Avesta: Kitab Suci Zoroastrianisme, Ajaran & Sejarahnya

Avesta: Kitab Suci Zoroastrianisme, Ajaran dan Warisan Abadi

Avesta adalah nama kolektif untuk kumpulan teks suci agama Zoroastrianisme, salah satu agama monoteistik tertua di dunia yang masih dipraktikkan hingga hari ini. Sebagai inti spiritual dan doktrinal dari iman Zoroaster, Avesta tidak hanya menjadi sumber ajaran bagi para penganutnya tetapi juga merupakan jendela penting untuk memahami peradaban kuno Iran dan pengaruhnya yang luas terhadap agama-agama besar lainnya. Kitab ini, yang sebagian besar ditulis dalam bahasa Avestan—sebuah bahasa Indo-Iran kuno—menyimpan hymne, doa, mitos, hukum, dan filosofi yang diyakini berasal dari Nabi Zarathustra (atau Zoroaster) sendiri.

Meskipun sering disebut sebagai "kitab", Avesta bukanlah satu volume utuh yang disusun secara kronologis seperti Alkitab atau Al-Qur'an. Sebaliknya, ia adalah sebuah antologi yang berkembang selama berabad-abad, mencakup berbagai genre dan periode linguistik. Bagian-bagian tertuanya, Gathas, diyakini secara langsung berasal dari Zarathustra dan merupakan inti filosofis dari seluruh korpus. Bagian-bagian lain, yang dikenal sebagai Avesta Muda, dikompilasi kemudian dan mencerminkan pengembangan ritual, mitologi, dan praktik keagamaan seiring waktu.

Studi tentang Avesta menghadapi tantangan unik. Sebagian besar dari karya aslinya telah hilang sepanjang sejarah, terutama selama invasi dan penaklukan Persia. Apa yang kita miliki saat ini adalah fragmen-fragmen yang selamat, dikompilasi ulang dan dilestarikan oleh para imam Zoroaster (Magi) yang setia. Meskipun demikian, nilai historis, linguistik, dan religius dari Avesta yang tersisa tidak dapat diremehkan. Ia menawarkan wawasan mendalam tentang konsep-konsep etika, dualisme kosmik, kehendak bebas manusia, dan eskatologi yang kemudian memengaruhi Yudeo-Kristen dan tradisi Islam.

Representasi ilustrasi dari Avesta sebagai kitab suci terbuka.

Asal-usul dan Sejarah Kompilasi Avesta

Sejarah Avesta sangat kompleks dan seringkali diselimuti misteri, mencerminkan pergolakan dan perubahan zaman yang dialami peradaban Iran. Para sarjana umumnya sepakat bahwa Avesta tidak muncul sebagai satu kesatuan tunggal, melainkan sebagai akumulasi teks-teks yang ditulis dan diturunkan secara lisan selama rentang waktu yang sangat panjang, mungkin berabad-abad. Jantung dari Avesta, Gathas, diyakini disusun oleh Nabi Zarathustra sendiri.

Nabi Zarathustra dan Periode Awal

Zarathustra, pendiri Zoroastrianisme, adalah seorang tokoh yang hidup di suatu tempat di Iran timur laut atau Asia Tengah pada zaman kuno. Penentuan tanggal pasti kehidupannya menjadi subjek perdebatan sengit di kalangan sarjana. Beberapa sumber tradisional Zoroaster menempatkannya sekitar abad ke-6 SM, menjadikannya sezaman dengan figur-figur besar seperti Buddha dan Konfusius. Namun, analisis linguistik terhadap bahasa Avestan Kuno yang digunakan dalam Gathas, yang mirip dengan bahasa Veda dari India dan bahasa Het dari Anatolia, menunjukkan periode yang jauh lebih awal, mungkin antara 1500 SM hingga 1000 SM. Jika ini benar, Zarathustra akan menjadi salah satu tokoh profetik tertua yang dikenal dalam sejarah agama.

Awalnya, ajaran Zarathustra dan Gathas diturunkan secara lisan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam masyarakat kuno, tradisi lisan adalah metode utama untuk melestarikan pengetahuan, dan para imam Zoroaster (disebut Magav atau Maga) memainkan peran krusial dalam menghafal dan menyampaikan teks-teks suci ini dengan presisi. Keakuratan transmisi lisan ini seringkali sangat tinggi, didukung oleh teknik memori yang ketat dan ritual pengulangan.

