Timbangan Keadilan: Simbol universal kesetaraan dan imparsialitas dalam penegakan hukum.
Keadilan adalah salah satu konsep paling fundamental dan universal dalam peradaban manusia. Sejak zaman kuno, para filsuf, pemikir, dan pemimpin telah bergulat dengan pertanyaan tentang apa itu keadilan, bagaimana mewujudkannya, dan mengapa ia begitu penting bagi tatanan masyarakat yang harmonis. Asas keadilan bukan sekadar retorika kosong, melainkan fondasi kokoh yang menopang sistem hukum, etika, moralitas, dan struktur sosial kita. Tanpa asas keadilan, masyarakat akan jatuh ke dalam kekacauan, tirani, dan penderitaan yang tak berkesudahan. Artikel ini akan mengupas tuntas berbagai dimensi asas keadilan, mulai dari definisi dan konsep dasarnya, sejarah pemikirannya, jenis-jenis keadilan, perannya dalam hukum dan masyarakat, hingga tantangan dalam mewujudkannya.
I. Pendahuluan: Memahami Esensi Keadilan
Dalam setiap interaksi manusia, mulai dari hubungan personal hingga kebijakan negara, pencarian akan keadilan selalu hadir sebagai motif yang mendalam. Keadilan seringkali diidentikkan dengan kesetaraan, imparsialitas, kejujuran, dan perlakuan yang semestinya. Namun, definisi keadilan jauh lebih kompleks dan berlapis. Ia bukan hanya tentang memberi setiap orang apa yang menjadi haknya, tetapi juga tentang menciptakan kondisi di mana hak-hak tersebut dapat dinikmati secara merata, memastikan bahwa tidak ada pihak yang dirugikan secara tidak semestinya, dan memperbaiki ketidakadilan yang telah terjadi.
Asas keadilan merupakan prinsip-prinsip dasar yang menjadi panduan dalam pengambilan keputusan, pembentukan norma, dan penegakan hukum. Prinsip-prinsip ini berakar pada keyakinan mendasar bahwa setiap individu memiliki nilai intrinsik dan berhak diperlakukan dengan hormat dan martabat. Di berbagai kebudayaan dan era, meskipun manifestasi keadilan bisa berbeda, inti dari keinginan untuk hidup dalam masyarakat yang adil tetaplah konstan. Ia adalah cita-cita yang tak pernah usai diperjuangkan, sebuah kompas moral yang membimbing perjalanan kolektif umat manusia.
II. Definisi dan Konsep Dasar Keadilan
Mendefinisikan keadilan secara tunggal adalah tugas yang hampir mustahil, mengingat banyaknya interpretasi dan nuansa yang melekat padanya. Namun, beberapa konsep inti selalu muncul dalam diskusi tentang keadilan.
2.1. Keadilan dari Perspektif Filosofis
Filsafat telah lama menjadi arena utama untuk menjelajahi konsep keadilan. Sejak zaman Yunani kuno, para filsuf telah mencoba merumuskan prinsip-prinsip yang mengatur distribusi sumber daya, hak, dan kewajiban dalam masyarakat.
- Plato: Dalam karyanya "Republik," Plato memandang keadilan sebagai harmoni. Bagi individu, keadilan adalah ketika setiap bagian jiwa (rasio, semangat, nafsu) menjalankan fungsinya dengan benar dan harmonis. Bagi negara, keadilan adalah ketika setiap kelas masyarakat (penguasa-filsuf, prajurit, pekerja) menjalankan tugasnya masing-masing tanpa mengganggu yang lain. Keadilan, menurut Plato, adalah kebajikan tertinggi yang memungkinkan semua kebajikan lainnya berkembang.
- Aristoteles: Berbeda dengan Plato, Aristoteles dalam "Etika Nicomachean" melihat keadilan lebih sebagai kebajikan sosial yang berkaitan dengan hubungan antarmanusia. Ia membedakan antara keadilan distributif (pembagian barang dan kehormatan sesuai jasa atau kelayakan) dan keadilan korektif/retributif (perbaikan ketidakseimbangan yang terjadi akibat transaksi atau kejahatan). Keadilan bagi Aristoteles adalah "memberi setiap orang apa yang menjadi haknya" (suum cuique tribuere).
- Immanuel Kant: Bagi Kant, keadilan sangat erat kaitannya dengan imperatif kategoris dan moralitas. Ia menekankan pentingnya otonomi individu dan gagasan bahwa setiap orang harus diperlakukan sebagai tujuan pada dirinya sendiri, bukan sekadar alat. Prinsip universalitas tindakan, di mana suatu tindakan hanya adil jika dapat diberlakukan sebagai hukum universal tanpa kontradiksi, adalah inti dari pemikiran keadilan Kantian.
- John Rawls: Salah satu filsuf keadilan modern yang paling berpengaruh. Dalam "A Theory of Justice," Rawls mengusulkan "keadilan sebagai kewajaran" (justice as fairness) yang didasarkan pada dua prinsip: kesetaraan hak dasar dan prinsip perbedaan (ketidaksetaraan sosial-ekonomi harus menguntungkan anggota masyarakat yang paling tidak beruntung dan melekat pada posisi yang terbuka bagi semua). Konsep ini akan dibahas lebih mendalam nanti.
2.2. Keadilan dari Perspektif Hukum
Dalam konteks hukum, keadilan adalah tujuan utama yang ingin dicapai melalui sistem peradilan. Hukum dirancang untuk menegakkan keadilan dengan menetapkan aturan yang jelas, mekanisme penyelesaian sengketa, dan sanksi bagi pelanggaran.
- Prinsip Kedaulatan Hukum (Rule of Law): Keadilan hukum mengharuskan bahwa semua orang, termasuk pemerintah, tunduk pada hukum yang sama dan diperlakukan setara di hadapan hukum. Tidak ada yang kebal hukum, dan hukum harus ditegakkan secara imparsial.
