Pengantar: Menguak Tirai Apokrifa
Dalam dunia studi keagamaan dan sejarah kuno, istilah "apokrifa" sering muncul, memicu rasa ingin tahu sekaligus perdebatan. Kata ini sendiri berasal dari bahasa Yunani Kuno ἀπόκρυφα (apókrypha), yang secara harfiah berarti "hal-hal yang tersembunyi" atau "tersembunyi". Namun, makna dan konotasi istilah ini telah berkembang seiring waktu, merujuk pada sekelompok kitab atau tulisan yang tidak diakui sebagai bagian dari kanon resmi Alkitab oleh semua tradisi keagamaan, meskipun memiliki nilai sejarah, sastra, atau teologis yang signifikan.
Apokrifa bukan sekadar kumpulan teks yang "dibuang" atau "dilupakan." Sebaliknya, mereka adalah artefak berharga yang menawarkan jendela unik ke dalam pemikiran, kepercayaan, dan budaya masyarakat kuno, khususnya komunitas Yahudi dan Kristen awal. Kitab-kitab ini sering kali mengisi celah-celah naratif dalam kitab-kitab kanonik, memberikan detail tambahan tentang kehidupan tokoh-tokoh Alkitab, atau mengembangkan doktrin dan konsep teologis yang populer pada zamannya. Meskipun status kanoniknya diperdebatkan, pengaruhnya terhadap seni, sastra, dan bahkan pemikiran teologis sepanjang sejarah tidak dapat diremehkan.
Artikel ini akan membawa kita menyelami dunia apokrifa secara mendalam. Kita akan membahas asal-usul istilah ini, mengkategorikan berbagai jenis apokrifa yang ada, menelusuri sejarah kompleks penerimaan dan penolakannya oleh berbagai tradisi keagamaan, dan menggali signifikansi serta relevansinya di zaman modern. Melalui eksplorasi ini, kita berharap dapat memperoleh pemahaman yang lebih komprehensif tentang "kitab-kitab tersembunyi" ini dan peran penting yang mereka mainkan dalam sejarah peradaban.
Definisi dan Lingkup Apokrifa
Untuk memahami apokrifa secara komprehensif, penting untuk terlebih dahulu meninjau definisinya dan bagaimana istilah ini dipahami dalam konteks yang berbeda. Meskipun secara harfiah berarti "tersembunyi," alasan di balik penyebutan ini tidak tunggal dan seringkali berlapis.
Etimologi dan Makna
Seperti yang telah disebutkan, kata apókrypha berasal dari bahasa Yunani. Secara historis, ada beberapa alasan mengapa suatu kitab mungkin disebut "apokrif":
- Untuk dibaca secara rahasia: Beberapa teks awalnya mungkin dimaksudkan untuk dibaca hanya oleh kalangan terbatas, mereka yang telah mencapai tingkat pengetahuan atau inisiasi tertentu. Ini sering terkait dengan tradisi mistik atau Gnostik, di mana pengetahuan tertentu dianggap terlalu suci atau terlalu berbahaya untuk disebarluaskan kepada khalayak umum.
- Karena asal-usulnya yang tidak jelas atau diragukan: Banyak kitab apokrifa ditulis oleh penulis yang tidak diketahui atau diatributkan secara palsu kepada tokoh-tokoh Alkitab yang terkenal (misalnya, Injil Petrus, Wahyu Paulus). Keraguan tentang keaslian atau kepenulisannya menyebabkan kitab-kitab ini dianggap "tersembunyi" dalam arti tidak dapat diverifikasi secara otentik.
- Karena isinya yang tidak layak: Beberapa kitab apokrifa mengandung cerita atau doktrin yang dianggap menyimpang dari ajaran ortodoks, fantastis, atau bahkan sesat. Oleh karena itu, kitab-kitab ini "disembunyikan" atau ditarik dari peredaran umum untuk melindungi jemaat dari ajaran yang keliru.
Perbedaan Istilah: Apokrifa, Deuterokanonika, dan Pseudoepigrafa
Dalam diskusi tentang kitab-kitab non-kanonik, seringkali muncul kebingungan antara tiga istilah utama: Apokrifa, Deuterokanonika, dan Pseudoepigrafa. Membedakan ketiganya sangat penting untuk studi yang akurat:
Deuterokanonika
Istilah "Deuterokanonika" (secara harfiah "kanon kedua") digunakan terutama oleh Gereja Katolik Roma dan Gereja Ortodoks Timur untuk merujuk pada kitab-kitab yang mereka akui sebagai bagian dari kanon Alkitab Perjanjian Lama mereka, tetapi tidak ditemukan dalam kanon Ibrani (Tanakh) atau ditolak oleh kebanyakan Protestan. Kitab-kitab ini telah diterima sebagai bagian dari Kitab Suci sejak zaman kuno oleh gereja-gereja tersebut dan memiliki status yang sama dengan kitab-kitab protokanonika (kanon pertama) lainnya.