Perkembangan dan Kehilangan Naskah

Seiring berjalannya waktu, ajaran Zarathustra mulai menyebar, dan teks-teks baru ditambahkan untuk melengkapi Gathas. Teks-teks ini, yang dikenal sebagai Avesta Muda (Younger Avestan), mencakup doa-doa, himne untuk entitas ilahi (Yazata), peraturan ritual, dan narasi mitologis. Bahasa Avesta Muda menunjukkan evolusi dari Avesta Kuno, dengan perbedaan gramatikal dan leksikal yang signifikan, menunjukkan bahwa teks-teks ini disusun pada periode yang berbeda dan mungkin oleh penulis yang berbeda, meskipun masih dalam kerangka tradisi Zoroaster.

Periode Kekaisaran Akhemeniyah (sekitar 550-330 SM) adalah masa ketika Zoroastrianisme menjadi agama dominan di Persia. Meskipun tidak ada bukti langsung bahwa Avesta ditulis dalam bentuk kodifikasi pada masa ini, diperkirakan bahwa naskah-naskah suci ini sudah tersebar luas dan dihormati. Namun, tragedi menimpa ketika Alexander Agung menaklukkan Persia pada tahun 330 SM. Menurut tradisi Zoroaster, Alexander menghancurkan banyak perpustakaan dan membakar salinan Avesta yang telah dikumpulkan dan ditulis di atas 12.000 lembar kulit sapi. Peristiwa ini menandai kerugian besar bagi korpus Avesta dan menyebabkan sebagian besar pengetahuan suci itu hilang.

Periode Sassanid dan Kodifikasi

Setelah periode Helenistik dan Parthia, Zoroastrianisme kembali bangkit di bawah Kekaisaran Sassanid (224-651 M). Para penguasa Sassanid, yang menjadikan Zoroastrianisme sebagai agama negara, menyadari pentingnya melestarikan dan mengkodifikasi sisa-sisa Avesta. Ini adalah periode ketika upaya besar-besaran dilakukan untuk mengumpulkan kembali semua teks yang masih ada, baik yang diturunkan secara lisan maupun yang ditemukan dalam bentuk tulisan.

Di bawah kepemimpinan para imam terkemuka seperti Tansar dan Adurbad Mahraspand, Avesta yang tersebar dikumpulkan dan disusun menjadi sebuah kanon tertulis. Konon, Avesta yang lengkap pada masa ini terdiri dari 21 "Nask" (kitab), yang mencakup beragam topik dari teologi dan ritual hingga kedokteran, astronomi, dan hukum. Setiap Nask memiliki sekitar 1000 bab, menunjukkan skala yang luar biasa dari koleksi aslinya. Sayangnya, hanya sekitar seperempat dari 21 Nask ini yang selamat hingga hari ini dalam bentuk Avesta yang kita kenal.

Selain Avesta itu sendiri, pada masa Sassanid juga berkembang literatur Pahlavi, yaitu terjemahan dan komentar atas Avesta dalam bahasa Persia Tengah. Karya-karya Pahlavi ini sangat penting karena mereka memberikan wawasan tentang bagian-bagian Avesta yang telah hilang dan membantu para sarjana modern memahami makna teks-teks Avestan yang seringkali samar.

Penurunan dan Pelestarian Pasca-Sassanid

Kejatuhan Kekaisaran Sassanid ke tangan penakluk Muslim pada abad ke-7 Masehi membawa tantangan besar bagi Zoroastrianisme. Banyak penganut Zoroaster yang berpindah agama, sementara sebagian lainnya beremigrasi ke India, membentuk komunitas Parsi yang vital. Komunitas-komunitas ini, baik di Iran maupun di India, menjadi penjaga setia Avesta dan tradisi Zoroaster.

Meskipun ada kehilangan lebih lanjut dan penurunan jumlah penganut, para imam Zoroaster terus menyalin, menghafal, dan mempelajari Avesta. Upaya mereka memastikan bahwa inti ajaran dan sebagian besar teks suci tetap terpelihara, bahkan jika sebagian besar korpus Sassanid telah hilang secara permanen. Hingga hari ini, para penganut Zoroaster terus menggunakan Avesta dalam ibadah dan upacara mereka, menjaga api suci tradisi kuno ini tetap menyala.

