kalsium intraseluler diperlukan untuk kontraksi otot. Dengan menghambat influks kalsium, CCB menyebabkan:
CCB dibagi menjadi dua kelompok utama berdasarkan struktur kimia dan efek farmakologisnya:
CCB sangat cocok untuk:
Efek samping yang spesifik untuk jenis CCB telah disebutkan di atas. Secara umum, efek samping terkait dengan vasodilatasi dan depresi jantung. Kombinasi beta-blocker dengan non-DHP CCB (Verapamil atau Diltiazem) harus dilakukan dengan sangat hati-hati karena dapat menyebabkan bradikardia berat, blok AV lengkap, atau gagal jantung karena efek inotropik dan kronotropik negatif yang aditif.
Verapamil dan Diltiazem dikontraindikasikan pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri yang parah (misalnya, gagal jantung dengan fraksi ejeksi rendah) atau blok AV derajat tinggi. Semua CCB harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan hipotensi atau gagal jantung yang sudah ada. Nifedipin kerja cepat (formulasi immediat-release) umumnya tidak direkomendasikan untuk angina karena dapat menyebabkan takikardia refleks dan memicu iskemia.
Seiring dengan pemahaman yang lebih baik tentang patofisiologi PJK dan angina, beberapa agen antiangina yang lebih baru telah dikembangkan. Obat-obatan ini sering digunakan sebagai terapi tambahan pada pasien yang tidak mencapai kontrol gejala yang adekuat dengan terapi lini pertama (nitrat, beta-blocker, CCB) atau pada pasien yang memiliki kontraindikasi atau intoleransi terhadap obat-obatan standar.
Ranolazine adalah agen antiangina yang unik karena bekerja melalui mekanisme yang berbeda dari obat antiangina tradisional, tanpa secara signifikan memengaruhi denyut jantung atau tekanan darah. Ini membuatnya menjadi pilihan yang menarik untuk pasien yang tidak dapat mentolerir efek hemodinamik dari beta-blocker atau CCB.
Ranolazine bekerja dengan menghambat selektif dan parsial arus natrium lambat (late sodium current, INa) di miokardium. Selama kondisi iskemia, sel-sel jantung mengalami depolarisasi yang abnormal dan peningkatan masuknya ion natrium melalui saluran natrium lambat. Penumpukan natrium intraseluler ini kemudian menyebabkan peningkatan kalsium intraseluler melalui mekanisme pertukaran natrium-kalsium (Na+/Ca2+ exchanger). Peningkatan kalsium intraseluler menyebabkan peningkatan tegangan dinding ventrikel dan konsumsi oksigen miokard, serta mengganggu relaksasi diastolik.
Dengan menghambat INa, ranolazine mengurangi penumpukan natrium dan kalsium intraseluler. Hal ini membantu meningkatkan relaksasi diastolik jantung, mengurangi tegangan dinding ventrikel, dan, akibatnya, menurunkan konsumsi oksigen miokard tanpa memengaruhi parameter hemodinamik utama seperti denyut jantung atau tekanan darah secara langsung. Ranolazine juga dapat meningkatkan efisiensi penggunaan glukosa sebagai sumber energi oleh jantung iskemik.
Ranolazine disetujui untuk pengobatan angina pektoris kronis. Ini biasanya digunakan sebagai terapi tambahan pada pasien yang tidak terkontrol secara adekuat dengan obat antiangina lain (seperti beta-blocker, nitrat, dan/atau CCB) atau pada pasien yang memiliki intoleransi terhadap obat-obatan tersebut. Ini sangat berguna pada pasien dengan bradikardia atau hipotensi yang membatasi penggunaan beta-blocker atau CCB.
Ranolazine umumnya ditoleransi dengan baik. Efek samping umum meliputi pusing, mual, konstipasi, dan astenia (kelemahan). Ranolazine juga dapat menyebabkan perpanjangan interval QT pada EKG. Meskipun risiko aritmia torsades de pointes tampaknya rendah pada dosis terapeutik, hati-hati diperlukan pada pasien dengan riwayat perpanjangan QT atau yang mengonsumsi obat lain yang juga memperpanjang interval QT.