Contoh kitab Deuterokanonika meliputi:
- Tobit
- Yudit
- Tambahan Ester
- Kebijaksanaan Salomo
- Sirakh (Putra Sirakh, Eklesiastikus)
- Barukh
- Surat Yeremia
- Tambahan Daniel (Doa Azarya dan Nyanyian Tiga Pemuda, Susana, Bel dan Naga)
- 1 Makabe
- 2 Makabe
Bagi Gereja Katolik dan Ortodoks, kitab-kitab ini bukanlah apokrifa dalam arti penolakan, melainkan bagian integral dari Kitab Suci mereka. Namun, bagi umat Protestan, kitab-kitab ini sering dikelompokkan ke dalam kategori "apokrifa" dan tidak dianggap inspirasi ilahi, meskipun beberapa tradisi Protestan menghargainya sebagai bacaan yang bermanfaat untuk tujuan moral atau sejarah.
Apokrifa (dalam pengertian Protestan)
Dalam konteks Protestan, "Apokrifa" secara spesifik merujuk pada kitab-kitab Deuterokanonika yang disebutkan di atas, bersama dengan beberapa kitab lain yang tidak diterima sebagai kanon oleh Gereja Katolik maupun Ortodoks, tetapi terkadang disertakan dalam edisi Alkitab tertentu (misalnya, 3 dan 4 Ezra, 3 dan 4 Makabe). Bagi Protestan, kitab-kitab ini dianggap sebagai karya sastra yang berguna untuk pemahaman sejarah, etika, atau sastra, tetapi tidak memiliki otoritas ilahi yang sama dengan kitab-kitab kanonik.
Pseudoepigrafa
Istilah "Pseudoepigrafa" (dari bahasa Yunani ψευδεπιγραφία, pseudepigraphia, "tulisan palsu") merujuk pada kumpulan kitab yang lebih besar dan lebih beragam yang diatribusikan secara palsu kepada tokoh-tokoh Alkitab yang terkenal (misalnya, Kitab Henokh, Kitab Yobel, Testamen Dua Belas Leluhur, Injil Tomas). Kitab-kitab ini umumnya tidak diterima sebagai kanon oleh gereja-gereja besar mana pun. Mereka seringkali berisi materi yang sangat fantastis, spekulatif, atau bertentangan dengan doktrin ortodoks. Meskipun demikian, Pseudoepigrafa sangat berharga bagi para sarjana untuk memahami spektrum pemikiran keagamaan Yahudi dan Kristen awal, khususnya pada periode antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.
Dengan demikian, hierarki pengakuan otoritas dapat disederhanakan sebagai berikut:
- Kanonika/Protokanonika: Kitab-kitab yang diakui oleh hampir semua tradisi Yahudi dan Kristen sebagai bagian dari Kitab Suci (misalnya, Kejadian, Mazmur, Injil Matius).
- Deuterokanonika: Kitab-kitab yang diakui sebagai kanon oleh Katolik Roma dan Ortodoks, tetapi tidak oleh Protestan (dan bukan bagian dari kanon Ibrani).
- Apokrifa (dalam arti luas/Protestan): Kitab-kitab Deuterokanonika plus beberapa lainnya yang tidak diakui kanoniknya oleh gereja-gereja besar.
- Pseudoepigrafa: Kitab-kitab yang sebagian besar ditolak sebagai kanon oleh semua tradisi utama, seringkali dengan kepenulisan palsu.
Sejarah dan Perkembangan Kanon
Perjalanan kitab-kitab apokrifa tidak dapat dipisahkan dari sejarah panjang dan kompleks pembentukan kanon Alkitab, baik Yahudi maupun Kristen. Kanon bukanlah daftar yang muncul secara instan, melainkan hasil dari proses seleksi, debat, dan konsensus yang berlangsung selama berabad-abad.
Periode Antar-Perjanjian (Intertestamental)
Banyak dari kitab-kitab apokrifa Perjanjian Lama ditulis selama periode Antar-Perjanjian (sekitar 400 SM hingga permulaan era Kristen). Ini adalah masa yang penuh gejolak bagi Yudaisme, ditandai oleh dominasi asing (Persia, Yunani, Romawi), konflik internal, dan munculnya berbagai aliran pemikiran. Dalam konteks ini, banyak orang Yahudi mencari penghiburan, bimbingan, dan pemahaman akan kehendak Tuhan di tengah penderitaan. Kitab-kitab apokrifa seperti Makabe muncul dari perjuangan melawan penindasan Helenistik, sementara Kebijaksanaan Salomo dan Sirakh menawarkan panduan etis dan teologis.
Pada periode ini, Septuaginta, terjemahan Alkitab Ibrani ke dalam bahasa Yunani, menjadi sangat penting. Dibuat untuk komunitas Yahudi berbahasa Yunani di Diaspora (terutama di Alexandria, Mesir), Septuaginta mencakup beberapa kitab yang kemudian dikenal sebagai Deuterokanonika. Inilah salah satu alasan mengapa kitab-kitab ini menjadi akrab bagi orang Kristen awal, yang sebagian besar menggunakan Septuaginta.