Struktur dan Pembagian Avesta

Avesta yang kita miliki saat ini adalah fragmen dari kumpulan yang jauh lebih besar. Meskipun demikian, para sarjana telah mengidentifikasi beberapa bagian utama yang menyusun korpus ini, masing-masing dengan karakteristik linguistik, teologis, dan ritualistiknya sendiri. Pembagian ini penting untuk memahami evolusi dan kekayaan ajaran Zoroaster.

1. Gathas (Avesta Kuno)

Gathas (secara harfiah "himne" atau "lagu") adalah bagian tertua dan paling suci dari Avesta. Mereka terdiri dari 17 himne puitis yang diyakini secara langsung dikarang oleh Nabi Zarathustra sendiri. Gathas adalah jantung filosofis Zoroastrianisme, mengungkapkan inti ajaran Nabi dalam bentuk yang seringkali penuh teka-teki dan mendalam. Bahasa yang digunakan di sini adalah Avesta Kuno, sebuah dialek Indo-Iran yang arcaik, sangat mirip dengan bahasa Veda dalam Rigveda India.

2. Yasna

Yasna (secara harfiah "pemujaan" atau "pengorbanan") adalah kumpulan liturgi utama yang digunakan oleh para imam selama upacara Yasna, ritual penyembahan api sentral Zoroastrianisme. Yasna terdiri dari 72 bab, di mana Gathas menjadi bagian integralnya.

3. Visperad

Visperad (berasal dari "Vispe Ratavo", yang berarti "semua ketua" atau "semua pelindung") adalah kumpulan liturgi yang lebih kecil yang selalu dibacakan bersamaan dengan Yasna. Teks ini berfungsi sebagai tambahan dan perluasan dari Yasna.

4. Yashts

Yashts (berasal dari "yashti", yang berarti "ibadah dengan pujian") adalah kumpulan 21 hymne atau ode yang ditujukan untuk memuji berbagai Yazata (makhluk ilahi atau entitas layak disembah) selain Ahura Mazda. Yashts ditulis dalam Avesta Muda dan mencerminkan aspek mitologi dan kosmologi Zoroaster yang lebih luas dibandingkan Gathas.

Sebuah representasi artistik dari altar api, simbol sentral dalam ibadah Zoroaster.

5. Vendidad

Vendidad (berasal dari "Vi-daevo-data", yang berarti "hukum anti-iblis") adalah sebuah kodeks hukum dan ritual yang sangat detail, berurusan dengan kemurnian dan polusi, eksorsisme, dan berbagai pelanggaran terhadap Asha. Bagian ini juga ditulis dalam Avesta Muda.

6. Khordeh Avesta (Avesta Kecil/Pendek)

Khordeh Avesta adalah kumpulan doa-doa harian, himne-himne pendek, dan teks-teks ritual yang diambil dari bagian-bagian lain dari Avesta (terutama Yasna dan Yashts). Ini adalah kitab doa yang digunakan oleh umat awam Zoroaster dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Selain bagian-bagian utama ini, ada juga fragmen-fragmen Avesta lain yang bertahan, yang hanya kita ketahui dari referensi dalam literatur Pahlavi. Keberadaan fragmen-fragmen ini menegaskan bahwa korpus Avesta yang asli jauh lebih luas dan beragam daripada yang kita miliki saat ini.

Ajaran Pokok dalam Avesta

Inti ajaran Zoroastrianisme, sebagaimana diungkapkan dalam Avesta, adalah sebuah sistem etika dan filosofi yang mendalam, berpusat pada dualisme moral dan kebebasan memilih manusia. Ajaran ini tidak hanya membentuk pandangan dunia Zoroaster tetapi juga meninggalkan jejak yang tak terhapuskan pada tradisi keagamaan lainnya.

1. Monoteisme Ahura Mazda

Di jantung Avesta, terutama Gathas, adalah pemujaan terhadap Ahura Mazda (Tuhan Yang Bijaksana) sebagai satu-satunya pencipta yang tidak tercipta, mahatahu, mahabijaksana, dan mahabaik. Dia adalah sumber dari segala kebenaran, ketertiban, dan kebaikan di alam semesta. Ahura Mazda bukanlah pencipta kejahatan, melainkan kebaikan semata.

