Bagai Itik Pulang Petang: Sebuah Renungan Perjalanan Hidup

Dalam khazanah peribahasa dan idiom Melayu-Indonesia, terdapat mutiara-mutiara kebijaksanaan yang tak lekang oleh waktu, mampu menggambarkan kompleksitas kehidupan dengan cara yang sederhana namun mendalam. Salah satunya adalah frasa "Bagai itik pulang petang". Idiom ini, pada pandangan pertama, mungkin hanya sekadar deskripsi tentang gerakan lambat sekumpulan unggas. Namun, di baliknya tersembunyi makna filosofis yang kaya, mencerminkan perjalanan, kepulangan, kelelahan, harapan, dan esensi eksistensi manusia.

Artikel ini akan membawa kita menyelami lebih dalam idiom "Bagai itik pulang petang", mulai dari asal-usulnya, makna harfiah dan kiasan, relevansinya dalam berbagai aspek kehidupan, hingga refleksi personal yang dapat kita ambil darinya. Kita akan membahas mengapa itik dipilih sebagai simbol, apa yang terjadi saat senja tiba, dan bagaimana kombinasi keduanya menciptakan sebuah metafora yang universal dan abadi.

Siluet kawanan itik berjalan beriringan pulang petang menuju sarang.

1. Memahami Idiom "Bagai Itik Pulang Petang"

1.1. Makna Harfiah dan Konteks Asli

Secara harfiah, idiom ini melukiskan pemandangan sekelompok itik yang bergerak pulang ke kandangnya saat hari mulai gelap atau petang. Gerakan itik, terutama saat berjalan di darat, dikenal lambat, agak canggung, dan seringkali beriringan dalam barisan. Mereka tidak berlari cepat seperti ayam atau burung lainnya, melainkan melangkah perlahan dengan goyangan khas. Kata "petang" merujuk pada waktu senja, saat matahari mulai terbenam dan aktivitas harian berangsur usai, menandakan waktu untuk kembali beristirahat.

Pemandangan itik yang pulang ini adalah gambaran yang sangat umum di pedesaan, di mana itik seringkali dilepas untuk mencari makan di sawah atau sungai sepanjang hari. Ketika senja tiba, naluri mereka akan menuntun untuk kembali ke tempat yang aman, ke kandang mereka. Proses kepulangan ini bukan proses yang terburu-buru, melainkan langkah demi langkah, sabar, dan teratur.

1.2. Makna Kiasan: Kelelahan, Kesabaran, dan Kepulangan

Dari gambaran harfiah ini, lahirlah makna kiasan yang jauh lebih dalam. Idiom "Bagai itik pulang petang" digunakan untuk menggambarkan seseorang atau sekelompok orang yang:

Intinya, idiom ini menangkap esensi dari akhir sebuah siklus aktivitas, di mana kelelahan fisik adalah keniscayaan, tetapi ada tujuan yang jelas: rumah, tempat beristirahat, dan pemulihan.

2. Asal-Usul dan Konteks Budaya

2.1. Akar dalam Masyarakat Agraris

Peribahasa ini sangat berakar pada kehidupan masyarakat agraris di Nusantara. Kehidupan sehari-hari yang dekat dengan alam, peternakan, dan pertanian, membuat orang-orang mengamati perilaku hewan dengan seksama. Itik adalah hewan ternak yang umum, dan perilakunya yang khas saat pulang kandang di sore hari menjadi fenomena yang mudah dikenali dan dijadikan perumpamaan.

Pada masa lalu, saat belum ada lampu jalan dan transportasi modern, senja adalah penanda berakhirnya hari kerja di ladang atau sawah. Pulang ke rumah saat senja adalah rutinitas yang universal, dan proses kepulangan itu seringkali diwarnai dengan rasa lelah. Idiom ini menjadi cara yang pas untuk menggambarkan kondisi tersebut.

2.2. Perbandingan dengan Idiom Lain

Meskipun spesifik pada itik, konsep "pulang petang" juga memiliki kemiripan dengan idiom lain yang menggambarkan kelelahan atau lambatnya gerakan, namun dengan nuansa yang berbeda:

Perbedaan utama "Bagai itik pulang petang" adalah ia tidak selalu bermakna negatif seperti "malas" atau "tidak produktif." Seringkali, ia menggambarkan kelelahan yang wajar setelah bekerja keras, sebuah hasil dari upaya yang telah dicurahkan. Ada nuansa penerimaan terhadap kelelahan itu, sebagai bagian dari siklus kehidupan.