Perkembangan Kanon Yahudi
Kanon Yahudi, yang dikenal sebagai Tanakh, distandardisasi secara bertahap. Meskipun tidak ada "konsili" resmi yang secara eksplisit menutup kanon, tradisi rabinik Yahudi secara umum mencapai konsensus sekitar abad pertama atau kedua Masehi mengenai 24 kitab (yang setara dengan 39 kitab Perjanjian Lama Protestan). Kitab-kitab Deuterokanonika/apokrifa tidak termasuk dalam kanon Ibrani ini. Salah satu alasan utama penolakan ini adalah karena banyak dari kitab-kitab ini ditulis dalam bahasa Yunani atau aslinya dalam bahasa Ibrani tetapi hanya bertahan dalam bahasa Yunani, dan dianggap relatif baru, tidak ditulis selama periode kenabian "emas" yang diakui.
Perkembangan Kanon Kristen Mula-mula
Orang Kristen awal mewarisi Alkitab Yahudi, sebagian besar melalui Septuaginta. Karena Septuaginta mencakup kitab-kitab Deuterokanonika, kitab-kitab ini awalnya diterima dan dibaca secara luas dalam gereja Kristen. Para Bapa Gereja awal seperti Klemens dari Roma, Polikarpus, dan Ireneus mengutip dari kitab-kitab Deuterokanonika.
Namun, sejak awal sudah ada perdebatan. Beberapa Bapa Gereja, terutama mereka yang memiliki latar belakang Yahudi atau yang belajar dengan sarjana Yahudi (seperti Hieronimus, penerjemah Vulgata), menyadari bahwa kitab-kitab ini tidak ada dalam kanon Ibrani. Hieronimus sendiri membedakan antara libri canonici (kitab-kitab kanonik) dan libri ecclesiastici (kitab-kitab gerejawi) atau apocrypha. Meskipun demikian, ia tetap memasukkan semua Deuterokanonika ke dalam Vulgatanya atas permintaan Paus.
Seiring waktu, konsensus mayoritas Gereja Barat (yang kemudian menjadi Katolik Roma) cenderung menerima kitab-kitab Deuterokanonika sebagai bagian dari kanon, meskipun kadang dengan status yang sedikit berbeda dari "protokanonika." Konsili lokal seperti Hippopada (393 M) dan Kartago (397 M) secara eksplisit memasukkan Deuterokanonika ke dalam daftar kanon mereka. Konsili Trente (abad ke-16) kemudian secara dogmatis menegaskan kanon yang mencakup Deuterokanonika sebagai tanggapan terhadap Reformasi Protestan.
Reformasi Protestan dan Perpecahan Kanon
Reformasi Protestan pada abad ke-16 membawa perdebatan kanon ke puncaknya. Para reformator seperti Martin Luther, Ulrich Zwingli, dan Yohanes Calvin, kembali ke prinsip sola Scriptura dan mencari kanon yang paling otentik. Mereka cenderung mengikuti kanon Yahudi untuk Perjanjian Lama, menolak kitab-kitab Deuterokanonika dari status kanonik. Luther sendiri menempatkan kitab-kitab ini dalam bagian terpisah di Alkitabnya dengan judul "Apokrifa: Itu adalah kitab-kitab yang tidak dianggap setara dengan Kitab Suci, tetapi bermanfaat dan baik untuk dibaca." Banyak Alkitab Protestan edisi awal masih menyertakan apokrifa sebagai lampiran, tetapi seiring waktu, mereka sering dihapus sepenuhnya.
Dengan demikian, status "apokrifa" menjadi sangat bergantung pada tradisi keagamaan mana yang membahasnya.
Kategori Utama Kitab-Kitab Apokrifa
Dunia apokrifa sangat luas dan beragam, mencakup berbagai genre sastra, tema teologis, dan asal-usul. Untuk mempermudah pemahaman, kita dapat mengkategorikannya berdasarkan hubungan mereka dengan Perjanjian Lama atau Perjanjian Baru, serta status kanoniknya.
Apokrifa Perjanjian Lama (Deuterokanonika)
Ini adalah kumpulan kitab yang diakui sebagai kanon oleh Gereja Katolik Roma dan Ortodoks Timur, tetapi tidak oleh Yudaisme atau sebagian besar gereja Protestan.
1. Kitab Tobit
- Isi: Sebuah kisah yang menyentuh hati tentang Tobit, seorang Yahudi saleh yang buta, dan anaknya, Tobias. Tobias melakukan perjalanan berbahaya yang dipimpin oleh malaikat Rafael yang menyamar, menghadapi iblis Asmodeus, menyembuhkan kebutaan ayahnya, dan menikahi Sara.
- Nilai: Menekankan pentingnya ketaatan pada hukum Taurat, amal, doa, kesalehan keluarga, dan campur tangan malaikat. Memiliki nilai sastra yang tinggi sebagai sebuah novel moralistik.
- Posisi: Deuterokanonika bagi Katolik dan Ortodoks. Apokrifa bagi Protestan.
2. Kitab Yudit
- Isi: Kisah heroik seorang janda Yahudi yang cantik dan saleh, Yudit, yang menyelamatkan kota Betulia dari pasukan Asyur yang mengepung di bawah jenderal Holofernes. Dia menyusup ke kemah musuh, merayu Holofernes, dan memenggal kepalanya.