Ranolazine dimetabolisme secara ekstensif oleh isoenzim sitokrom P450, terutama CYP3A4 dan, pada tingkat lebih rendah, CYP2D6. Oleh karena itu, penggunaan bersamaan dengan inhibitor kuat CYP3A4 (seperti ketoconazole, klaritromisin, ritonavir, jus grapefruit) dapat meningkatkan kadar ranolazine secara signifikan, sehingga kontraindikasi. Penggunaan bersamaan dengan inhibitor sedang CYP3A4 (seperti diltiazem, verapamil, eritromisin) memerlukan penyesuaian dosis ranolazine. Sebaliknya, induser CYP3A4 (seperti rifampin, fenitoin, fenobarbital) dapat menurunkan kadar ranolazine.
Ivabradine adalah obat antiangina yang menargetkan denyut jantung secara selektif, tanpa memengaruhi kontraktilitas miokard atau tekanan darah secara langsung. Ini membuatnya menjadi pilihan yang menarik bagi pasien yang memerlukan penurunan denyut jantung tetapi tidak dapat menggunakan beta-blocker.
Ivabradine bekerja dengan menghambat secara selektif dan spesifik arus "funny" (If) di nodus sinoatrial (SA). Arus If adalah arus ionik yang kaya natrium dan kalium yang bertanggung jawab atas depolarisasi diastolik spontan di sel nodus SA, yang pada gilirannya mengatur laju pembentukan impuls (denyut jantung). Dengan menghambat arus If, ivabradine menurunkan laju depolarisasi diastolik, sehingga memperlambat denyut jantung. Penurunan denyut jantung secara selektif ini memiliki dua manfaat utama dalam konteks angina:
Yang penting, ivabradine mencapai efek ini tanpa memengaruhi kontraktilitas miokard atau tekanan darah, sehingga menghindari efek samping yang sering terkait dengan beta-blocker pada pasien tertentu.
Ivabradine diindikasikan untuk pengobatan simtomatik angina pektoris stabil kronis pada pasien dengan ritme sinus normal yang memiliki kontraindikasi atau intoleransi terhadap beta-blocker, atau pada pasien yang sudah mengonsumsi beta-blocker tetapi denyut jantungnya masih di atas 60 denyut per menit. Ivabradine juga disetujui untuk pengobatan gagal jantung kronis dengan fraksi ejeksi yang menurun pada pasien yang stabil secara klinis, juga dengan ritme sinus dan denyut jantung tinggi.
Efek samping umum meliputi bradikardia (yang merupakan efek yang diharapkan tetapi bisa berlebihan), sakit kepala, pusing, dan gangguan penglihatan. Gangguan penglihatan seringkali berupa fenomena visual sementara berupa cahaya terang atau halo (fenomena "luminous") yang biasanya ringan, sementara, dan terkait dengan efek pada saluran ion di retina.
Kontraindikasi meliputi bradikardia (< 60 bpm sebelum pengobatan), syok kardiogenik, infark miokard akut, hipotensi berat, gagal jantung dekompensasi, blok SA, blok AV derajat 3, ketergantungan pacemaker, angina tidak stabil, atau disfungsi hati berat. Tidak boleh digunakan bersamaan dengan inhibitor kuat CYP3A4.
Trimetazidine adalah agen sitoprotektif metabolik yang bekerja dengan memodifikasi metabolisme energi miokard, bukan melalui efek hemodinamik langsung seperti obat antiangina lainnya. Ini adalah pilihan yang berguna sebagai terapi tambahan pada pasien dengan angina stabil.
Miokardium secara normal menggunakan asam lemak dan glukosa sebagai sumber energi. Dalam kondisi iskemia, miokardium cenderung beralih ke metabolisme asam lemak, yang membutuhkan lebih banyak oksigen per unit ATP yang dihasilkan dibandingkan dengan oksidasi glukosa. Trimetazidine bekerja dengan menghambat enzim 3-ketoasil KoA tiolase (3-KAT) dalam jalur oksidasi asam lemak. Dengan menghambat jalur ini, trimetazidine mendorong miokard untuk beralih ke oksidasi glukosa, yang merupakan jalur produksi energi yang lebih efisien dalam kondisi iskemik (membutuhkan lebih sedikit oksigen per unit ATP yang dihasilkan). Ini membantu menjaga efisiensi metabolisme energi miokard, meningkatkan ambang batas iskemia, dan mengurangi produksi produk sampingan berbahaya dari metabolisme anaerobik, sehingga melindungi sel-sel jantung dari kerusakan akibat iskemia.