- Due Process of Law (Proses Hukum yang Adil): Ini adalah jaminan bahwa setiap individu yang berinteraksi dengan sistem peradilan akan diberikan hak-hak fundamentalnya, seperti hak untuk didengar, hak atas pembelaan, hak atas persidangan yang adil, dan hak untuk tidak disiksa. Proses yang adil adalah kunci untuk mencapai hasil yang adil.
- Imparsialitas: Hakim dan penegak hukum harus bertindak tanpa prasangka atau keberpihakan, hanya berdasarkan fakta dan hukum yang berlaku.
2.3. Keadilan dari Perspektif Sosial
Keadilan sosial berfokus pada distribusi kekayaan, peluang, dan hak istimewa dalam masyarakat. Ini adalah tentang memastikan bahwa semua anggota masyarakat memiliki akses yang setara terhadap kebutuhan dasar, pendidikan, pekerjaan, dan partisipasi politik, terlepas dari latar belakang mereka.
- Kesetaraan Kesempatan: Setiap orang harus memiliki kesempatan yang sama untuk berhasil dalam hidup, terlepas dari status sosial-ekonomi atau kondisi kelahirannya.
- Distribusi yang Adil: Bukan berarti semua harus sama, tetapi perbedaan dalam distribusi harus dapat dibenarkan dan tidak merugikan kelompok yang paling rentan.
- Penghapusan Diskriminasi: Keadilan sosial menuntut penghapusan segala bentuk diskriminasi berdasarkan ras, etnis, gender, agama, orientasi seksual, atau disabilitas.
III. Sejarah Pemikiran Asas Keadilan
Perjalanan konsep keadilan adalah refleksi dari evolusi peradaban manusia. Dari mitologi kuno hingga teori modern yang kompleks, setiap era dan budaya telah menyumbangkan pemahaman unik tentang apa yang adil dan bagaimana mencapainya.
3.1. Keadilan di Dunia Kuno
- Mesopotamia dan Hukum Hamurabi: Salah satu kode hukum tertua yang diketahui (sekitar 1754 SM) dari Babilonia, Kode Hamurabi, memuat prinsip "mata ganti mata, gigi ganti gigi" (lex talionis). Meskipun terdengar brutal, pada masanya, ini adalah upaya untuk membatasi pembalasan pribadi dan menegakkan suatu bentuk keadilan retributif yang proporsional. Ia juga menetapkan harga untuk berbagai pelanggaran dan ganti rugi, menunjukkan bentuk awal keadilan komutatif.
- Mesir Kuno dan Ma'at: Konsep Ma'at dalam kebudayaan Mesir Kuno melambangkan kebenaran, keadilan, keseimbangan, ketertiban, dan harmoni kosmis. Firaun diharapkan memerintah sesuai dengan Ma'at, dan jiwa-jiwa akan ditimbang di hadapan Ma'at di alam baka. Ini menunjukkan pemahaman keadilan yang melampaui ranah hukum positif, menyentuh dimensi moral dan spiritual.
- Yunani Kuno (Plato dan Aristoteles): Seperti yang telah disinggung, pemikiran keadilan Yunani Kuno menjadi fondasi bagi filsafat Barat. Plato dengan idealisme keadilannya yang harmonis, dan Aristoteles dengan analisisnya yang pragmatis tentang keadilan distributif dan korektif, membentuk kerangka dasar diskusi keadilan selama berabad-abad.
- Roma Kuno dan Iustitia: Kekaisaran Romawi mewarisi banyak pemikiran Yunani dan mengembangkannya dalam sistem hukum yang sangat canggih. Konsep Iustitia (Dewi Keadilan) dengan timbangan dan mata tertutup melambangkan imparsialitas dan perlakuan setara di hadapan hukum. Hukum Romawi, khususnya di bawah Yustinianus, sangat memengaruhi perkembangan hukum di seluruh Eropa dan dunia.
3.2. Abad Pertengahan dan Keadilan Teologis
Pada abad pertengahan, pemikiran keadilan sangat dipengaruhi oleh teologi Kristen. Tokoh-tokoh seperti St. Agustinus dan St. Thomas Aquinas mencoba menyelaraskan hukum positif manusia dengan hukum ilahi dan hukum alam.
- St. Agustinus: Dalam "Kota Tuhan," Agustinus berpendapat bahwa keadilan sejati hanya ditemukan dalam Kerajaan Tuhan. Keadilan di dunia ini hanyalah refleksi yang tidak sempurna. Ia mengaitkan keadilan dengan cinta kasih dan ketaatan pada kehendak Tuhan.
- St. Thomas Aquinas: Mengintegrasikan pemikiran Aristoteles dengan teologi Kristen. Aquinas membedakan antara hukum abadi (kehendak Tuhan), hukum alam (partisipasi manusia dalam hukum abadi melalui akal), hukum manusia (hukum positif yang dibuat oleh negara), dan hukum ilahi (wahyu). Bagi Aquinas, hukum manusia hanya sah jika sesuai dengan hukum alam, yang pada gilirannya mencerminkan keadilan ilahi. Ia juga menguraikan kembali keadilan distributif dan komutatif dalam kerangka etika Kristen.
3.3. Era Pencerahan dan Kontrak Sosial
Abad Pencerahan membawa pergeseran signifikan dalam pemikiran keadilan, menekankan hak-hak individu, rasionalitas, dan kontrak sosial sebagai dasar legitimasi pemerintahan.
- Thomas Hobbes: Dalam "Leviathan," Hobbes berpendapat bahwa dalam "keadaan alamiah," hidup adalah "soliter, miskin, jahat, brutal, dan singkat." Untuk menghindari kekacauan ini, individu menyerahkan sebagian kebebasan mereka kepada penguasa yang absolut (Leviathan) melalui kontrak sosial, demi keamanan dan ketertiban. Keadilan, dalam pandangan Hobbes, adalah menaati perjanjian ini.
- John Locke: Locke, dalam "Two Treatises of Government," mengemukakan bahwa individu memiliki hak-hak alamiah yang tak dapat dicabut, seperti hak atas hidup, kebebasan, dan properti. Pemerintah dibentuk melalui kontrak sosial untuk melindungi hak-hak ini. Keadilan adalah memastikan perlindungan hak-hak tersebut dan bahwa pemerintah memerintah dengan persetujuan yang diperintah. Jika pemerintah gagal, rakyat berhak memberontak.