- Nilai: Merayakan keberanian wanita, iman kepada Tuhan, dan pembebasan umat-Nya dari penindasan. Sebuah kisah inspiratif tentang perjuangan melawan tirani.
- Posisi: Deuterokanonika bagi Katolik dan Ortodoks. Apokrifa bagi Protestan.
3. Tambahan Kitab Ester
- Isi: Serangkaian tambahan pada Kitab Ester kanonik yang dimaksudkan untuk memberikan dimensi religius yang lebih kuat pada narasi yang sebelumnya tidak menyebut Tuhan secara eksplisit. Termasuk doa Mordekhai dan Ester, surat-surat raja, dan penjelasan tentang mimpi Mordekhai.
- Nilai: Menguatkan pesan providensi ilahi dan ketaatan Yahudi.
- Posisi: Termasuk dalam Kitab Ester dalam kanon Katolik dan Ortodoks. Apokrifa terpisah bagi Protestan.
4. Kitab Kebijaksanaan Salomo (Kebijaksanaan)
- Isi: Ditulis dalam gaya filsafat Yunani, kitab ini menganjurkan hikmat ilahi sebagai panduan hidup. Mengkontraskan orang benar dengan orang fasik, menguraikan keabadian jiwa, asal-usul hikmat, dan peran hikmat dalam sejarah Israel.
- Nilai: Karya teologis dan filosofis yang mendalam, membahas konsep jiwa abadi, kebangkitan, dan personifikasi hikmat, yang memiliki gema dalam teologi Kristen awal.
- Posisi: Deuterokanonika bagi Katolik dan Ortodoks. Apokrifa bagi Protestan.
5. Kitab Yesus bin Sirakh (Sirakh atau Eklesiastikus)
- Isi: Koleksi ajaran hikmat yang mirip dengan Amsal. Mengandung nasihat etis, moral, dan praktis tentang berbagai aspek kehidupan, dari hubungan keluarga hingga perilaku sosial, serta memuji hikmat dan pahlawan Israel.
- Nilai: Memberikan wawasan tentang etika Yahudi di Periode Bait Allah Kedua. Banyak kutipan dari Sirakh yang ditemukan dalam tulisan-tulisan Bapa Gereja awal.
- Posisi: Deuterokanonika bagi Katolik dan Ortodoks. Apokrifa bagi Protestan.
6. Kitab Barukh dan Surat Yeremia
- Isi Barukh: Sebuah tulisan yang diatributkan kepada Barukh, juru tulis Yeremia. Mengandung pengakuan dosa, ratapan atas pembuangan, dan janji penghiburan serta restorasi. Juga berisi pidato tentang hikmat.
- Isi Surat Yeremia: Surat yang dimaksudkan untuk memperingatkan orang Yahudi di pembuangan agar tidak menyembah berhala Babel. Ini adalah kritik tajam terhadap penyembahan berhala.
- Nilai: Memberikan perspektif tentang kondisi rohani Yahudi selama pembuangan dan pentingnya mempertahankan iman yang monoteistik.
- Posisi: Deuterokanonika bagi Katolik (Barukh bab 1-5, Surat Yeremia sebagai bab 6) dan Ortodoks. Apokrifa bagi Protestan.
7. Tambahan Kitab Daniel
- Isi: Tiga bagian tambahan pada Kitab Daniel:
- Doa Azarya dan Nyanyian Tiga Pemuda: Sebuah doa dan himne pujian yang disisipkan di antara Daniel 3:23 dan 3:24, saat ketiga pemuda berada di tungku api.
- Kisah Susana: Seorang wanita saleh bernama Susana dituduh palsu oleh dua tua-tua cabul, tetapi diselamatkan oleh hikmat Daniel.
- Bel dan Naga: Daniel membuktikan bahwa Bel (berhala Babel) dan naga (ular suci) hanyalah patung mati dan hewan, bukan dewa, dan kemudian dihukum di gua singa.
- Nilai: Menekankan kebenaran ilahi, kekuatan doa, dan campur tangan Tuhan untuk melindungi orang benar.
- Posisi: Terintegrasi dalam Kitab Daniel dalam kanon Katolik dan Ortodoks. Apokrifa terpisah bagi Protestan.
8. Kitab 1 Makabe
- Isi: Catatan sejarah tentang pemberontakan Makabe Yahudi melawan penindasan Helenistik di bawah Antiokhus IV Epifanes (sekitar 175-134 SM). Menceritakan perjuangan Yudas Makabe dan saudara-saudaranya untuk kebebasan beragama dan politik.
- Nilai: Sumber sejarah penting untuk Periode Antar-Perjanjian, memberikan konteks bagi Perjanjian Baru. Sebuah narasi heroik tentang iman dan perjuangan.
- Posisi: Deuterokanonika bagi Katolik dan Ortodoks. Apokrifa bagi Protestan.
