Sejarah asketisisme adalah cerminan dari pencarian spiritual dan filosofis manusia yang tak pernah padam. Praktik ini telah hadir di berbagai peradaban dan budaya, jauh sebelum era modern, seringkali menjadi inti dari banyak tradisi keagamaan dan filosofis besar. Dari lembah Sungai Indus hingga gurun Yudea, dari hutan-hutan Yunani kuno hingga biara-biara Eropa Abad Pertengahan, manusia telah menemukan jalan menuju pengendalian diri dan penyangkalan sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi.
Asketisisme dalam Agama-agama Besar
Kekristenan
Asketisisme memiliki peran yang sangat penting dalam sejarah Kekristenan, terutama dalam bentuk monastisisme. Meskipun Yesus sendiri tidak menganjurkan asketisisme ekstrem secara eksplisit, ajarannya tentang penolakan diri, memikul salib, dan mengutamakan kerajaan Allah daripada kekayaan duniawi menjadi dasar bagi praktik-praktik asketis selanjutnya. Contoh-contoh seperti puasa Yesus di padang gurun selama 40 hari dan seruan-Nya kepada pemuda kaya untuk menjual semua hartanya menunjukkan nilai penyangkalan diri.
Pada abad-abad awal Kekristenan, asketisisme mulai berkembang pesat. Para "Bapa Gurun" di Mesir, seperti Santo Antonius Agung, menjadi pionir kehidupan pertapa (hermit). Mereka menarik diri dari masyarakat ke gurun untuk hidup dalam kesendirian, berpuasa, berjaga malam, dan melawan godaan iblis melalui disiplin diri yang ketat. Tujuan mereka adalah mencapai kesucian, mendekatkan diri kepada Tuhan, dan memerangi dosa. Gerakan ini kemudian berkembang menjadi monastisisme komunal (biara), di mana para biarawan dan biarawati hidup bersama di bawah aturan tertentu, seperti yang disusun oleh Santo Basilius atau Santo Benediktus. Aturan-aturan ini mencakup janji kemiskinan (penolakan harta benda), kesucian (penolakan kesenangan seksual), dan ketaatan (penolakan kehendak pribadi). Praktik-praktik seperti puasa (termasuk selama masa Prapaskah), pantang daging, tidur di alas keras, doa berjam-jam, dan kerja keras adalah bagian integral dari kehidupan monastik. Tujuan utama adalah untuk membersihkan jiwa, menguasai nafsu, dan mencapai persatuan mistik dengan Tuhan.
Sepanjang sejarah, Kekristenan telah melihat berbagai bentuk asketisisme. Dari para stylit yang hidup di puncak tiang, para anacorete yang mengurung diri dalam sel, hingga ordo-ordo monastik yang ketat seperti Fransiskan (dengan penekanan pada kemiskinan) atau Karmelit (dengan penekanan pada kontemplasi dan kesunyian). Bahkan bagi umat Kristen awam, praktik puasa, pantang, dan memberikan sedekah (yang melibatkan penyangkalan materi) merupakan elemen penting dari kehidupan beriman, terutama selama masa-masa tertentu dalam kalender liturgi. Asketisisme dalam Kekristenan selalu berakar pada teologi penebusan dan harapan akan kehidupan kekal, di mana penderitaan di dunia ini dapat memiliki makna spiritual yang mendalam, membersihkan dosa, dan mempersiapkan jiwa untuk berjumpa dengan Kristus. Ini adalah upaya untuk meneladani Kristus dan menjadi lebih seperti Dia, yang juga menjalani kehidupan penuh pengorbanan dan pelayanan.