- Jean-Jacques Rousseau: Dalam "The Social Contract," Rousseau berpendapat bahwa masyarakat sipil harus didasarkan pada "kehendak umum" (general will), yang mewakili kepentingan kolektif seluruh warga negara. Keadilan tercapai ketika hukum-hukum mencerminkan kehendak umum ini dan memastikan kebebasan dan kesetaraan semua warga.
- Immanuel Kant: Seperti yang disebutkan, Kant menekankan otonomi moral dan martabat setiap individu. Keadilan, baginya, adalah prinsip universal yang dapat diterapkan secara rasional, di mana setiap orang diperlakukan sebagai tujuan, bukan alat.
3.4. Keadilan Modern dan Kontemporer
Abad ke-20 dan ke-21 menyaksikan munculnya teori-teori keadilan yang lebih kompleks, merespons tantangan masyarakat industri dan pasca-industri.
- Utilitarianisme: Dipelopori oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill, utilitarianisme mendefinisikan keadilan sebagai tindakan atau kebijakan yang menghasilkan "kebahagiaan terbesar bagi jumlah terbesar." Keadilan diukur dari konsekuensinya. Meskipun populer, ia dikritik karena berpotensi mengorbankan hak-hak minoritas demi kepentingan mayoritas.
- John Rawls: Teori "keadilan sebagai kewajaran" dari Rawls (1971) menjadi titik balik dalam filsafat politik. Ia mengusulkan bahwa prinsip-prinsip keadilan harus dipilih dari "posisi asli" di balik "selubung ketidaktahuan" (veil of ignorance), di mana individu tidak mengetahui posisi mereka dalam masyarakat. Ini akan memastikan pilihan yang adil dan imparsial.
- Robert Nozick: Sebagai respons terhadap Rawls, Nozick dalam "Anarchy, State, and Utopia" (1974) mengajukan teori keadilan berdasarkan hak kepemilikan (entitlement theory). Ia berpendapat bahwa distribusi kekayaan adalah adil jika dihasilkan dari akuisisi awal yang adil, transfer yang adil (misalnya, perdagangan sukarela), dan koreksi ketidakadilan sebelumnya. Nozick sangat menekankan kebebasan individu dan peran minimal negara.
- Amartya Sen: Dalam "The Idea of Justice" (2009), Sen mengkritik fokus Rawls pada institusi ideal dan sebaliknya menekankan "realisasi keadilan" yang berfokus pada apa yang sebenarnya dapat dilakukan dan dicapai individu (kapabilitas). Ia berpendapat bahwa kita harus fokus pada pengurangan ketidakadilan yang nyata daripada mengejar model keadilan yang sempurna.
IV. Jenis-Jenis Keadilan
Untuk memahami asas keadilan secara komprehensif, penting untuk membedakan berbagai jenis keadilan yang diidentifikasi oleh para pemikir.
4.1. Keadilan Distributif (Distributive Justice)
Keadilan distributif berkaitan dengan pembagian sumber daya, kekayaan, hak, dan kewajiban dalam masyarakat. Ini adalah tentang bagaimana "kue" sosial dibagi di antara para anggota masyarakat. Prinsip-prinsip yang mungkin mendasari distribusi ini meliputi:
- Kesetaraan (Equality): Setiap orang menerima bagian yang sama, terlepas dari kebutuhan atau kontribusi. Contoh: hak suara universal.
- Kebutuhan (Need): Sumber daya didistribusikan sesuai dengan kebutuhan individu. Contoh: bantuan sosial untuk keluarga miskin, layanan kesehatan gratis.
- Jasa/Kontribusi (Merit/Contribution): Individu yang berkontribusi lebih banyak atau memiliki kualifikasi lebih tinggi menerima bagian yang lebih besar. Contoh: gaji berdasarkan keahlian atau produktivitas.
- Peluang (Opportunity): Setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan sumber daya atau posisi, meskipun hasil akhirnya mungkin berbeda. Ini sering disebut "kesetaraan kesempatan."
John Rawls adalah salah satu pendukung utama keadilan distributif modern, dengan prinsip perbedaannya yang memastikan bahwa ketidaksetaraan hanya dibenarkan jika menguntungkan yang paling tidak beruntung.
4.2. Keadilan Komutatif (Commutative Justice)
Keadilan komutatif atau keadilan tukar menukar berkaitan dengan keadilan dalam transaksi dan perjanjian sukarela antara individu atau pihak. Ini memastikan bahwa pertukaran barang atau jasa dilakukan secara adil dan setara.
- Kesetaraan Nilai: Nilai barang atau jasa yang ditukarkan harus setara. Misalnya, harga yang dibayarkan untuk suatu barang harus sesuai dengan nilai pasar atau kualitas barang tersebut.
- Kejujuran dalam Kontrak: Semua pihak harus bertindak jujur dan tidak ada penipuan atau paksaan.
- Ganti Rugi: Jika terjadi kerusakan atau kerugian akibat transaksi yang tidak adil, harus ada kompensasi yang sesuai.
Contoh paling jelas adalah dalam kontrak jual beli, sewa-menyewa, atau perjanjian kerja, di mana kedua belah pihak diharapkan mendapatkan nilai yang seimbang dari pertukaran tersebut.
4.3. Keadilan Retributif (Retributive Justice)
Keadilan retributif berfokus pada pemberian hukuman yang pantas bagi pelanggaran hukum. Ini adalah tentang memastikan bahwa pelaku kejahatan menerima sanksi yang proporsional dengan beratnya pelanggaran yang mereka lakukan.
- Proporsionalitas: Hukuman harus sebanding dengan kejahatan. Hukuman yang terlalu ringan tidak dianggap adil karena tidak mengakui beratnya kejahatan, sementara hukuman yang terlalu berat juga tidak adil karena melampaui batas proporsionalitas.