9. Kitab 2 Makabe
- Isi: Bukan kelanjutan dari 1 Makabe, melainkan ringkasan dari karya yang lebih besar oleh Yason dari Kirene, mencakup sebagian besar periode yang sama dengan 1 Makabe, tetapi dengan fokus teologis yang berbeda (sekitar 175-160 SM). Menekankan teologi kebangkitan orang mati dan doa bagi orang mati.
- Nilai: Sumber sejarah tambahan dan wawasan teologis tentang perkembangan doktrin Yahudi, termasuk kebangkitan dan purgatori (yang kemudian berpengaruh pada teologi Katolik).
- Posisi: Deuterokanonika bagi Katolik dan Ortodoks. Apokrifa bagi Protestan.
Selain kitab-kitab di atas, beberapa tradisi Ortodoks juga menerima kitab-kitab lain sebagai kanon, seperti 3 Makabe, 4 Makabe, 3 Ezra (1 Esdras), dan Mazmur 151, yang bagi Katolik dan Protestan tetap dikategorikan sebagai apokrifa atau pseudoepigrafa.
Apokrifa Perjanjian Baru
Ini adalah kumpulan kitab-kitab yang mirip dalam genre dengan kitab-kitab Perjanjian Baru kanonik (Injil, Kisah Para Rasul, Surat-surat, Wahyu), tetapi tidak diterima ke dalam kanon oleh gereja-gereja Kristen utama mana pun. Kitab-kitab ini umumnya ditulis pada abad ke-2 dan seterusnya, seringkali merefleksikan ajaran Gnostik atau hanya memperluas kisah-kisah kanonik dengan detail-detail fantastis.
1. Injil-Injil Apokrifa
Berusaha memberikan detail tambahan tentang kehidupan Yesus, Maria, dan para rasul, atau menyajikan versi alternatif dari ajaran Kristen.
- Injil Tomas: Kumpulan 114 perkataan (logia) Yesus, banyak di antaranya paralel dengan Injil kanonik, tetapi beberapa unik dan mencerminkan perspektif Gnostik. Ditemukan lengkap di Nag Hammadi pada tahun 1945.
- Injil Petrus: Fragmen Injil yang menceritakan gairah, kematian, dan kebangkitan Yesus dari sudut pandang yang berbeda, dengan beberapa detail yang tidak biasa (misalnya, Yesus yang melayang keluar dari kubur tanpa bantuan, salib yang berbicara).
- Injil Yakobus (Protoevangelium Yakobus): Mengisi kekosongan dalam kisah masa kecil Maria, orang tuanya (Yoakim dan Hana), kelahirannya, perawan abadi, dan kelahiran Yesus di sebuah gua. Sangat populer dalam tradisi Ortodoks dan Katolik, meskipun tidak kanonik.
- Injil Masa Kanak-Kanak Tomas: Menceritakan kisah-kisah ajaib dan kadang-kadang nakal dari Yesus ketika masih anak-anak, menampilkan Dia menggunakan kekuatan ilahi untuk membalas dendam atau membuat mainan hidup.
- Injil Maria Magdalena: Fragmen teks Gnostik yang menekankan peran Maria Magdalena sebagai penerima wahyu rahasia dari Yesus dan konflik antara dirinya dengan Petrus.
- Injil Filipus: Teks Gnostik lain dari Nag Hammadi, berisi ucapan Yesus dan diskusi teologis, seringkali dengan fokus pada sakramen dan spiritualitas mistik.
- Injil Yudas: Ditemukan pada tahun 2004, Injil Gnostik ini menggambarkan Yudas Iskariot sebagai rasul yang paling memahami Yesus dan yang diperintahkan oleh Yesus untuk menyerahkan-Nya.
2. Kisah Para Rasul Apokrifa
Memperluas kisah-kisah Kisah Para Rasul kanonik dengan menceritakan petualangan, mukjizat, dan kemartiran para rasul di berbagai tempat.
- Kisah Petrus: Menceritakan kisah-kisah tentang Simon Petrus, termasuk kemenangannya atas Simon Magus, perjalanannya ke Roma, dan kemartirannya yang disalibkan terbalik.
- Kisah Paulus: Mengandung kisah-kisah seperti perjalanan Paulus ke Roma, pertemuan dengan putri bangsawan, dan kemartirannya. Juga berisi Surat Korintus Ketiga.
- Kisah Andreas: Menceritakan perjalanan dan mukjizat rasul Andreas, serta kemartirannya.
- Kisah Yohanes: Mengandung episode-episode fantastis tentang rasul Yohanes, termasuk penghancuran kuil Artemis, dan mukjizat-mukjizat aneh lainnya.
3. Surat-Surat Apokrifa
Contohnya adalah Surat Laodikia, sebuah surat pendek yang diatributkan kepada Paulus yang sebenarnya merupakan kompilasi ayat-ayat dari surat-surat Paulus yang lain.
4. Wahyu (Apokalips) Apokrifa
Menggambarkan visi-visi tentang akhir zaman, neraka, dan surga, mirip dengan Kitab Wahyu kanonik.
- Wahyu Petrus: Menggambarkan visi yang jelas dan mengerikan tentang neraka dan surga, dengan detail hukuman bagi orang-orang berdosa yang sangat grafis.