Meskipun ada variasi dalam tingkat dan bentuknya, inti dari asketisisme Kristen tetap konsisten: sebuah upaya yang disengaja untuk membatasi pemenuhan keinginan duniawi demi pemenuhan rohani. Ini adalah praktik yang mengundang seseorang untuk melihat melampaui kenyamanan sesaat dan menemukan kepuasan yang lebih langgeng dalam hubungan dengan yang Ilahi. Baik itu melalui doa yang intens, puasa yang teratur, kesederhanaan hidup, atau pelayanan kepada sesama, asketisisme Kristen adalah jalan transformatif yang mengundang individu untuk mengkalibrasi ulang prioritas mereka dan menempatkan Tuhan sebagai pusat dari keberadaan mereka. Dengan demikian, praktik ini bukan hanya tentang menolak, tetapi juga tentang menerima: menerima anugerah, menerima kehadiran Tuhan, dan menerima panggilan untuk hidup yang lebih bermakna.
Buddhisme
Asketisisme adalah inti dari jalan spiritual dalam Buddhisme, meskipun dengan nuansa yang khas. Siddhartha Gautama, sang Buddha, pada awalnya mempraktikkan bentuk asketisisme ekstrem selama enam tahun, termasuk puasa yang sangat parah hingga tubuhnya sangat kurus, hampir mati kelaparan. Pengalaman ini mengajarkannya bahwa penyiksaan diri yang ekstrem tidak mengarah pada pencerahan, melainkan melemahkan pikiran dan tubuh, sehingga menghambat pencarian kebijaksanaan. Dari pengalaman ini, ia merumuskan ajaran tentang Jalan Tengah (Middle Way) – menghindari baik pemuasan indrawi yang berlebihan maupun penyangkalan diri yang ekstrem.
Meskipun demikian, Buddhisme tidak sepenuhnya menolak asketisisme. Sebaliknya, ia mendorong bentuk asketisisme yang moderat dan bertujuan, yang dikenal sebagai dhutaṅga dalam tradisi Theravada, atau praktik-praktik disiplin dalam tradisi Mahayana. Bagi para biarawan dan biarawati (Sangha), kehidupan asketis adalah fundamental. Mereka meninggalkan kehidupan duniawi, mempraktikkan kemiskinan (hanya memiliki sedikit harta pribadi), kesucian (pantang seks), dan hidup dengan aturan-aturan disiplin ketat yang tercantum dalam Vinaya Pitaka. Ini termasuk berpuasa setelah tengah hari, bermeditasi berjam-jam, tidur di tempat sederhana, dan mengembara tanpa harta benda yang banyak.
Tujuan asketisisme dalam Buddhisme adalah untuk menghilangkan tanha (keinginan/nafsu), yang dianggap sebagai akar penderitaan (dukkha). Melalui disiplin diri, seorang praktisi berusaha untuk melonggarkan cengkeraman keinginan dan keterikatan pada dunia materi, serta pada ego. Ini membantu menajamkan pikiran untuk meditasi dan memupuk vipassana (pandangan terang) dan samatha (ketenangan). Dengan mengendalikan tubuh dan pikiran, praktisi dapat melihat sifat sebenarnya dari realitas (anicca, dukkha, anatta – ketidakkekalan, penderitaan, tanpa-diri) dan mencapai Nibbana (pembebasan dari siklus kelahiran kembali).
Dalam tradisi Zen, misalnya, praktik zazen (meditasi duduk) yang ketat, dikombinasikan dengan kehidupan biara yang disipliner, makan makanan sederhana, dan kerja keras, adalah bentuk asketisisme yang bertujuan untuk mencapai satori (pencerahan). Di Tibet, para yogi dan pertapa juga mempraktikkan meditasi intensif di gua-gua terpencil, seringkali dengan sedikit makanan dan pakaian, untuk mempercepat pencapaian realisasi spiritual. Jadi, meskipun Buddhisme menolak ekstremitas, ia sangat menghargai disiplin diri yang terarah dan penyangkalan keinginan sebagai alat esensial untuk mencapai pembebasan dari penderitaan dan siklus Samsara. Asketisisme Buddhisme lebih mengarah pada pengembangan kebijaksanaan dan kasih sayang, bukan hanya pemurnian, tetapi juga pencapaian kesadaran yang tercerahkan yang membawa manfaat bagi semua makhluk.