Trimetazidine diindikasikan sebagai terapi tambahan untuk pengobatan simtomatik pasien dewasa dengan angina pektoris stabil yang tidak terkontrol secara adekuat oleh terapi antiangina lini pertama atau yang memiliki intoleransi terhadapnya. Ini sering digunakan bersama dengan beta-blocker atau CCB.
Trimetazidine umumnya ditoleransi dengan baik. Efek samping yang jarang termasuk gangguan gastrointestinal (mual, muntah), sakit kepala, pusing, dan, dalam kasus yang sangat jarang, gejala Parkinsonian (tremor, bradikinesia, rigiditas) yang biasanya reversibel setelah penghentian obat. Karena potensi efek Parkinsonian ini, perhatian khusus harus diberikan pada pasien lansia.
Kontraindikasi meliputi penyakit Parkinson, gejala Parkinsonian, tremor, sindrom kaki gelisah, dan disfungsi ginjal berat (bersihan kreatinin < 30 mL/menit).
Dalam praktik klinis, satu obat antiangina mungkin tidak selalu cukup untuk mencapai kontrol gejala yang adekuat atau untuk memenuhi semua tujuan pengobatan. Dalam situasi seperti itu, penggunaan kombinasi dua atau lebih obat dengan mekanisme kerja yang saling melengkapi dapat memberikan manfaat tambahan. Kombinasi terapi seringkali memungkinkan penggunaan dosis yang lebih rendah dari masing-masing obat, sehingga dapat mengurangi risiko efek samping spesifik yang terkait dengan dosis tinggi.
Tujuan utama dari kombinasi terapi adalah untuk mencapai kontrol gejala yang lebih baik dengan menargetkan berbagai aspek ketidakseimbangan pasokan/permintaan oksigen miokard. Strategi ini harus mempertimbangkan profil efek samping masing-masing obat dan menghindari kombinasi yang dapat memperburuk efek samping atau menyebabkan interaksi obat yang merugikan. Pendekatan yang sinergis, di mana satu obat mengimbangi efek samping yang mungkin ditimbulkan oleh obat lain, sangat ideal.
Ini adalah kombinasi yang sangat umum dan rasional. Beta-blocker mengurangi denyut jantung dan kontraktilitas miokard, sementara nitrat (terutama venodilatasi) mengurangi preload dan tekanan dinding ventrikel. Selain itu, beta-blocker dapat menumpulkan takikardia refleks yang kadang-kadang dipicu oleh nitrat (khususnya nitrat kerja cepat atau dosis tinggi), sehingga mengurangi potensi peningkatan permintaan oksigen miokard. Kombinasi ini menargetkan baik penurunan permintaan oksigen secara komprehensif.
Kombinasi ini juga sangat efektif. Beta-blocker mengurangi denyut jantung dan kontraktilitas. CCB DHP (seperti amlodipin atau felodipin) menyebabkan vasodilatasi perifer yang kuat, mengurangi afterload, dan juga mendilatasi arteri koroner. CCB DHP cenderung menyebabkan takikardia refleks, yang dapat diatasi atau dicegah oleh beta-blocker. Kombinasi ini secara komprehensif mengurangi permintaan oksigen (melalui penurunan denyut jantung, kontraktilitas, preload, dan afterload) dan meningkatkan pasokan oksigen (melalui dilatasi koroner).
Kombinasi ini dapat digunakan pada pasien yang tidak dapat mentolerir atau memiliki kontraindikasi terhadap beta-blocker. Non-DHP CCB (seperti verapamil atau diltiazem) mengurangi denyut jantung dan kontraktilitas, sementara nitrat mengurangi preload. Keduanya juga menyebabkan vasodilatasi koroner. Namun, kombinasi ini harus digunakan dengan hati-hati karena non-DHP CCB dan nitrat keduanya dapat menyebabkan hipotensi. Selain itu, non-DHP CCB memiliki efek depresan pada nodus AV dan miokard, sehingga harus dihindari pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri atau gangguan konduksi jantung.