Ajaran ini merupakan bentuk monoteisme yang unik. Ahura Mazda adalah puncak dari segalanya, Dia adalah Sang Pencipta segala sesuatu yang baik, dan Dia adalah Tuhan yang harus disembah di atas segalanya. Tidak ada Tuhan lain yang setara atau melebihi Dia. Kebaikan-Nya mutlak, dan Dia mewujudkan kebenaran, keadilan, dan ketertiban kosmik (Asha).

2. Dualisme Kosmik dan Etis

Salah satu ajaran yang paling khas dan sering disalahpahami dalam Zoroastrianisme adalah dualisme. Avesta memperkenalkan konsep dua Roh Primordial, Spenta Mainyu (Roh Kudus/Kreatif/Baik) dan Angra Mainyu (Roh Destruktif/Jahat/Rusak). Kedua Roh ini tidak setara dengan Ahura Mazda. Spenta Mainyu adalah emanasi dari Ahura Mazda, manifestasi dari aspek kreatif dan baik-Nya. Angra Mainyu adalah kebalikannya, roh kejahatan yang memilih jalan kerusakan dan kebohongan sejak awal.

Dualisme ini bukanlah dualisme ontologis di mana ada dua dewa yang setara. Sebaliknya, ini adalah dualisme etis dan kosmik yang menjelaskan keberadaan kebaikan dan kejahatan di dunia. Ahura Mazda sendiri adalah transenden dari dualisme ini; Dia adalah pencipta Spenta Mainyu, dan Dia secara fundamental baik. Pertempuran antara Spenta Mainyu dan Angra Mainyu berlangsung di alam semesta dan di dalam hati setiap manusia.

Konflik ini memanifestasikan dirinya dalam setiap aspek keberadaan: terang melawan gelap, kehidupan melawan kematian, kebenaran melawan kebohongan, kesehatan melawan penyakit. Manusia diberi kehendak bebas untuk memilih salah satu dari dua Roh ini, sebuah pilihan yang memiliki konsekuensi kosmik.

3. Asha (Kebenaran, Keteraturan Ilahi)

Asha adalah konsep sentral dan paling penting dalam teologi Zoroaster, diungkapkan berulang kali dalam Gathas. Ini melampaui sekadar "kebenaran" dalam pengertian sehari-hari; Asha mencakup kebenaran kosmik, kebenaran moral, ketertiban ilahi, dan keadilan. Ini adalah prinsip universal yang mendasari keberadaan alam semesta dan semua makhluk baik.

Melawan Asha adalah Druj (kebohongan, kekacauan, kerusakan). Kehidupan manusia adalah perjuangan untuk mempertahankan Asha dan melawan Druj. Kemenangan Asha pada akhirnya akan tercapai pada Frashokereti.

4. Vohu Manah (Pikiran Baik) dan Amesha Spentas

Amesha Spentas (secara harfiah "Keabadian Suci" atau "Entitas Ilahi yang Bermanfaat") adalah enam emanasi atau aspek dari Ahura Mazda. Mereka dapat dipahami sebagai atribut ilahi Ahura Mazda atau sebagai entitas spiritual yang membantu mengelola ciptaan-Nya. Mereka adalah:

  1. Vohu Manah (Pikiran Baik): Ini adalah yang pertama dan paling penting. Vohu Manah mewakili kebijaksanaan ilahi, pemahaman, dan kemampuan untuk membedakan yang baik dari yang jahat. Ini adalah saluran di mana manusia dapat memahami Ahura Mazda dan ajaran Zarathustra. Ini juga dikaitkan dengan ternak yang baik dan hewan yang bermanfaat.
  2. Asha Vahishta (Kebenaran Terbaik/Keteraturan Terbaik): Manifestasi dari Asha sendiri dalam bentuknya yang paling murni, dikaitkan dengan api suci dan panas. Ini adalah kebenaran, keadilan, dan ketertiban tertinggi.
  3. Khshathra Vairya (Kekuasaan yang Diinginkan): Mewakili kerajaan yang baik, kekuatan ilahi, dan kekuasaan yang adil. Ini adalah kekuatan yang diperlukan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Ini juga dikaitkan dengan logam dan mineral.
  4. Spenta Armaiti (Kesalehan Suci/Kesabaran): Menggambarkan kesalehan, pengabdian, kesabaran, dan sikap rendah hati. Ini adalah semangat bumi dan tanah, mewakili kesuburan dan ketahanan.
  5. Haurvatat (Kesehatan/Kelengkapan): Melambangkan kesehatan, keutuhan, kelengkapan, dan kemakmuran. Dikaitkan dengan air.
  6. Ameretat (Keabadian): Mewakili keabadian dan kehidupan abadi. Dikaitkan dengan tumbuhan.