3. Filosofi di Balik Langkah Lambat Sang Itik

Lebih dari sekadar gambaran fisik, idiom ini menyimpan filosofi yang mendalam tentang kehidupan, perjalanan, dan makna kepulangan.

3.1. Kesabaran dan Ketekunan

Itik, meskipun lambat, tidak berhenti. Ia terus melangkah, satu demi satu, hingga mencapai tujuannya. Ini mengajarkan kita tentang kesabaran dan ketekunan. Dalam hidup, tidak semua perjalanan bisa ditempuh dengan cepat. Ada fase-fase di mana kita harus bergerak perlahan, menghadapi rintangan dengan tenang, dan terus maju meskipun terasa melelahkan. Keberhasilan seringkali bukan tentang siapa yang tercepat, tetapi siapa yang paling gigih dan tidak menyerah.

"Perjalanan seribu mil dimulai dengan satu langkah." – Lao Tzu

Idiom ini mengingatkan bahwa setiap langkah kecil, setiap upaya yang dilakukan, sekecil apa pun, akan membawa kita lebih dekat kepada tujuan, layaknya itik yang lambat laun akan sampai di kandangnya.

3.2. Realitas Kelelahan dan Kebutuhan akan Istirahat

Kelelahan adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Setelah beraktivitas seharian, tubuh dan pikiran membutuhkan istirahat. Idiom ini mengakui realitas ini. Ia tidak menghakimi kelelahan, melainkan menggambarkannya sebagai konsekuensi alami dari upaya yang telah dicurahkan. Ini adalah pengingat bahwa kita adalah makhluk yang terbatas, dan penting untuk mengenali kapan saatnya untuk melambat, beristirahat, dan memulihkan diri.

Dalam masyarakat modern yang serba cepat, seringkali ada tekanan untuk terus produktif tanpa henti. "Bagai itik pulang petang" menjadi sebuah antitesis, sebuah ajakan untuk menghargai proses pemulihan, untuk tidak memaksakan diri di luar batas, dan untuk memahami bahwa jeda adalah bagian esensial dari produktivitas jangka panjang.

3.3. Arti Sebuah Kepulangan

Aspek "pulang petang" sangat krusial. Kepulangan bukan hanya tentang kembali ke lokasi fisik, tetapi juga tentang kembali ke sumber kenyamanan, keamanan, dan ketenangan. Bagi itik, kandang adalah tempat aman dari predator dan cuaca buruk. Bagi manusia, "pulang" seringkali berarti kembali ke rumah, keluarga, atau bahkan ke diri sendiri setelah hiruk pikuk dunia luar.

Kepulangan juga bisa bersifat metaforis: kembali kepada nilai-nilai fundamental, menemukan kembali tujuan hidup, atau kembali ke kedamaian batin setelah periode gejolak. Setelah "berjuang" di dunia luar, kepulangan adalah momen untuk melepaskan beban, merenung, dan mengisi kembali energi.

4. Relevansi dalam Kehidupan Modern

Meskipun berasal dari konteks pedesaan, "Bagai itik pulang petang" tetap relevan dalam kehidupan modern yang kompleks.

4.1. Tantangan Kelelahan Mental dan Fisik

Di era digital, kelelahan tidak hanya fisik, tetapi juga mental. Tekanan pekerjaan, tuntutan sosial, banjir informasi, dan konektivitas tanpa henti dapat membuat seseorang merasa "bagai itik pulang petang" secara mental. Ada rasa letih yang mendalam, kurangnya motivasi, dan keinginan kuat untuk "pulang" ke zona nyaman, meskipun secara fisik mungkin masih berada di tempat kerja.

Peribahasa ini menjadi cerminan bagi mereka yang mengalami burnout, kejenuhan, atau bahkan depresi. Ini adalah suara yang mengingatkan bahwa tidak apa-apa untuk merasa lelah, dan penting untuk mencari cara untuk memulihkan diri.