- Keterikatan Moral: Ada keyakinan bahwa orang yang melakukan kesalahan harus menanggung konsekuensinya sebagai bentuk penebusan atau ganti rugi moral kepada masyarakat dan korban.
- Mencegah Pembalasan Pribadi: Sistem keadilan retributif modern bertujuan untuk menggantikan pembalasan pribadi dengan sanksi yang dilembagakan oleh negara, sehingga mencegah siklus kekerasan.
Prinsip "mata ganti mata" dari Kode Hamurabi adalah contoh kuno keadilan retributif, meskipun interpretasi modern lebih menekankan pada hukuman yang proporsional dan tidak selalu literal.
4.4. Keadilan Prosedural (Procedural Justice)
Keadilan prosedural berkaitan dengan keadilan dalam proses pengambilan keputusan dan penegakan hukum. Fokusnya bukan pada hasil akhir, melainkan pada apakah prosedur yang digunakan untuk mencapai hasil tersebut adil dan imparsial.
- Imparsialitas: Proses harus bebas dari prasangka dan bias. Semua pihak harus diperlakukan sama oleh prosedur yang berlaku.
- Konsistensi: Prosedur harus diterapkan secara konsisten pada semua kasus serupa.
- Keterwakilan: Pihak-pihak yang terlibat harus memiliki kesempatan untuk menyampaikan pandangan mereka dan didengarkan.
- Transparansi: Proses harus terbuka dan dapat dipahami oleh semua pihak yang terlibat.
- Akurasi: Prosedur harus dirancang untuk menghasilkan informasi yang akurat dan keputusan yang benar.
Dalam sistem peradilan, due process of law adalah inti dari keadilan prosedural. Bahkan jika hasil akhirnya mungkin tidak menguntungkan suatu pihak, jika prosesnya dilakukan secara adil, legitimasi putusan akan lebih tinggi.
4.5. Keadilan Korektif (Corrective Justice)
Keadilan korektif, kadang tumpang tindih dengan keadilan retributif, secara khusus berfokus pada upaya untuk memperbaiki ketidakadilan yang telah terjadi. Ini adalah tentang mengembalikan keseimbangan yang terganggu oleh suatu pelanggaran atau kerugian.
- Restitusi: Mengembalikan harta benda atau nilai yang diambil secara tidak sah.
- Kompensasi: Pembayaran ganti rugi kepada korban atas kerugian yang diderita.
- Rehabilitasi: Upaya untuk mengembalikan pelaku kejahatan menjadi anggota masyarakat yang produktif, atau untuk membantu korban pulih dari trauma.
- Restorasi: Mengembalikan hubungan yang rusak antara pelaku, korban, dan komunitas (sering disebut keadilan restoratif).
Tujuan utama keadilan korektif adalah untuk mengembalikan situasi ke kondisi sebelumnya sejauh mungkin atau untuk memberikan kompensasi yang layak atas kerugian yang tidak dapat diperbaiki.
V. Asas Keadilan dalam Hukum Positif Indonesia
Di Indonesia, asas keadilan bukan hanya konsep filosofis, tetapi juga tertanam kuat dalam konstitusi dan sistem hukum. Pancasila sebagai dasar negara menempatkan keadilan sebagai salah satu pilar utamanya.
5.1. Keadilan dalam Pancasila dan UUD 1945
Sila kelima Pancasila, "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia," adalah manifestasi paling eksplisit dari komitmen bangsa terhadap keadilan. Ini bukan hanya tentang keadilan individu, tetapi tentang keadilan yang bersifat komprehensif dan merata bagi seluruh lapisan masyarakat.
- Keadilan Sosial: Sila kelima menekankan distribusi yang merata atas hasil pembangunan, perlindungan bagi yang lemah, dan penghapusan kesenjangan sosial-ekonomi. Ini mencakup aspek-aspek keadilan distributif dan juga korektif.
- Nilai-nilai Kemanusiaan: Sila kedua, "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab," menegaskan bahwa perlakuan adil harus berlandaskan pada martabat dan hak asasi manusia.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) secara eksplisit menjamin asas-asas keadilan dalam berbagai pasalnya:
- Pasal 27 ayat (1): "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya." Ini adalah fondasi dari prinsip kesetaraan di hadapan hukum.
- Pasal 28D ayat (1): "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum." Ayat ini secara langsung menegaskan hak atas keadilan dan perlakuan yang setara.
- Pasal 28I ayat (2): "Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu." Ini adalah jaminan konkret terhadap keadilan sosial dan nondiskriminasi.
- Pasal 28G ayat (1): "Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi." Perlindungan ini adalah bagian integral dari keadilan.
- Pasal 24 ayat (1): "Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan." Ini menunjukkan peran sentral lembaga peradilan dalam menegakkan keadilan.
5.2. Asas-Asas Peradilan yang Adil di Indonesia
Sistem peradilan di Indonesia dibangun di atas beberapa asas fundamental untuk memastikan terwujudnya keadilan prosedural dan substantif:
- Asas Independensi Kekuasaan Kehakiman: Hakim harus bebas dari pengaruh atau tekanan dari pihak mana pun (eksekutif, legislatif, atau lainnya) dalam membuat keputusan. Independensi ini adalah prasyarat mutlak bagi keadilan.
- Asas Imparsialitas Hakim: Hakim harus bersikap netral dan tidak memihak dalam memutus perkara. Mereka hanya boleh mendasarkan putusan pada fakta dan hukum yang berlaku, tanpa prasangka pribadi.
- Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan: Ini bertujuan agar masyarakat dapat mengakses keadilan tanpa terbebani oleh proses yang berlarut-larut dan biaya yang mahal.
- Asas Terbuka untuk Umum: Persidangan pada umumnya harus bersifat terbuka, kecuali dalam kasus-kasus tertentu (misalnya, perkara asusila atau anak) untuk melindungi privasi atau kepentingan publik. Keterbukaan ini menjamin akuntabilitas dan transparansi.
- Asas Praduga Tak Bersalah (Presumption of Innocence): Setiap orang dianggap tidak bersalah sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan kesalahannya. Ini adalah perlindungan fundamental terhadap penangkapan dan penahanan sewenang-wenang.