Bersama-sama, Amesha Spentas membentuk jembatan antara Ahura Mazda dan ciptaan-Nya, melayani sebagai model bagi sifat-sifat yang harus dikembangkan oleh manusia dalam diri mereka sendiri.

Siluet bergaya Nabi Zarathustra, pendiri Zoroastrianisme.

5. Kehendak Bebas dan Tanggung Jawab Manusia

Dalam Zoroastrianisme, kehendak bebas adalah doktrin fundamental yang secara eksplisit ditekankan dalam Gathas. Manusia bukanlah pion dalam pertarungan kosmik antara kebaikan dan kejahatan; sebaliknya, mereka adalah agen moral dengan kekuatan untuk memilih. Setiap individu dihadapkan pada pilihan antara mengikuti Asha (kebenaran) atau Druj (kebohongan).

Pilihan ini memiliki konsekuensi baik di kehidupan ini maupun di akhirat. Manusia bertanggung jawab penuh atas pikiran, perkataan, dan perbuatan mereka. Doktrin ini menekankan pentingnya moralitas aktif dan etika kerja keras untuk mempromosikan kebaikan di dunia.

6. Etika "Pikiran Baik, Perkataan Baik, Perbuatan Baik" (Humata, Hukhta, Hvarshta)

Slogan terkenal "Pikiran Baik, Perkataan Baik, Perbuatan Baik" (Humata, Hukhta, Hvarshta dalam bahasa Avestan) adalah ringkasan dari seluruh etika Zoroaster. Ini adalah panduan praktis untuk menjalani hidup sesuai dengan Asha dan melawan Druj.

Etika ini mengajarkan bahwa spiritualitas tidak hanya tentang ritual atau kepercayaan pasif, tetapi juga tentang bagaimana seseorang hidup di dunia dan berinteraksi dengan sesama serta lingkungan.

7. Eschatologi: Jembatan Chinvat dan Frashokereti

Avesta menyajikan eskatologi yang kaya, yang mencakup nasib individu setelah kematian dan pemurnian akhir alam semesta. Konsep-konsep ini sangat berpengaruh terhadap agama-agama selanjutnya.

8. Pemujaan Api dan Air

Api dan air adalah unsur yang sangat dihormati dalam Zoroastrianisme. Api suci (Atesh) dianggap sebagai manifestasi fisik dari Asha Vahishta (Kebenaran Terbaik) dan representasi kehadiran Ahura Mazda. Ia adalah simbol kesucian, cahaya, dan pemurnian.

Kedua elemen ini menekankan pentingnya kemurnian dalam kehidupan spiritual dan ritualistik Zoroaster.

Bahasa Avestan

Bahasa Avestan adalah bahasa Indo-Iran kuno yang menjadi medium penulisan Avesta. Ini adalah salah satu bahasa Indo-Eropa tertua yang didokumentasikan, dan studinya memberikan wawasan penting tentang sejarah linguistik dan budaya Indo-Iran. Ada dua bentuk utama Avestan yang dapat dibedakan dalam Avesta:

1. Avesta Kuno (Gathic Avestan)

Avesta Kuno adalah bentuk bahasa yang digunakan dalam Gathas dan beberapa bagian tertua lainnya dari Yasna (seperti Yasna Haptanghaiti). Ini adalah dialek yang sangat arkais, seringkali dibandingkan dengan bahasa Sansekerta Veda dalam hal kompleksitas gramatikal dan usianya.

2. Avesta Muda (Younger Avestan)

Avesta Muda adalah bentuk bahasa yang digunakan dalam sebagian besar bagian lain dari Avesta, termasuk Yashts, Vendidad, Visperad, dan sebagian besar Yasna di luar Gathas. Bahasa ini menunjukkan evolusi dari Avesta Kuno, dengan penyederhanaan gramatikal dan perubahan fonologis.