4.2. Work-Life Balance dan Batasan Diri

Idiom ini secara implisit mengajarkan pentingnya menyeimbangkan kehidupan kerja dan pribadi (work-life balance). Seperti itik yang tahu kapan harus berhenti mencari makan dan kembali, manusia juga perlu tahu kapan harus mengakhiri aktivitas kerja dan kembali ke ruang pribadi untuk beristirahat dan bersosialisasi dengan keluarga atau teman.

Menetapkan batasan diri yang sehat antara pekerjaan dan istirahat adalah kunci untuk menghindari kelelahan kronis. Idiom ini berfungsi sebagai pengingat untuk tidak terus-menerus memaksakan diri, melainkan untuk menghormati siklus alami energi tubuh dan pikiran.

4.3. Perjalanan Pendidikan dan Karier

Dalam perjalanan pendidikan atau karier, kita seringkali merasa "bagai itik pulang petang." Ada tugas-tugas yang menumpuk, ujian yang melelahkan, proyek yang memakan waktu, atau tantangan profesional yang menguras energi. Progres mungkin terasa lambat, dan tujuan akhir mungkin tampak jauh.

Dalam konteks ini, idiom tersebut menjadi metafora untuk ketekunan. Meskipun lelah, setiap "langkah" (belajar, bekerja, mencoba lagi setelah gagal) adalah bagian dari perjalanan yang pada akhirnya akan membawa kita ke "kandang" (kelulusan, promosi, pencapaian tujuan). Ini mengajarkan kita untuk menghargai proses, bukan hanya hasilnya.

5. Mengapa Itik? Simbolisme Hewan dalam Peribahasa

Pemilihan itik sebagai subjek peribahasa ini bukan tanpa alasan. Hewan seringkali digunakan dalam peribahasa karena karakteristiknya yang khas dapat merepresentasikan sifat atau kondisi manusia.

5.1. Gerakan Itik yang Khas

Itik memiliki gerakan berjalan yang unik: terhuyung-huyung, melangkah pendek, dan seringkali beriringan. Gerakan ini secara intuitif diasosiasikan dengan kelambatan dan kelelahan, terutama jika dibandingkan dengan gerakan hewan lain yang lebih lincah.

Selain itu, itik adalah hewan yang komunal. Mereka sering terlihat bergerak dalam kelompok. Aspek ini menambah nuansa kebersamaan dalam kepulangan, seolah-olah semua orang merasakan kelelahan yang sama setelah seharian beraktivitas.

5.2. Kontras dengan Burung Lain

Berbeda dengan burung lain yang terbang cepat atau ayam yang berlari kecil, itik memiliki keterbatasan dalam bergerak di darat. Ini menonjolkan aspek "terpaksa lambat" atau "gerakan yang tidak efisien" setelah beraktivitas seharian di air atau lahan basah yang merupakan habitat alaminya. Kepulangan ke darat setelah seharian di lingkungan yang berbeda mungkin terasa lebih melelahkan bagi mereka.

5.3. Naluri Pulang yang Kuat

Itik, seperti banyak hewan ternak lainnya, memiliki naluri pulang (homing instinct) yang kuat. Mereka tahu di mana rumah mereka berada dan akan berusaha kembali ke sana, terutama saat senja tiba. Naluri ini menjadi simbol dari kebutuhan mendasar manusia akan tempat berlindung, keamanan, dan kehangatan setelah menghadapi dunia luar.

6. Refleksi Personal: Menemukan Makna dalam Kepulangan

Setiap orang pasti pernah merasakan menjadi "bagai itik pulang petang." Momen-momen tersebut, meskipun seringkali diwarnai kelelahan, justru dapat menjadi kesempatan untuk refleksi diri dan pertumbuhan.

6.1. Menerima Kelemahan dan Keterbatasan

Merasa lelah bukanlah tanda kegagalan, melainkan bagian dari keberadaan manusia. Idiom ini mengajarkan kita untuk menerima kelemahan dan keterbatasan diri. Tidak semua hari bisa menjadi hari yang penuh energi dan produktivitas tinggi. Ada saatnya kita harus melambat, mengakui bahwa energi kita terbatas, dan tidak memaksakan diri melampaui batas wajar.

Penerimaan ini penting untuk kesehatan mental. Daripada merasa bersalah karena lelah, kita bisa memandang kelelahan sebagai sinyal dari tubuh dan pikiran yang membutuhkan perhatian.