- Asas Hak untuk Didampingi Penasihat Hukum: Setiap orang yang terjerat masalah hukum memiliki hak untuk didampingi oleh pengacara, terutama dalam kasus pidana. Ini menjamin keseimbangan kekuatan dan akses ke proses hukum yang adil.
- Asas Non-retroaktif: Suatu perbuatan tidak dapat dihukum berdasarkan undang-undang yang baru dibuat setelah perbuatan itu dilakukan. Ini memberikan kepastian hukum dan mencegah penegakan hukum yang sewenang-wenang.
- Asas Equality Before the Law (Persamaan di Hadapan Hukum): Tidak ada perbedaan perlakuan hukum berdasarkan suku, agama, ras, antargolongan, jenis kelamin, status sosial, atau status politik. Semua warga negara adalah sama di mata hukum.
VI. Filosofi Mendalam tentang Keadilan: Rawls, Sen, dan Nozick
Untuk memahami kompleksitas asas keadilan, kita perlu menyelami perdebatan sengit antara para filsuf modern yang telah membentuk pemikiran kontemporer tentang topik ini. John Rawls, Amartya Sen, dan Robert Nozick mewakili tiga pendekatan yang sangat berbeda namun sama-sama berpengaruh.
6.1. John Rawls dan Keadilan sebagai Kewajaran (Justice as Fairness)
John Rawls, dalam karyanya yang monumental "A Theory of Justice" (1971), merevolusi pemikiran politik dan filsafat moral dengan mengusulkan teori keadilan yang berdasarkan pada konsep "kontrak sosial hipotetis."
6.1.1. Posisi Asli dan Selubung Ketidaktahuan
Rawls membayangkan suatu eksperimen pemikiran di mana individu-individu yang rasional dan mementingkan diri sendiri berkumpul untuk merancang prinsip-prinsip keadilan yang akan mengatur masyarakat mereka. Kondisi unik dari eksperimen ini adalah "posisi asli" (original position), di mana para perancang berada di balik "selubung ketidaktahuan" (veil of ignorance).
- Posisi Asli: Ini adalah kondisi hipotetis di mana individu berada dalam keadaan setara secara moral. Mereka tidak memiliki informasi tentang status sosial mereka, kekayaan, bakat alami (kecerdasan, kekuatan fisik), ras, gender, agama, atau bahkan konsep kebaikan mereka sendiri. Mereka juga tidak tahu tentang generasi mana mereka akan hidup.
- Selubung Ketidaktahuan: Fungsi selubung ini adalah untuk menghilangkan semua bias dan kepentingan pribadi yang mungkin memengaruhi pilihan prinsip keadilan. Karena tidak ada yang tahu bagaimana mereka akan berakhir di masyarakat (apakah mereka kaya atau miskin, pintar atau kurang pintar, sehat atau sakit), mereka akan cenderung memilih prinsip-prinsip yang adil bagi semua, karena mereka sendiri bisa saja menjadi yang paling tidak beruntung.
Rawls berpendapat bahwa dalam kondisi ini, individu akan memilih prinsip-prinsip keadilan yang menjamin hak-hak dasar yang setara dan juga mengatur ketidaksetaraan sosial-ekonomi sedemikian rupa sehingga menguntungkan mereka yang paling tidak beruntung.
6.1.2. Dua Prinsip Keadilan Rawls
Dari posisi asli di balik selubung ketidaktahuan, Rawls meyakini bahwa individu akan memilih dua prinsip keadilan utama, yang disusun dalam urutan leksikal (prinsip pertama harus dipenuhi sebelum prinsip kedua dapat dipertimbangkan):
- Prinsip Kebebasan yang Sama (Equal Liberty Principle):
"Setiap orang harus memiliki hak yang setara atas skema kebebasan dasar yang paling luas yang kompatibel dengan skema kebebasan serupa untuk orang lain."
Prinsip ini menegaskan bahwa setiap warga negara memiliki serangkaian hak-hak dasar yang sama dan tak dapat diganggu gugat, seperti kebebasan politik (hak memilih dan dipilih), kebebasan berbicara dan berkumpul, kebebasan berfikir dan beragama, kebebasan pribadi (termasuk hak atas kepemilikan pribadi), dan hak atas integritas pribadi. Kebebasan ini bersifat non-negosiabel dan tidak boleh ditukar demi keuntungan sosial atau ekonomi.
- Prinsip Perbedaan (Difference Principle) dan Kesetaraan Kesempatan yang Adil (Fair Equality of Opportunity):
"Ketidaksetaraan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga keduanya: (a) paling menguntungkan anggota masyarakat yang paling tidak diuntungkan (Prinsip Perbedaan); dan (b) melekat pada posisi dan jabatan yang terbuka bagi semua orang di bawah kondisi kesetaraan kesempatan yang adil (Prinsip Kesetaraan Kesempatan yang Adil)."
- Prinsip Perbedaan: Ini adalah inti dari gagasan keadilan distributif Rawls. Ia menerima bahwa ketidaksetaraan ekonomi dan sosial mungkin ada, tetapi hanya jika ketidaksetaraan tersebut secara khusus menguntungkan mereka yang berada di posisi paling bawah dalam masyarakat. Misalnya, insentif finansial yang tinggi untuk dokter atau inovator dapat dibenarkan jika hal itu pada akhirnya menghasilkan layanan kesehatan yang lebih baik atau kemajuan teknologi yang menguntungkan semua, terutama yang paling membutuhkan.
- Kesetaraan Kesempatan yang Adil: Prinsip ini lebih dari sekadar kesetaraan kesempatan formal (yaitu, hukum tidak melarang siapa pun untuk melamar pekerjaan tertentu). Ini menuntut bahwa individu dengan bakat dan motivasi yang sama harus memiliki kesempatan yang sama untuk berhasil, terlepas dari latar belakang sosial-ekonomi mereka. Ini berarti masyarakat harus berinvestasi dalam pendidikan berkualitas dan menghilangkan hambatan sosial yang menghalangi mobilitas sosial.