- Wahyu Paulus: Mirip dengan Wahyu Petrus, menceritakan perjalanan Paulus melalui alam baka, melihat hukuman bagi orang berdosa dan kemuliaan bagi orang benar.
Pseudoepigrafa: Warisan Tersembunyi Lainnya
Meskipun seringkali tumpang tindih dengan "Apokrifa" dalam pengertian yang paling luas, pseudoepigrafa membentuk kategori tersendiri yang berharga untuk studi sejarah dan agama.
Perbedaan Kunci dan Contoh
Seperti yang telah dijelaskan, ciri khas pseudoepigrafa adalah klaim kepenulisan palsu. Ini adalah praktik umum di zaman kuno untuk memberikan otoritas pada suatu teks dengan mengatributkannya kepada tokoh besar dari masa lalu, seperti Henokh, Nuh, Musa, Salomo, atau para Patriark.
- Kitab Henokh (1 Henokh): Salah satu pseudoepigrafa terpenting. Ini adalah koleksi tulisan apokaliptik yang diatributkan kepada Henokh, leluhur yang dibawa pergi oleh Tuhan. Berisi kisah-kisah tentang malaikat jatuh (Pengawas), asal-usul kejahatan, visi tentang surga dan neraka, kedatangan Mesias, dan kosmologi. Kitab ini sangat berpengaruh pada Yudaisme awal dan Perjanjian Baru (misalnya, Yudas 14-15 mengutip langsung dari Henokh). Diterima sebagai kanon oleh Gereja Ortodoks Etiopia.
- Kitab Yobel: Juga dikenal sebagai "Kejadian Kecil." Ini adalah penulisan ulang Kitab Kejadian dan sebagian Keluaran dari sudut pandang yang sangat legalistik, menekankan pentingnya hukum Taurat dan kalender tertentu. Diatributkan kepada Musa. Juga kanonik di Etiopia.
- Testamen Dua Belas Leluhur: Masing-masing dari dua belas putra Yakub memberikan pidato perpisahan yang berisi nasihat moral dan nubuatan, menyoroti kebajikan dan keburukan tertentu.
- Doa Manasye: Doa pengakuan dosa dari Raja Manasye dari Yehuda, yang disebutkan dalam 2 Tawarikh 33:18-19. Meskipun tidak ada di Alkitab Ibrani, ini sering ditemukan di Alkitab Protestan edisi awal dan juga di Deuterokanonika Ortodoks.
- Apokalips Abraham: Mengisahkan tentang Abraham yang menerima wahyu ilahi tentang asal-usul dosa, penghancuran Yerusalem, dan akhir zaman.
Pengaruh pada Yudaisme dan Kekristenan Awal
Pseudoepigrafa memberikan wawasan tak ternilai tentang pemikiran keagamaan Yahudi pada periode Antar-Perjanjian. Konsep-konsep seperti malaikat jatuh, Mesias yang datang, kebangkitan, dan eskatologi seringkali dikembangkan lebih jauh dalam teks-teks ini daripada dalam kitab-kitab kanonik. Mereka juga menunjukkan keragaman teologi Yahudi pada masa itu.
Bagi Kekristenan awal, pseudoepigrafa juga sangat berpengaruh. Para penulis Perjanjian Baru mungkin akrab dengan ide-ide dan bahkan kutipan dari teks-teks ini (misalnya, seperti yang disebutkan, Yudas mengutip Henokh). Konsep-konsep yang ditemukan dalam pseudoepigrafa membantu membentuk pemahaman tentang Yesus, kerajaan Allah, dan akhir zaman di kalangan orang Kristen mula-mula. Studi pseudoepigrafa sangat penting untuk memahami konteks intelektual dan keagamaan di mana Perjanjian Baru ditulis.
Pandangan Berbagai Tradisi Keagamaan
Status dan penerimaan apokrifa sangat bervariasi di antara tradisi keagamaan besar, mencerminkan sejarah teologis dan perkembangan kanon yang berbeda.
Yudaisme
Kanon Yahudi (Tanakh) secara eksplisit tidak menyertakan kitab-kitab yang oleh Katolik disebut Deuterokanonika atau apokrifa Perjanjian Lama. Kitab-kitab ini dianggap sebagai sastra sekuler atau di luar batas otoritas kenabian yang diakui. Meskipun beberapa komunitas Yahudi, terutama di Diaspora, menggunakan Septuaginta yang mencakup kitab-kitab ini, Rabi-rabi di Yudaisme Palestina pada abad pertama dan kedua Masehi akhirnya menetapkan kanon Ibrani yang lebih ketat. Namun demikian, beberapa Pseudoepigrafa seperti Kitab Henokh dan Kitab Yobel memiliki pengaruh signifikan pada pemikiran Yahudi awal, meskipun tidak pernah menjadi bagian dari kanon resmi mereka.