Singkatnya, asketisisme dalam Buddhisme adalah tentang menyeimbangkan disiplin dengan kasih sayang, pengekangan dengan pemahaman. Ini adalah upaya untuk membebaskan diri dari keterikatan, bukan melalui penolakan paksa yang menyiksa, tetapi melalui pengembangan kesadaran yang memungkinkan seseorang untuk melihat sifat sementara dari segala sesuatu. Dengan demikian, asketisisme menjadi jembatan menuju kebebasan, bukan penjara, dan jalan menuju kedamaian batin yang mendalam yang dapat dibagikan kepada dunia.
Hinduisme
Hinduisme adalah salah satu agama tertua di dunia yang kaya akan tradisi asketis yang mendalam dan beragam. Praktik asketisisme, yang dikenal sebagai tapas (secara harfiah berarti "panas" atau "membakar", merujuk pada panas yang dihasilkan dari disiplin spiritual), telah menjadi bagian integral dari kehidupan spiritual Hindu sejak zaman Veda. Para sadhus, yogis, sannyasi, dan rishis (pertapa dan orang suci) adalah representasi hidup dari tradisi asketis ini.
Motivasi utama di balik praktik tapas adalah pencarian moksha (pembebasan dari siklus kelahiran dan kematian, atau samsara), pencapaian brahmacharya (penguasaan diri dan kemurnian), akumulasi kekuatan spiritual (siddhi), atau persatuan dengan realitas tertinggi (Brahman). Bentuk-bentuk asketisisme dalam Hinduisme sangat bervariasi dan bisa sangat ekstrem. Ini termasuk:
- Puasa (Vrata): Berpuasa selama periode tertentu, dari berjam-jam hingga berhari-hari, atau bahkan hanya mengonsumsi jenis makanan tertentu.
- Meditasi Intensif (Dhyana): Menghabiskan waktu yang sangat lama dalam meditasi, seringkali di tempat-tempat terpencil seperti gua atau hutan.
- Pengorbanan Fisik: Melakukan praktik-praktik yang menantang tubuh seperti menahan napas (pranayama), tidur di alas paku, menahan lengan di atas kepala selama bertahun-tahun, atau berdiri hanya dengan satu kaki.
- Kemiskinan dan Penolakan Harta Benda: Meninggalkan semua kepemilikan materi dan hidup sebagai pengemis (biksu pengemis) yang bergantung pada sedekah.
- Kesucian (Brahmacharya): Menjaga selibat dan mengendalikan energi seksual untuk mengarahkannya ke tujuan spiritual.
- Pengasingan (Vanaprastha dan Sannyasa): Meninggalkan kehidupan keluarga dan masyarakat untuk hidup sebagai pertapa di hutan atau pengembara.
Konsep Ahimsa (tanpa kekerasan) juga sering terkait erat dengan asketisisme, di mana praktisi berusaha untuk tidak melukai makhluk hidup apa pun, termasuk diri sendiri secara tidak perlu. Meskipun beberapa praktik mungkin tampak menyakitkan, tujuannya bukan untuk penderitaan itu sendiri, tetapi untuk melatih kehendak, membersihkan karma, menguasai indra, dan membakar sisa-sisa ego. Diyakini bahwa melalui tapas, seorang individu dapat membakar karma negatif, menguatkan pikiran, dan menjadi lebih peka terhadap dimensi spiritual. Kisah-kisah para dewa dan resi dalam mitologi Hindu seringkali menggambarkan mereka melakukan tapas yang hebat untuk mencapai tujuan tertentu atau mendapatkan kekuatan.
Tradisi Yoga, khususnya Raja Yoga dan Hatha Yoga, juga mengandung elemen asketis yang kuat. Yama (larangan) dan Niyama (kewajiban), dua anggota pertama dari delapan anggota yoga Patanjali, adalah bentuk-bentuk disiplin diri yang esensial untuk mempersiapkan praktisi mencapai meditasi yang lebih dalam dan samadhi (keadaan kesadaran yang tercerahkan). Ini adalah jalan yang mengintegrasikan disiplin fisik, mental, dan etika untuk mencapai kesatuan dengan Yang Ilahi. Asketisisme dalam Hinduisme, dengan segala bentuknya, adalah upaya untuk melampaui dualitas dan ilusi duniawi, mencapai realitas yang lebih dalam, dan akhirnya, bersatu dengan Brahman.