Teori Rawls sangat berpengaruh karena menawarkan model yang kuat untuk masyarakat yang adil, yang menyeimbangkan kebebasan individu dengan kebutuhan untuk mengatasi ketidaksetaraan sosial.
6.2. Amartya Sen dan Gagasan Keadilan (The Idea of Justice)
Amartya Sen, seorang ekonom dan filsuf India, menawarkan kritik dan alternatif terhadap pendekatan Rawls dalam bukunya "The Idea of Justice" (2009). Sen berpendapat bahwa fokus pada "institusi yang sempurna" (seperti yang dilakukan Rawls) mungkin tidak cukup untuk mencapai keadilan dalam dunia nyata.
6.2.1. Kritik terhadap Pendekatan Transendental Institusional
Sen menyebut pendekatan Rawls sebagai "transendental institusionalisme," yang berfokus pada identifikasi institusi yang 'benar-benar adil' untuk masyarakat. Sen berpendapat bahwa:
- Tidak Cukup untuk Memandu Perbaikan Nyata: Mengetahui seperti apa masyarakat yang "sepenuhnya adil" tidak serta-merta membantu kita untuk membuat pilihan yang lebih adil dalam situasi dunia nyata yang kompleks dan tidak sempurna.
- Pluralitas Keadilan: Ada banyak argumen yang sah tentang apa yang constitutes keadilan, dan tidak ada satu pun yang dapat disepakati secara universal sebagai yang terbaik.
- Fokus pada Realisasi, Bukan Hanya Institusi: Sen lebih tertarik pada "realisasi keadilan" (niti) yaitu bagaimana keadilan benar-benar terwujud dalam kehidupan orang-orang, bukan hanya pada aturan atau institusi formal (nyaya).
6.2.2. Pendekatan Kapabilitas (Capability Approach)
Sebagai alternatif, Sen mengusulkan "pendekatan kapabilitas." Daripada bertanya apakah institusi itu adil, Sen bertanya: "Apa yang benar-benar bisa dilakukan dan dicapai oleh orang-orang?"
- Fungsi (Functionings): Ini adalah 'keberadaan' (beings) dan 'perbuatan' (doings) yang dapat dicapai seseorang, seperti sehat, berpendidikan, mampu berpartisipasi dalam masyarakat, atau memiliki pekerjaan yang berarti.
- Kapabilitas (Capabilities): Ini adalah kebebasan substantif yang dimiliki seseorang untuk mencapai berbagai fungsi yang berharga. Ini bukan hanya tentang memiliki sumber daya (misalnya, uang), tetapi tentang memiliki kesempatan nyata untuk mengubah sumber daya tersebut menjadi kehidupan yang bermakna. Misalnya, seseorang yang memiliki kursi roda memiliki kapabilitas untuk bergerak, meskipun orang lain dengan jumlah uang yang sama mungkin tidak memilikinya jika mereka tidak cacat.
Menurut Sen, keadilan sosial harus dievaluasi berdasarkan kapabilitas nyata yang dimiliki individu untuk menjalani kehidupan yang mereka hargai. Kebijakan publik harus bertujuan untuk memperluas kapabilitas ini, terutama bagi mereka yang paling dirugikan. Ini adalah pendekatan yang lebih pragmatis dan berorientasi pada hasil, yang mengakui bahwa faktor-faktor seperti disabilitas, gender, atau lokasi geografis dapat sangat memengaruhi kemampuan individu untuk mengubah sumber daya menjadi kesejahteraan.
6.3. Robert Nozick dan Teori Hak Kepemilikan (Entitlement Theory)
Robert Nozick, dalam "Anarchy, State, and Utopia" (1974), menawarkan pandangan yang sangat berbeda dari Rawls, berakar kuat pada libertarianisme. Nozick menolak gagasan keadilan distributif yang direncanakan oleh negara, dan sebaliknya menekankan pentingnya hak-hak individu, terutama hak atas kepemilikan.
6.3.1. Negara Minimal (Minimal State)
Nozick berpendapat bahwa satu-satunya bentuk negara yang dapat dibenarkan secara moral adalah "negara minimal" atau "negara penjaga malam" (night-watchman state). Negara ini hanya memiliki fungsi yang sangat terbatas: melindungi warga negara dari kekerasan, pencurian, dan penipuan, serta menegakkan kontrak. Setiap fungsi yang lebih luas (seperti redistribusi kekayaan untuk mencapai keadilan sosial) adalah pelanggaran terhadap hak-hak individu.
6.3.2. Tiga Prinsip Teori Hak Kepemilikan
Bagi Nozick, keadilan dalam distribusi (atau "kepemilikan," seperti yang ia sebut) tidak diukur dari pola tertentu (misalnya, kesetaraan atau kebutuhan), tetapi dari sejarah bagaimana kepemilikan itu diperoleh dan ditransfer. Ada tiga prinsip utama:
- Prinsip Akuisisi yang Adil (Principle of Justice in Acquisition):
Bagaimana orang pertama kali memperoleh kepemilikan atas barang-barang yang belum dimiliki siapa pun. Akuisisi ini harus adil, tidak melanggar hak orang lain. Misalnya, jika seseorang menemukan sebidang tanah kosong dan mengolahnya tanpa merugikan orang lain, akuisisi itu adil.
- Prinsip Transfer yang Adil (Principle of Justice in Transfer):
Bagaimana kepemilikan dialihkan dari satu orang ke orang lain. Transfer ini harus melalui transaksi sukarela, seperti jual beli, hadiah, atau warisan. Selama transfer tersebut sukarela dan tidak ada penipuan atau paksaan, hasilnya adalah adil.
- Prinsip Koreksi Ketidakadilan (Principle of Rectification of Injustice):
Jika kepemilikan diperoleh atau dialihkan secara tidak adil di masa lalu (misalnya, melalui pencurian atau penipuan), maka harus ada mekanisme untuk mengoreksi ketidakadilan tersebut. Ini mungkin melibatkan pengembalian properti atau kompensasi kepada korban.