6.2. Menghargai Proses dan Perjalanan

Hidup adalah sebuah perjalanan yang panjang, bukan perlombaan cepat menuju garis finis. Idiom "Bagai itik pulang petang" mendorong kita untuk menghargai setiap langkah, setiap momen, bahkan saat kita merasa lelah dan lambat. Proses belajar, berkembang, dan menghadapi tantangan adalah bagian tak terpisahkan dari perjalanan.

Ketika kita terlalu fokus pada tujuan akhir dan mengabaikan prosesnya, kita mungkin kehilangan banyak pelajaran berharga di sepanjang jalan. Langkah-langkah itik yang lambat adalah pengingat untuk tetap hadir dalam setiap momen, meskipun melelahkan.

6.3. Pentingnya "Rumah" dan Kedamaian Batin

Konsep "pulang petang" menggarisbawahi pentingnya memiliki "rumah" – baik itu secara fisik, emosional, maupun spiritual. Rumah adalah tempat kita bisa menjadi diri sendiri, melepaskan topeng dunia luar, dan menemukan kedamaian.

Bagi sebagian orang, "rumah" mungkin adalah keluarga. Bagi yang lain, itu bisa berupa hobi, meditasi, atau bahkan sekadar sudut tenang di kamar. Menemukan dan memelihara "rumah" internal ini sangat penting untuk memulihkan diri dari kelelahan hidup. Ini adalah tempat di mana kita mengisi kembali energi, merefleksikan hari yang berlalu, dan mempersiapkan diri untuk hari esok.

7. "Bagai Itik Pulang Petang" dalam Seni dan Sastra

Sebagai idiom yang kaya makna, frasa "Bagai itik pulang petang" seringkali diadaptasi dan digunakan dalam berbagai bentuk seni dan sastra untuk menyampaikan pesan mendalam. Baik dalam puisi, prosa, lagu, maupun bahkan visual art, idiom ini menawarkan gambaran yang kuat mengenai kondisi manusia.

7.1. Dalam Puisi dan Prosa

Para penyair dan penulis sering menggunakan idiom ini untuk menggambarkan karakter yang lelah namun gigih, atau suasana senja yang melankolis namun penuh harapan. Misalnya, sebuah narasi bisa menggambarkan seorang petani tua yang "melangkah bagai itik pulang petang" dari sawah, memikul beban kerja seharian, namun di matanya terpancar harapan akan esok yang baru dan kehangatan keluarga di rumah.

Dalam prosa, frasa ini bisa menjadi perangkat naratif untuk menunjukkan perkembangan karakter. Seorang tokoh yang awalnya penuh semangat, namun setelah melalui berbagai rintangan hidup, digambarkan mulai melangkah "bagai itik pulang petang," menyiratkan kematangan, kelelahan, tetapi juga kebijaksanaan yang diperoleh dari pengalaman.

Idiom ini juga memberikan sentuhan lokal dan otentik pada karya sastra. Penggunaan peribahasa seperti ini tidak hanya memperkaya diksi, tetapi juga menghubungkan pembaca dengan akar budaya dan kearifan lokal yang terkandung di dalamnya.

7.2. Simbolisme dalam Lirik Lagu

Meskipun mungkin tidak secara harfiah muncul dalam lirik lagu populer, esensi "Bagai itik pulang petang" sering kali terjemah dalam melodi dan syair yang bercerita tentang kepulangan, kerinduan, kelelahan setelah perjuangan, dan harapan akan kedamaian. Lagu-lagu yang bertema kepulangan perantau, atau lagu-lagu balada yang mengisahkan perjuangan hidup, seringkali menyiratkan perasaan yang sama.

Bait-bait yang menggambarkan "langkah berat di penghujung hari," "mentari terbenam di ufuk barat," atau "menuju pelukan hangat keluarga" adalah manifestasi modern dari perasaan "bagai itik pulang petang." Musik memiliki kekuatan untuk membangkitkan emosi universal dari kelelahan dan kerinduan akan rumah.

7.3. Representasi Visual

Dalam seni rupa, gambaran siluet itik atau orang-orang yang berjalan beriringan saat senja sering menjadi motif yang kuat. Lukisan atau fotografi yang menangkap momen ini tidak hanya estetis, tetapi juga sarat makna. Cahaya keemasan senja yang berpadu dengan siluet yang bergerak lambat menciptakan suasana damai, reflektif, dan terkadang melankolis, yang persis seperti perasaan yang ditimbulkan oleh idiom ini.