Pada kasus angina refrakter yang sulit dikendalikan, kombinasi tiga obat (misalnya, beta-blocker, nitrat kerja lama, dan CCB DHP) dapat dipertimbangkan. Namun, risiko efek samping juga meningkat dengan semakin banyaknya obat yang digunakan. Penting untuk memantau pasien dengan cermat.
Untuk pasien yang masih simtomatik meskipun telah menerima terapi lini pertama yang optimal, penambahan agen antiangina yang lebih baru seperti ranolazine, ivabradine, atau trimetazidine dapat dipertimbangkan. Misalnya, ranolazine dapat ditambahkan ke beta-blocker dan/atau CCB. Ivabradine dapat digunakan jika denyut jantung masih tinggi meskipun sudah menggunakan beta-blocker atau jika beta-blocker dikontraindikasikan. Trimetazidine dapat menjadi pilihan tambahan yang baik karena mekanisme kerjanya yang unik, terutama jika efek hemodinamik lebih lanjut tidak diinginkan atau tidak dapat ditoleransi.
Penting untuk diingat bahwa pemilihan kombinasi terapi harus selalu individual dan didasarkan pada karakteristik pasien, komorbiditas, toleransi terhadap obat, dan tujuan pengobatan yang realistis. Pemantauan ketat terhadap efektivitas dan efek samping sangat penting.
Pengelolaan angina pektoris yang efektif tidak dapat hanya mengandalkan obat-obatan semata. Modifikasi gaya hidup yang komprehensif dan, jika diperlukan, intervensi medis invasif memainkan peran yang sama pentingnya dalam mengendalikan gejala, mencegah progresi penyakit, dan meningkatkan prognosis jangka panjang. Pendekatan holistik ini memastikan bahwa semua aspek penyakit ditangani.
Perubahan gaya hidup adalah fondasi utama dalam pencegahan dan manajemen PJK serta angina. Intervensi ini seringkali merupakan yang paling hemat biaya dan dapat memberikan manfaat kesehatan yang luas:
Untuk pasien dengan penyakit arteri koroner yang signifikan, gejala angina yang tidak terkontrol secara adekuat dengan terapi medis optimal, atau dengan bukti iskemia luas, prosedur revaskularisasi mungkin diperlukan. Prosedur ini bertujuan untuk mengembalikan aliran darah yang memadai ke miokardium yang iskemik.
Keputusan untuk melakukan PCI atau CABG adalah kompleks dan harus dibuat setelah evaluasi menyeluruh oleh tim kardiologi (melibatkan kardiolog intervensi dan ahli bedah jantung), mempertimbangkan tingkat keparahan penyakit, anatomi koroner, gejala pasien, risiko prosedur, dan preferensi pasien. Terapi medis optimal, termasuk obat antiplatelet (aspirin, clopidogrel) dan obat penurun kolesterol (statin), tetap merupakan bagian integral dari perawatan, bahkan setelah revaskularisasi.
Edukasi pasien adalah salah satu pilar utama dalam manajemen angina pektoris yang sukses dan berkelanjutan. Pasien yang terinformasi dengan baik akan lebih mampu untuk berpartisipasi aktif dalam perawatan mereka, membuat keputusan yang tepat, mematuhi rejimen pengobatan, dan mengenali situasi yang memerlukan perhatian medis segera. Pemantauan rutin juga esensial untuk menilai efektivitas terapi, mendeteksi efek samping, dan menyesuaikan rencana perawatan seiring waktu.
Setiap pasien dengan angina harus menerima informasi yang jelas dan komprehensif dari penyedia layanan kesehatan mereka. Beberapa poin kunci meliputi:
Pemantauan rutin dan berkelanjutan adalah kunci untuk memastikan terapi antiangina berfungsi dengan baik dan untuk mengidentifikasi masalah potensial. Pemantauan ini dapat melibatkan:
Pendekatan kolaboratif antara pasien dan tim perawatan kesehatan mereka, didukung oleh edukasi yang kuat dan pemantauan yang cermat, akan mengarah pada manajemen angina yang paling efektif dan hasil yang optimal.