Alfabet Avestan (disebut Din Dabireh) yang digunakan untuk menulis Avesta dikembangkan pada periode Sassanid khusus untuk melestarikan teks-teks lisan ini secara akurat. Sebelum itu, teks-teks Avesta kemungkinan diturunkan secara lisan, atau mungkin ditulis dalam skrip Persia Kuno atau Pahlavi yang kurang memadai untuk menangkap nuansa fonetik bahasa Avestan.

Pengaruh Avesta pada Agama dan Pemikiran Dunia

Meskipun Zoroastrianisme saat ini adalah agama minoritas, ajaran-ajaran yang terkandung dalam Avesta telah meninggalkan jejak yang luar biasa dalam sejarah pemikiran keagamaan dan filosofis, terutama pada agama-agama monoteistik Abrahamik.

1. Agama Abrahamik (Yudaisme, Kristen, Islam)

Banyak sarjana berpendapat bahwa selama periode Kekaisaran Akhemeniyah, ketika Zoroastrianisme adalah agama dominan di Persia, ada kontak signifikan antara orang Yahudi dan Zoroaster. Ini, dan juga eksposur Persia ke Hellenisme, telah mengarah pada teori bahwa banyak konsep Zoroaster diserap ke dalam Yudaisme akhir, yang kemudian memengaruhi Kekristenan dan Islam.

2. Filsafat Yunani dan Romawi

Pengaruh Zoroastrianisme mungkin juga telah mencapai filsafat Yunani. Beberapa filsuf Yunani kuno seperti Plato dan Pythagoras diketahui memiliki ketertarikan pada tradisi Timur, dan ada spekulasi bahwa beberapa konsep mereka mungkin telah dipengaruhi oleh pemikiran Zoroaster, terutama dalam hal dualisme, kosmologi, dan etika.

Meskipun koneksi langsung seringkali sulit dibuktikan, adanya Zoroastrianisme sebagai agama yang dominan di sebuah kekaisaran besar yang berinteraksi dengan Yunani dan Roma menunjukkan bahwa ide-idenya pasti memiliki kesempatan untuk menyebar dan mempengaruhi lingkungan intelektual di sekitarnya.

3. Manichaeisme

Manichaeisme, sebuah agama sinkretis yang didirikan oleh Nabi Mani di Persia pada abad ke-3 M, sangat dipengaruhi oleh Zoroastrianisme. Manichaeisme juga memiliki dualisme kosmik yang kuat, meskipun dalam bentuk yang berbeda, dengan pertarungan antara kerajaan terang dan gelap yang terpisah. Banyak konsep dan istilah Zoroaster diadaptasi dan diinterpretasikan ulang dalam konteks Manichaeisme.

4. Budaya dan Literasi Persia

Di luar pengaruh agama, Avesta dan tradisi Zoroaster secara keseluruhan telah membentuk dasar bagi banyak aspek budaya dan literasi Persia selama berabad-abad. Epos nasional Iran, Shahnameh (Kitab Raja-raja) karya Ferdowsi, meskipun ditulis setelah masuknya Islam ke Iran, sangat banyak mengambil inspirasi dari mitos, legenda, dan pahlawan pra-Islam yang berakar pada tradisi Avestan dan Pahlavi.

Pengaruh ini menunjukkan betapa mendalamnya akar Avesta dalam identitas Persia, bahkan setelah agama itu tidak lagi menjadi dominan.

Tantangan dalam Studi Avesta

Meskipun Avesta adalah dokumen sejarah dan keagamaan yang tak ternilai, studinya datang dengan serangkaian tantangan yang unik dan signifikan:

1. Sifat Fragmentaris

Seperti yang telah dibahas, Avesta yang kita miliki saat ini adalah sebagian kecil dari korpus yang jauh lebih besar. Hilangnya sebagian besar Nask asli selama penaklukan Alexander Agung dan setelahnya berarti kita kehilangan konteks penting, penjelasan rinci, dan banyak teks teologis dan ritualistik. Ini membuat rekonstruksi ajaran lengkap Zoroastrianisme kuno menjadi tugas yang sulit dan seringkali spekulatif.

2. Bahasa yang Sulit dan Archaik

Avesta Kuno, khususnya, adalah bahasa yang sangat kompleks dan arkais. Meskipun memiliki kemiripan dengan Sansekerta Veda, ia memiliki fitur-fitur uniknya sendiri yang membuatnya sulit untuk diterjemahkan dan ditafsirkan. Bahkan di antara para sarjana, ada banyak ketidaksepakatan tentang makna pasti dari kata-kata dan frasa tertentu.