Nozick menolak teori-teori "keadilan berpola" (patterned theories of justice) yang mengklaim bahwa distribusi harus sesuai dengan pola tertentu (misalnya, "setiap orang sesuai kebutuhan," atau "kepada yang paling pantas"). Baginya, selama distribusi kekayaan muncul dari akuisisi dan transfer yang adil, hasilnya adalah adil, tidak peduli seberapa tidak setara distribusinya. Mengintervensi distribusi ini untuk mencapai pola tertentu adalah pelanggaran terhadap kebebasan individu.
Perdebatan antara Rawls, Sen, dan Nozick mencerminkan inti dari tantangan dalam memahami dan mewujudkan keadilan: bagaimana menyeimbangkan kebebasan individu dengan kesetaraan, bagaimana fokus pada proses atau pada hasil, dan sejauh mana negara harus campur tangan dalam distribusi kekayaan dan peluang.
VII. Tantangan dalam Mewujudkan Keadilan
Meskipun asas keadilan adalah cita-cita universal, mewujudkannya dalam praktiknya adalah tugas yang penuh tantangan. Banyak faktor, baik internal maupun eksternal, dapat menghambat tercapainya masyarakat yang adil.
7.1. Disparitas Ekonomi dan Sosial
Kesenjangan kekayaan dan pendapatan yang ekstrem dapat menjadi penghalang utama bagi keadilan. Ketika sebagian kecil masyarakat menguasai sebagian besar sumber daya, akses terhadap pendidikan, kesehatan, perumahan, dan peluang kerja menjadi tidak merata. Ini menciptakan lingkaran setan kemiskinan dan ketidakadilan yang sulit diputus.
- Akses yang Tidak Sama: Individu dari latar belakang ekonomi yang kurang beruntung seringkali tidak memiliki akses yang sama terhadap pendidikan berkualitas, layanan kesehatan, atau bahkan representasi hukum yang memadai.
- Mobilitas Sosial Rendah: Kesenjangan ini mengurangi mobilitas sosial, di mana anak-anak dari keluarga miskin cenderung tetap miskin, sementara anak-anak dari keluarga kaya cenderung tetap kaya, terlepas dari bakat atau usaha mereka.
7.2. Korupsi dan Penegakan Hukum yang Lemah
Korupsi adalah musuh utama keadilan. Ketika kekuasaan disalahgunakan untuk keuntungan pribadi, proses hukum menjadi bias, dan sumber daya publik dialihkan dari pelayanan masyarakat. Penegakan hukum yang lemah atau diskriminatif memungkinkan pelaku kejahatan (terutama yang berkuasa atau kaya) untuk lolos dari hukuman, sementara yang lemah dan miskin rentan terhadap ketidakadilan.
- Pembelian Keadilan: Korupsi dapat mengubah keadilan menjadi komoditas yang dapat dibeli oleh mereka yang memiliki uang dan kekuasaan.
- Erosi Kepercayaan Publik: Korupsi mengikis kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara dan sistem peradilan, yang penting untuk legitimasi dan stabilitas sosial.
7.3. Bias Sosial, Diskriminasi, dan Prejudis
Prasangka dan diskriminasi berdasarkan ras, etnis, agama, gender, orientasi seksual, atau disabilitas masih menjadi masalah serius di banyak masyarakat. Ini dapat menyebabkan perlakuan tidak adil dalam pekerjaan, pendidikan, perumahan, dan di hadapan hukum.
- Diskriminasi Struktural: Bentuk diskriminasi yang tersembunyi dalam struktur institusi dan kebijakan, yang mungkin tidak disengaja tetapi menghasilkan hasil yang tidak setara bagi kelompok-kelompok tertentu.
- Prejudis Bawah Sadar: Bias yang tidak disadari dapat memengaruhi keputusan hakim, polisi, perekrut, dan individu lainnya, mengarah pada hasil yang tidak adil.
7.4. Akses Terhadap Keadilan (Access to Justice)
Akses terhadap keadilan bukan hanya tentang memiliki pengadilan, tetapi tentang kemampuan setiap individu untuk menggunakan sistem hukum untuk melindungi hak-hak mereka dan menyelesaikan sengketa. Banyak hambatan yang dapat membatasi akses ini:
- Biaya: Biaya pengacara, biaya perkara, dan biaya-biaya lain bisa menjadi penghalang besar bagi mereka yang tidak mampu.
- Informasi: Kurangnya pengetahuan tentang hak-hak hukum atau cara kerja sistem peradilan.
- Geografis: Lokasi geografis dan ketersediaan layanan hukum di daerah terpencil.
- Bahasa dan Budaya: Hambatan bahasa atau perbedaan budaya yang membuat proses hukum sulit dipahami atau dinavigasi.
7.5. Konflik Nilai dan Interpretasi Keadilan
Masyarakat seringkali memiliki pandangan yang berbeda tentang apa yang merupakan keadilan. Misalnya, sebagian mungkin menekankan kebebasan individu sepenuhnya (Nozick), sementara yang lain mungkin memprioritaskan kesetaraan hasil (sosialisme) atau perlindungan bagi yang paling rentan (Rawls). Konflik nilai-nilai ini dapat mempersulit pembentukan konsensus tentang kebijakan yang adil.
- Keadilan Retributif vs. Restoratif: Apakah tujuan hukuman adalah balas dendam/penjeraan, atau rehabilitasi dan pemulihan hubungan?
- Keadilan Individual vs. Kolektif: Sejauh mana hak-hak individu dapat dibatasi demi kebaikan kolektif?
7.6. Perkembangan Teknologi dan Isu Keadilan Baru
Perkembangan teknologi menciptakan tantangan baru bagi asas keadilan:
- Keadilan Algoritma: Penggunaan algoritma dalam pengambilan keputusan (misalnya, untuk penilaian kredit, prediksi kejahatan, atau perekrutan) dapat mewarisi bias dari data pelatihan, menyebabkan hasil yang diskriminatif dan tidak adil.
- Privasi Data: Perlindungan data pribadi menjadi isu keadilan yang krusial, terutama dengan maraknya pengumpulan dan penggunaan data oleh perusahaan dan pemerintah.