Meskipun telah banyak kemajuan signifikan dalam diagnosis dan manajemen angina pektoris, baik melalui farmakoterapi maupun intervensi revaskularisasi, masih ada tantangan yang harus diatasi. Salah satu tantangan terbesar adalah angina refrakter, di mana gejala angina tetap ada dan mengganggu kualitas hidup pasien meskipun telah diberikan terapi medis optimal, termasuk obat-obatan lini pertama dan agen baru, serta setelah pertimbangan revaskularisasi. Pasien-pasien ini seringkali memiliki penyakit koroner yang sangat kompleks, komorbiditas yang signifikan, atau disfungsi mikrovaskular yang sulit diobati.
Tantangan lain termasuk kepatuhan pasien terhadap rejimen pengobatan yang kompleks, manajemen efek samping obat, dan biaya pengobatan yang dapat membatasi aksesibilitas. Selain itu, diagnosis dan manajemen iskemia diam (silent ischemia) juga merupakan area yang memerlukan perhatian lebih, karena kondisi ini dapat meningkatkan risiko kejadian kardiovaskular tanpa gejala peringatan yang jelas.
Penelitian terus berlanjut untuk mengembangkan agen antiangina baru dengan mekanisme kerja yang berbeda dan profil efek samping yang lebih baik, serta untuk mengidentifikasi strategi pengobatan yang lebih personal dan efektif:
Dengan penelitian yang berkelanjutan dan penerapan strategi manajemen yang komprehensif, harapan adalah bahwa beban angina pektoris akan terus berkurang. Ini bukan hanya tentang memperpanjang harapan hidup, tetapi juga secara signifikan meningkatkan kualitas hidup pasien dengan PJK, memungkinkan mereka untuk menjalani kehidupan yang lebih aktif, produktif, dan bebas nyeri.
Terapi antiangina adalah bidang yang sangat dinamis dan esensial dalam kardiologi modern. Memahami patofisiologi kompleks angina pektoris, yang berakar pada ketidakseimbangan pasokan dan permintaan oksigen miokard, adalah fondasi untuk manajemen pasien yang efektif. Obat-obatan antiangina utama—nitrat, beta-blocker, dan calcium channel blockers—tetap menjadi tulang punggung terapi, masing-masing dengan mekanisme kerja yang unik dalam mengurangi beban kerja jantung atau meningkatkan aliran darah koroner. Mereka didukung oleh agen yang lebih baru seperti ranolazine, ivabradine, dan trimetazidine, yang menawarkan pilihan tambahan dan mekanisme yang berbeda bagi pasien dengan kebutuhan yang kompleks atau yang tidak merespons terapi standar.
Manajemen angina pektoris tidak hanya berpusat pada peredaan gejala nyeri dada, tetapi juga pada pencegahan kejadian kardiovaskular serius seperti serangan jantung dan stroke, serta peningkatan kualitas hidup jangka panjang pasien. Pendekatan yang paling efektif adalah yang bersifat holistik, mengintegrasikan terapi farmakologis yang rasional, modifikasi gaya hidup yang agresif, edukasi pasien yang komprehensif, dan pemantauan ketat terhadap kondisi pasien. Selain itu, pertimbangan prosedur revaskularisasi seperti angioplasti koroner perkutan (PCI) atau operasi bypass arteri koroner (CABG) sangat penting bagi pasien yang memenuhi kriteria, untuk memulihkan aliran darah yang adekuat ke jantung dan meningkatkan prognosis.
Melalui kemajuan berkelanjutan dalam penelitian dan praktik klinis, kita terus mengembangkan strategi yang lebih efektif dan personal untuk mengelola angina. Edukasi pasien yang kuat, kepatuhan terhadap pengobatan, dan gaya hidup sehat adalah kunci untuk memberdayakan individu dalam mengelola kondisi mereka dan mencapai kesehatan jantung yang optimal. Dengan demikian, kita dapat berharap untuk terus mengurangi beban PJK dan memungkinkan jutaan individu di seluruh dunia untuk menjalani kehidupan yang lebih baik, lebih aktif, dan lebih bebas dari gejala.