Ketergantungan pada literatur Pahlavi (terjemahan dan komentar Persia Tengah) untuk memahami Avesta juga menimbulkan masalah. Sementara Pahlavi sangat membantu, teks-teks ini ditulis berabad-abad setelah Avesta asli, dan penafsirannya mungkin telah dipengaruhi oleh teologi Zoroaster yang berkembang pada masa Sassanid, yang mungkin berbeda dari makna asli yang dimaksudkan oleh Zarathustra.

3. Kurangnya Konteks Historis dan Arkeologis

Meskipun Avesta memberikan banyak wawasan tentang kepercayaan, ia jarang memberikan detail historis atau geografis yang jelas. Penentuan tanggal Zarathustra dan peristiwa awal sangat bergantung pada analisis linguistik dan interpretasi tradisi. Bukti arkeologis langsung yang mengkonfirmasi detail yang disebutkan dalam Avesta juga relatif langka, meskipun situs-situs arkeologi di Iran dan Asia Tengah terus memberikan wawasan baru.

4. Interpretasi dan Pluralitas Pandangan

Karena kesulitan-kesulitan di atas, ada beragam interpretasi tentang ajaran Zoroaster, bahkan di antara para penganutnya sendiri. Misalnya, sifat dualisme telah menjadi topik perdebatan—apakah itu dualisme etis antara Roh Baik dan Roh Jahat yang berasal dari Ahura Mazda, atau dualisme yang lebih radikal di mana dua Roh ini benar-benar independen dan sama kekuatannya? Gathas cenderung mendukung pandangan etis, sementara beberapa teks Avesta Muda dan Pahlavi mungkin mengarah ke interpretasi yang lebih radikal.

Pluralitas interpretasi ini mencerminkan kekayaan dan kedalaman Avesta, tetapi juga menyoroti kompleksitas untuk mencapai pemahaman yang seragam dan definitif.

Zoroastrianisme Modern dan Avesta

Meskipun Zoroastrianisme telah menurun secara drastis dalam jumlah penganutnya dibandingkan masa kejayaannya, ia tetap menjadi agama yang hidup dengan komunitas yang tersebar di seluruh dunia, terutama di India (sebagai Parsi) dan Iran, serta diaspora di Amerika Utara, Eropa, dan Australia.

Avesta terus menjadi teks sentral dalam praktik keagamaan mereka. Para imam Zoroaster (Mobed) masih membacakan bagian-bagian Avesta dalam upacara-upacara suci di kuil api. Doa-doa dari Khordeh Avesta dibacakan setiap hari oleh umat awam. Bahasa Avestan dipelajari dan dihormati sebagai bahasa suci yang menghubungkan penganutnya dengan asal-usul iman mereka.

Di era modern, Zoroaster menghadapi tantangan baru dalam menjaga tradisi mereka, termasuk penurunan populasi, asimilasi, dan adaptasi terhadap dunia kontemporer. Namun, upaya untuk melestarikan Avesta dan menerjemahkannya ke dalam bahasa modern terus berlanjut, memastikan bahwa ajaran Nabi Zarathustra tetap dapat diakses dan relevan bagi generasi mendatang. Organisasi-organisasi Zoroaster aktif dalam mempromosikan studi tentang Avesta dan warisan Zoroaster.

Avesta, dengan segala tantangan dan fragmennya, tetap berdiri sebagai monumen kekayaan spiritual dan intelektual peradaban kuno. Ia bukan hanya sebuah kitab suci bagi ribuan penganutnya tetapi juga merupakan harta karun bagi kemanusiaan, yang memberikan wawasan tentang evolusi pemikiran agama, etika, dan filosofi yang terus bergema hingga hari ini.

Dari konsep monoteisme Ahura Mazda hingga dualisme etis, dari penekanan pada kehendak bebas hingga etika pikiran, perkataan, dan perbuatan baik, Avesta menawarkan sebuah visi dunia yang penuh makna dan tanggung jawab. Warisannya adalah pengingat akan kekuatan abadi dari ide-ide yang mendalam dan bagaimana sebuah teks kuno dapat terus menginspirasi dan membentuk peradaban.