Katolik Roma
Gereja Katolik Roma secara resmi mengakui semua kitab Deuterokanonika sebagai bagian integral dari Perjanjian Lama yang terinspirasi secara ilahi. Pengakuan ini ditegaskan secara dogmatis pada Konsili Trente pada tahun 1546, sebagai respons langsung terhadap penolakan Protestan. Bagi Katolik, kitab-kitab ini memiliki otoritas yang sama dengan kitab-kitab protokanonika (misalnya, Kejadian, Yesaya). Beberapa doktrin Katolik, seperti doa bagi orang mati dan purgatori, menemukan setidaknya sebagian dukungannya dalam kitab-kitab Deuterokanonika (misalnya, 2 Makabe 12:43-45).
Ortodoks Timur
Gereja Ortodoks Timur memiliki kanon yang lebih luas daripada Katolik Roma. Mereka juga mengakui semua Deuterokanonika Katolik, dan seringkali juga beberapa kitab lain seperti 3 Makabe, 4 Makabe, 3 Ezra (1 Esdras), dan Mazmur 151. Kitab-kitab ini dianggap sebagai bagian dari Kitab Suci, meskipun beberapa tradisi Ortodoks mungkin masih membuat perbedaan halus antara "kanonik penuh" dan "kanonik kedua" atau "anagignoskomena" (kitab-kitab yang dibaca) dalam leksikon mereka, serupa dengan pembedaan Hieronimus.
Protestanisme
Sebagian besar denominasi Protestan menolak kitab-kitab Deuterokanonika dari kanon Alkitab. Mereka mengikuti kanon Ibrani untuk Perjanjian Lama. Para Reformator berpendapat bahwa kitab-kitab ini tidak diajarkan atau diterima oleh Yesus dan para rasul, serta tidak ada dalam teks-teks Ibrani yang paling otoritatif. Meskipun demikian, Martin Luther dan banyak Reformator lainnya tidak sepenuhnya menolak kitab-kitab ini; mereka ditempatkan di bagian terpisah dalam edisi Alkitab Luther sebagai "Apokrifa" dengan catatan bahwa mereka "berguna dan baik untuk dibaca" tetapi bukan bagian dari kanon. Seiring waktu, banyak Alkitab Protestan menghilangkan apokrifa sepenuhnya, meskipun beberapa edisi masih menyertakannya sebagai lampiran atau di volume terpisah. Kitab-kitab apokrifa Perjanjian Baru dan pseudoepigrafa secara umum tidak dianggap memiliki otoritas keagamaan oleh Protestan, meskipun dihargai sebagai sumber sejarah dan sastra.
Gereja-Gereja Ortodoks Oriental (misalnya, Koptik, Etiopia)
Gereja-gereja ini memiliki kanon yang paling luas. Misalnya, Gereja Ortodoks Etiopia menerima Kitab Henokh dan Kitab Yobel sebagai bagian dari kanon Perjanjian Lama mereka, selain Deuterokanonika yang diterima oleh Katolik dan Ortodoks Timur. Kanon mereka juga mencakup kitab-kitab seperti Klemens dan Hermas yang tidak ditemukan dalam kanon gereja-gereja besar lainnya. Ini menunjukkan keragaman luar biasa dalam penentuan Kitab Suci di antara komunitas Kristen kuno.
Signifikansi dan Relevansi Apokrifa di Era Modern
Meskipun status kanoniknya diperdebatkan atau ditolak oleh beberapa tradisi, apokrifa tetap memegang peran penting dalam studi modern dan terus relevan dalam berbagai cara.
Sumber Sejarah dan Budaya yang Berharga
Kitab-kitab apokrifa, terutama apokrifa Perjanjian Lama seperti Makabe, adalah sumber sejarah primer yang tak ternilai. Mereka memberikan detail tentang periode Antar-Perjanjian, perjuangan Yahudi melawan Helenisasi, dan konteks politik-agama yang membentuk Palestina pada zaman Yesus. Mereka menjelaskan mengapa ada begitu banyak sekte Yahudi (Farisi, Saduki, Eseni) pada abad pertama Masehi dan mengapa Mesias sangat dinanti-nantikan.
Apokrifa Perjanjian Baru dan pseudoepigrafa juga menawarkan wawasan ke dalam keragaman dan kompleksitas pemikiran Kristen awal. Mereka mengungkapkan perdebatan teologis, perkembangan doktrin, dan variasi dalam praktik keagamaan yang ada sebelum kanon menjadi mapan. Mempelajari teks-teks ini membantu kita memahami lebih baik mengapa beberapa ide ditolak sementara yang lain diterima, dan bagaimana ortodoksi berkembang.
Lebih jauh lagi, apokrifa mencerminkan budaya dan sastra zaman kuno. Mereka menunjukkan bagaimana orang-orang kuno memahami dunia, hubungan mereka dengan Tuhan, dan aspirasi moral mereka. Kitab-kitab ini adalah bagian dari lanskap sastra yang lebih luas di mana kitab-kitab kanonik juga berkembang.
Studi Akademis dan Kritik Tekstual
Bagi para sarjana Alkitab, teologi, sejarah kuno, dan sastra, apokrifa adalah bidang studi yang kaya. Mereka digunakan untuk:
- Memahami Konteks Perjanjian Baru: Banyak konsep dan frase dalam Perjanjian Baru memiliki paralel atau latar belakang dalam apokrifa dan pseudoepigrafa. Mempelajari teks-teks ini memperdalam pemahaman kita tentang bahasa, gagasan, dan asumsi yang mendasari tulisan-tulisan Perjanjian Baru.