Tapas tidak hanya dilihat sebagai cara untuk mencapai pembebasan pribadi, tetapi juga sebagai sarana untuk berkontribusi pada kesejahteraan kosmos. Diyakini bahwa energi spiritual yang dihasilkan dari praktik asketis dapat memengaruhi lingkungan dan membantu menjaga keseimbangan alam semesta. Ini menunjukkan bahwa asketisisme dalam Hinduisme seringkali memiliki dimensi yang lebih luas, melampaui individu dan mencakup tatanan kosmik.
Islam
Meskipun Islam secara umum tidak menganjurkan monastisisme atau asketisisme ekstrem yang memisahkan diri sepenuhnya dari dunia, ada tradisi yang kuat tentang disiplin diri, kesederhanaan, dan penolakan berlebihan terhadap kesenangan duniawi yang dapat dianggap sebagai bentuk asketisisme. Ini terutama terlihat dalam tradisi Sufisme, dimensi mistik Islam.
Nabi Muhammad sendiri menjalani kehidupan yang sederhana, meskipun dia tidak pernah meninggalkan dunia sepenuhnya atau menganjurkan selibat. Dia sering berpuasa (terutama di bulan Ramadhan dan puasa sunah lainnya), berdoa hingga larut malam, dan menghindari kemewahan. Ajarannya menekankan pentingnya zuhd (asketisisme/penolakan duniawi), taqwa (kesalehan/ketakwaan), dan ikhlas (ketulusan). Tujuan zuhd dalam Islam bukanlah untuk menyiksa diri, melainkan untuk membebaskan hati dari keterikatan pada dunia materi sehingga dapat sepenuhnya berorientasi pada Allah. Ini tentang meletakkan dunia di tangan, bukan di hati.
Dalam Sufisme, asketisisme mengambil bentuk yang lebih terstruktur. Para sufi (mistikus Muslim) mempraktikkan berbagai bentuk disiplin diri untuk memurnikan jiwa (nafs) dan mencapai kedekatan dengan Allah (ma'rifah dan fana). Ini termasuk:
- Puasa Ekstra (Sawm): Selain puasa wajib Ramadhan, banyak sufi melakukan puasa sunah secara teratur.
- Doa dan Zikir Malam (Qiyam al-Layl dan Dhikr): Menghabiskan sebagian besar malam dalam shalat, membaca Al-Qur'an, dan mengingat nama-nama Allah.
- Kesederhanaan dan Kemiskinan (Faqr): Membatasi kepemilikan materi dan hidup dalam kesederhanaan, kadang-kadang sebagai pengembara yang bergantung pada anugerah Allah.
- Isolasi dan Retret (Khalwa/Uzla): Mengasingkan diri ke tempat sunyi untuk fokus pada ibadah dan kontemplasi selama periode tertentu.
- Pengendalian Diri: Melatih diri untuk menahan amarah, iri hati, kesombongan, dan keinginan-keinginan negatif lainnya.
Tujuan utama asketisisme Islam adalah untuk memurnikan hati, mendekatkan diri kepada Allah, dan mencapai keadaan ihsan (beribadah seolah-olah melihat Allah). Ini adalah jalan untuk menyingkirkan hijab (penghalang) antara hamba dan Pencipta, agar dapat merasakan kehadiran ilahi dalam segala aspek kehidupan. Asketisisme dalam Islam adalah tentang menyeimbangkan hak duniawi dengan hak ilahi, memastikan bahwa dunia tidak menjadi tuan atas hati seseorang. Itu adalah upaya untuk mencari ridha Allah, bukan kepuasan diri, dan untuk mengabdikan hidup sepenuhnya kepada-Nya, dengan harapan akan kebahagiaan abadi di akhirat.