Gambar seperti yang saya sertakan di awal artikel ini, dengan siluet itik dan matahari terbenam, adalah upaya visual untuk menangkap esensi dari peribahasa tersebut. Ini adalah cara non-verbal untuk menyampaikan pesan tentang akhir sebuah siklus dan kepulangan yang damai.

8. Mengelola Kelelahan: Pelajaran dari Itik

Meskipun idiom ini menggambarkan kelelahan, bukan berarti kita harus pasrah terhadapnya. Justru, pemahaman tentang "Bagai itik pulang petang" bisa menjadi titik tolak untuk belajar mengelola energi dan kesejahteraan diri.

8.1. Mengenali Sinyal Tubuh

Itik tahu kapan saatnya pulang. Tubuh kita juga memberikan sinyal ketika kelelahan mulai mendera. Sakit kepala, sulit konsentrasi, mudah marah, atau nyeri otot adalah beberapa tanda bahwa kita perlu melambat. Mempelajari dan menghormati sinyal-sinyal ini adalah langkah pertama untuk mencegah kelelahan ekstrem.

Seringkali, di tengah kesibukan, kita mengabaikan sinyal-sinyal tersebut. Kita terus mendorong diri, berharap bisa menuntaskan semua tugas. Namun, seperti itik yang tak bisa berlari kencang saat senja, ada batas fisik dan mental yang harus kita akui. Mengakui dan menghargai batas itu bukanlah kelemahan, melainkan kebijaksanaan.

8.2. Memprioritaskan Istirahat dan Pemulihan

Sama pentingnya dengan bekerja, istirahat dan pemulihan adalah fondasi untuk produktivitas berkelanjutan. Itik pulang petang untuk beristirahat. Kita juga harus memprioritaskan tidur yang cukup, luangkan waktu untuk relaksasi, dan lakukan aktivitas yang memulihkan energi, baik fisik maupun mental.

Ini bisa berarti:

Memperlakukan istirahat sebagai bagian integral dari jadwal harian, bukan sekadar opsi jika ada waktu luang, adalah kunci untuk menghindari perasaan "bagai itik pulang petang" yang kronis.

8.3. Menemukan Ritme Pribadi

Setiap orang memiliki ritme energi yang berbeda. Ada yang lebih produktif di pagi hari (morning person), ada pula yang lebih aktif di malam hari (night owl). Mengenali ritme pribadi kita dan mencoba menyesuaikan jadwal dengan ritme tersebut dapat mengurangi kelelahan dan meningkatkan efisiensi.

Itik memiliki ritme alami: mencari makan di siang hari dan pulang saat petang. Kita juga bisa mencari ritme alami kita sendiri, bukan hanya mengikuti ritme yang dipaksakan oleh lingkungan luar. Ini adalah tentang menciptakan kehidupan yang selaras dengan kebutuhan internal kita.

9. "Pulang Petang" dalam Konteks Sosial dan Komunal

Selain refleksi personal, idiom "Bagai itik pulang petang" juga dapat diperluas ke konteks sosial dan komunal. Ada momen-momen ketika sebuah komunitas atau bangsa secara kolektif merasakan kelelahan dan kebutuhan untuk "pulang" atau kembali ke kondisi yang lebih stabil.

9.1. Pasca Krisis atau Bencana

Setelah menghadapi krisis besar, seperti bencana alam, pandemi, atau konflik sosial, sebuah masyarakat mungkin akan merasakan kelelahan kolektif. Proses pemulihan dan rekonstruksi seringkali berjalan lambat dan melelahkan. Dalam situasi seperti ini, seluruh bangsa bisa diibaratkan "bagai itik pulang petang," perlahan-lahan kembali ke kehidupan normal, membangun kembali apa yang telah hancur, dengan harapan akan kedamaian dan kestabilan di masa depan.

Langkah-langkah yang diambil mungkin terasa berat, birokrasi yang rumit, dan sumber daya yang terbatas bisa membuat prosesnya sangat menguras tenaga. Namun, seperti itik yang terus melangkah, komunitas yang tangguh akan terus maju, satu langkah demi satu, menuju "kandang" keamanan dan kesejahteraan yang baru.