- Keadilan Digital: Kesenjangan akses terhadap teknologi digital ("digital divide") dapat memperburuk ketidakadilan sosial dan ekonomi yang sudah ada.
VIII. Peran Masyarakat dan Negara dalam Mewujudkan Keadilan
Mewujudkan asas keadilan adalah tanggung jawab bersama antara negara dan masyarakat. Keduanya harus berperan aktif dan saling mendukung untuk menciptakan tatanan yang lebih adil.
8.1. Peran Negara
Negara memiliki peran sentral dan krusial dalam menetapkan kerangka hukum, institusi, dan kebijakan yang mendukung keadilan.
- Pembentukan Hukum yang Adil: Pemerintah dan legislatif harus merumuskan undang-undang yang non-diskriminatif, melindungi hak-hak dasar, dan mendistribusikan sumber daya serta kewajiban secara adil.
- Penegakan Hukum yang Imparsial: Lembaga kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan harus berfungsi secara independen, transparan, dan tanpa keberpihakan, memastikan bahwa hukum ditegakkan untuk semua tanpa pandang bulu.
- Penyediaan Akses Terhadap Keadilan: Negara harus memastikan bahwa semua warga negara, terutama yang miskin dan rentan, memiliki akses terhadap bantuan hukum, informasi hukum, dan proses peradilan yang terjangkau.
- Kebijakan Publik yang Berbasis Keadilan Sosial: Pemerintah harus merancang dan mengimplementasikan kebijakan yang mengurangi kesenjangan ekonomi, meningkatkan kesempatan pendidikan dan kesehatan bagi semua, serta melindungi kelompok minoritas dan marjinal. Contohnya adalah program bantuan sosial, subsidi pendidikan, atau jaminan kesehatan.
- Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi: Negara harus memiliki komitmen kuat untuk memberantas korupsi di semua tingkatan, karena korupsi adalah salah satu penghalang terbesar bagi keadilan.
- Pendidikan dan Sosialisasi Hukum: Pemerintah perlu mengedukasi masyarakat tentang hak-hak dan kewajiban hukum mereka, serta pentingnya supremasi hukum.
8.2. Peran Masyarakat
Masyarakat sipil, individu, dan komunitas juga memegang peranan penting dalam mendorong dan mengawasi terwujudnya keadilan.
- Pengawasan dan Akuntabilitas: Organisasi masyarakat sipil (CSO), media, dan individu harus berperan aktif dalam mengawasi kinerja pemerintah dan lembaga peradilan, serta menuntut akuntabilitas atas pelanggaran keadilan.
- Advokasi dan Pemberdayaan: Lembaga bantuan hukum dan organisasi advokasi dapat membantu kelompok-kelompok yang termarginalisasi untuk memahami dan memperjuangkan hak-hak mereka.
- Pendidikan dan Kesadaran: Masyarakat perlu dididik tentang pentingnya keadilan, toleransi, dan nondiskriminasi. Pendidikan moral dan etika sejak dini dapat menanamkan nilai-nilai keadilan.
- Partisipasi Aktif: Warga negara harus berpartisipasi dalam proses demokrasi, memilih pemimpin yang berkomitmen pada keadilan, dan menyuarakan aspirasi mereka melalui berbagai saluran.
- Membangun Budaya Keadilan: Keadilan harus dimulai dari unit terkecil masyarakat, yaitu keluarga dan komunitas. Mendidik anak-anak tentang empati, kejujuran, dan perlakuan adil adalah fondasi yang kuat.
- Penyelesaian Sengketa Alternatif: Mendorong mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan, seperti mediasi atau arbitrase, yang seringkali lebih cepat, murah, dan dapat menjaga hubungan baik antarpihak.
- Inisiatif Keadilan Restoratif: Masyarakat dapat mendukung dan berpartisipasi dalam program keadilan restoratif yang berfokus pada perbaikan kerugian, rekonsiliasi, dan reintegrasi, daripada hanya hukuman.
Sinergi antara negara yang kuat dan responsif dengan masyarakat yang aktif dan kritis adalah kunci untuk terus bergerak maju dalam upaya mewujudkan asas keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
IX. Kesimpulan
Asas keadilan adalah landasan fundamental bagi setiap masyarakat yang ingin mencapai perdamaian, stabilitas, dan kesejahteraan. Dari pemikiran Plato dan Aristoteles di zaman kuno hingga teori kompleks John Rawls dan Amartya Sen di era modern, pencarian akan keadilan telah menjadi salah satu dorongan terbesar dalam peradaban manusia. Keadilan tidak hanya terwujud dalam bentuk hukum yang tertulis, tetapi juga dalam etika sehari-hari, distribusi sumber daya yang adil, dan kesempatan yang setara bagi setiap individu untuk berkembang.
Di Indonesia, asas keadilan terpatri dalam Pancasila sebagai dasar negara dan UUD 1945 sebagai konstitusi. Sila "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia" adalah panggilan untuk mewujudkan suatu tatanan di mana setiap warga negara menikmati hak-haknya secara setara dan mendapatkan perlindungan dari segala bentuk ketidakadilan. Namun, perjalanan menuju keadilan yang paripurna adalah perjuangan yang tak pernah berhenti. Tantangan seperti disparitas ekonomi, korupsi, diskriminasi, dan akses terbatas terhadap hukum masih harus terus diatasi.
Mewujudkan asas keadilan membutuhkan komitmen kolektif. Negara harus berperan aktif dalam menciptakan dan menegakkan hukum yang adil, menyediakan akses terhadap keadilan, serta merancang kebijakan yang berorientasi pada keadilan sosial. Sementara itu, masyarakat harus terus aktif mengawasi, mengadvokasi, dan menuntut akuntabilitas, serta menanamkan nilai-nilai keadilan dalam setiap sendi kehidupan. Hanya dengan kolaborasi yang kuat dan kesadaran yang mendalam akan esensi keadilan, kita dapat membangun masyarakat yang lebih adil, manusiawi, dan beradab bagi generasi kini dan mendatang.