Praktik ini menunjukkan bahwa asketisisme dalam Islam, khususnya dalam konteks Sufisme, adalah lebih tentang transformasi batin dan pelepasan keterikatan duniawi daripada penolakan dunia secara total. Ini adalah tentang menempatkan Allah sebagai prioritas tertinggi, dan melalui disiplin diri, membersihkan hati dari segala sesuatu yang mungkin mengalihkannya dari tujuan spiritual utama tersebut. Oleh karena itu, seorang sufi mungkin hidup di dunia tetapi tidak terikat padanya, menggunakan dunia sebagai jembatan menuju akhirat, bukan sebagai tujuan akhir.
Yudaisme
Asketisisme dalam Yudaisme memiliki sejarah yang kompleks dan tidak sehomogen dalam beberapa agama lain. Meskipun tidak ada tradisi monastik yang luas seperti dalam Kekristenan atau Buddhisme, Yudaisme memiliki beberapa praktik dan kelompok yang menunjukkan elemen asketis yang kuat.
Salah satu contoh paling awal adalah kelompok Nazirite, seperti yang dijelaskan dalam Kitab Bilangan. Seorang Nazirite mengambil sumpah untuk tidak meminum anggur atau produk anggur lainnya, tidak mencukur rambutnya, dan tidak mendekati mayat selama periode waktu tertentu. Sumpah ini adalah bentuk penyangkalan diri yang bertujuan untuk menguduskan diri bagi Tuhan dan menunjukkan kesalehan yang lebih tinggi. Tokoh-tokoh seperti Samson dan Samuel adalah Nazirite.
Pada periode Bait Suci Kedua, muncul kelompok Essenes, yang dikenal karena gaya hidup asketis mereka. Mereka hidup dalam komunitas-komunitas yang terpisah dari masyarakat umum, mempraktikkan kemiskinan komunal, selibat (bagi sebagian), puasa, dan disiplin yang ketat. Mereka fokus pada studi Taurat, doa, dan kemurnian ritual. Gulungan Laut Mati, yang ditemukan di Qumran, sering dikaitkan dengan Essenes, memberikan wawasan tentang gaya hidup dan keyakinan mereka yang sangat disiplin.
Dalam tradisi rabinik kemudian, meskipun Yudaisme secara umum menekankan kesucian dalam kehidupan duniawi daripada penarikan diri sepenuhnya, ada periode di mana praktik asketis menjadi lebih menonjol. Puasa, terutama pada Yom Kippur (Hari Pendamaian), adalah praktik asketis sentral yang wajib bagi semua Yahudi yang mampu. Selain itu, ada puasa sunah lainnya untuk tujuan pertobatan atau peringatan. Beberapa orang Yahudi yang sangat saleh juga mempraktikkan puasa yang lebih sering atau membatasi kesenangan makanan dan minuman sebagai bentuk teshuva (pertobatan) atau untuk meningkatkan fokus spiritual.
Kaum Kabbalis, khususnya, kadang-kadang mempraktikkan bentuk asketisisme mistik, termasuk puasa yang intens, tidur yang minim, dan pengasingan untuk mencapai pengalaman mistik dan mendekatkan diri kepada Ain Sof (Yang Tak Terbatas). Tujuan mereka adalah untuk memurnikan jiwa dan menembus lapisan-lapisan realitas ilahi.
Secara keseluruhan, asketisisme dalam Yudaisme seringkali lebih terintegrasi dalam kehidupan komunitas dan berorientasi pada peningkatan ketaatan terhadap hukum ilahi (Halakha) serta pencarian makna yang lebih dalam. Ini adalah tentang menguduskan kehidupan duniawi dan mengangkatnya ke tingkat spiritual melalui disiplin dan kesadaran, daripada menolaknya sepenuhnya. Meskipun demikian, benang merah disiplin diri, pengendalian keinginan, dan fokus pada hal-hal spiritual yang melampaui materi tetap kuat dalam berbagai ekspresi Yudaisme.