- Kritik Tekstual: Salinan apokrifa sering ditemukan bersama-sama dengan kitab-kitab kanonik dalam manuskrip kuno (misalnya, Gulungan Laut Mati), membantu para kritikus tekstual untuk merekonstruksi teks asli Alkitab dan memahami tradisi manuskrip.
- Sejarah Doktrin: Apokrifa menunjukkan perkembangan doktrin-doktrin penting seperti kebangkitan, keabadian jiwa, eskatologi (ajaran tentang akhir zaman), dan peran malaikat.
- Sejarah Seni dan Sastra: Banyak kisah apokrifa, seperti kisah masa kecil Maria dari Injil Yakobus, telah memengaruhi seni rupa, musik, dan sastra Barat selama berabad-abad, meskipun bukan bagian dari kanon.
Tantangan dan Perdebatan Teologis
Eksistensi apokrifa terus memicu perdebatan teologis, terutama mengenai sifat kanon Alkitab dan inspirasi ilahi. Pertanyaan-pertanyaan seperti:
- Bagaimana sebuah kitab ditentukan sebagai "terinspirasi"?
- Siapa yang memiliki otoritas untuk menentukan kanon?
- Apakah Allah terus berbicara melalui tulisan-tulisan di luar kanon yang mapan?
Pertanyaan-pertanyaan ini memaksa para teolog untuk merefleksikan kembali dasar-dasar iman dan bagaimana komunitas keagamaan menentukan otoritas ilahi. Dalam konteks ekumenis, pemahaman tentang apokrifa juga menjadi jembatan atau penghalang antara tradisi Katolik, Ortodoks, dan Protestan.
Apokrifa dalam Budaya Populer
Dalam beberapa tahun terakhir, apokrifa, terutama yang terkait dengan Perjanjian Baru (seperti Injil Tomas atau Injil Yudas), telah menarik perhatian budaya populer. Buku-buku, film, dan acara televisi seringkali merujuk atau bahkan mendramatisasi cerita-cerita dari teks-teks ini, seringkali dalam upaya untuk "mengungkap" rahasia yang tersembunyi atau menantang narasi Alkitab yang mapan. Meskipun representasi ini seringkali tidak akurat secara akademis, minat publik menunjukkan daya tarik abadi dari kitab-kitab ini dan keinginan untuk memahami lebih banyak tentang asal-usul agama dan sejarah.
Sebagai contoh, novel-novel seperti "The Da Vinci Code" atau film-film dokumenter tentang "Injil yang Hilang" telah memperkenalkan ide-ide dari apokrifa kepada audiens yang lebih luas, meskipun seringkali dengan interpretasi yang spekulatif atau sensasional.
Penting untuk diingat bahwa popularitas atau intrik tidak sama dengan otoritas teologis. Namun, ini menyoroti perlunya pendidikan yang akurat tentang apokrifa dan tempatnya yang tepat dalam studi keagamaan. Memahami apokrifa bukan berarti menerimanya sebagai kebenaran mutlak, melainkan menghargainya sebagai bagian integral dari warisan intelektual dan spiritual umat manusia.
Kesimpulan: Memahami Warisan Apokrifa
Perjalanan kita melalui dunia apokrifa telah mengungkapkan bahwa mereka jauh lebih dari sekadar "kitab-kitab yang ditolak." Mereka adalah cerminan dari kompleksitas sejarah keagamaan, keragaman pemikiran teologis, dan perjuangan panjang dalam menentukan batas-batas otoritas ilahi. Dari etimologi kata "tersembunyi" hingga perdebatan kanonik yang memisahkan tradisi-tradisi besar, apokrifa adalah saksi bisu dari evolusi iman dan pemahaman manusia tentang yang ilahi.
Baik itu Deuterokanonika yang dihormati oleh Katolik dan Ortodoks, apokrifa yang bermanfaat bagi beberapa Protestan, atau pseudoepigrafa yang kaya akan wawasan historis bagi para sarjana, setiap teks ini memiliki cerita untuk diceritakan. Mereka mengisi celah-celah sejarah, memperkaya pemahaman kita tentang konteks budaya dan intelektual zaman Alkitab, dan menantang kita untuk terus bertanya dan menyelidiki.
Pada akhirnya, studi tentang apokrifa bukan hanya tentang daftar kitab mana yang "masuk" atau "tidak masuk" ke dalam kanon. Ini adalah tentang memahami lanskap keagamaan kuno yang lebih luas, menghargai kekayaan literatur yang dihasilkan oleh orang-orang Yahudi dan Kristen awal, dan menyadari bagaimana teks-teks ini, bahkan yang tidak kanonik, telah membentuk dan terus memengaruhi pemikiran, seni, dan spiritualitas kita. Dengan mata terbuka dan pikiran yang kritis, kita dapat terus belajar dari kitab-kitab tersembunyi ini, memperkaya pemahaman kita tentang sejarah iman dan warisan spiritual yang tak ternilai.