9.2. Transisi Periode Sejarah

Periode transisi dalam sejarah suatu negara, misalnya dari masa kolonial ke kemerdekaan, atau dari rezim otoriter ke demokrasi, juga bisa diibaratkan sebagai "pulang petang." Ini adalah perjalanan yang panjang dan seringkali penuh gejolak, di mana masyarakat harus berjuang keras untuk menemukan identitas baru, membangun sistem yang lebih baik, dan memulihkan luka-luka masa lalu.

Langkah-langkah reformasi, pembangunan, dan rekonsiliasi mungkin terasa lambat dan penuh tantangan, memunculkan perasaan lelah pada banyak pihak. Namun, esensi kepulangan adalah tentang kembali kepada idealisme awal, kepada cita-cita kemerdekaan atau keadilan, yang menjadi "rumah" bagi aspirasi bersama.

9.3. Migrasi dan Kepulangan Perantau

Bagi para migran atau perantau, konsep "pulang petang" memiliki makna yang sangat literal dan emosional. Setelah bertahun-tahun merantau jauh dari tanah kelahiran, menempuh perjalanan yang melelahkan fisik dan batin, momen kepulangan adalah puncak dari kerinduan yang mendalam. Mereka pulang "bagai itik pulang petang" – mungkin dengan langkah yang lelah dari perjalanan panjang, namun dengan hati yang penuh kelegaan dan sukacita karena akan segera bertemu keluarga di rumah.

Perasaan ini seringkali terekspresikan secara kuat selama musim liburan besar seperti Idul Fitri di Indonesia, di mana jutaan orang melakukan "mudik" atau pulang kampung. Meskipun perjalanan mudik seringkali sangat melelahkan, kemacetan, dan kepadatan, namun semangat untuk "pulang petang" ke pangkuan keluarga di kampung halaman mengalahkan segalanya.

10. Menjaga Api Harapan di Tengah Kelelahan

Aspek penting dari "Bagai itik pulang petang" adalah bahwa meskipun lelah, ada tujuan yang jelas. Itik tidak pulang tanpa tujuan; ia pulang ke kandangnya. Ini adalah sebuah metafora kuat untuk menjaga api harapan tetap menyala, bahkan di tengah kelelahan yang mendalam.

10.1. Visi yang Jelas

Seperti itik yang memiliki visi jelas tentang kandangnya, kita juga perlu memiliki visi atau tujuan yang jelas dalam hidup. Ketika kita tahu ke mana kita akan "pulang" – apa yang ingin kita capai, nilai-nilai apa yang kita anut, atau siapa yang kita sayangi – kelelahan menjadi lebih mudah ditanggung.

Visi yang jelas berfungsi sebagai kompas. Bahkan ketika langkah terasa berat dan pandangan mulai buram karena lelah, kompas tersebut mengingatkan kita arah mana yang harus dituju. Ia memberikan makna pada setiap langkah, sekecil apa pun.

10.2. Sumber Kekuatan dari Dalam

Kelelahan dapat menguras kekuatan fisik, tetapi kekuatan batin dapat menjadi sumber energi yang tak terbatas. Saat kita merasa "bagai itik pulang petang," kita bisa mencari kekuatan dari:

Kekuatan ini membantu kita terus melangkah, meskipun lambat, menuju "pulang" dengan martabat dan ketenangan.

10.3. Membangun "Kandang" yang Kuat

Metafora "kandang" bagi itik adalah tempat aman. Bagi kita, "kandang" ini perlu kita bangun dan pelihara dengan baik. Ini adalah lingkungan yang mendukung, baik fisik maupun emosional, di mana kita bisa memulihkan diri, merasa dihargai, dan mendapatkan kembali kekuatan.

Membangun "kandang" yang kuat bisa berarti:

Ketika "kandang" kita kuat, kita tahu bahwa setelah setiap perjalanan yang melelahkan, ada tempat yang aman dan nyaman untuk kembali.

Kesimpulan

Idiom "Bagai itik pulang petang" jauh lebih dari sekadar deskripsi visual tentang unggas. Ia adalah cerminan dari pengalaman universal manusia: kelelahan setelah berjuang, harapan akan kepulangan, ketekunan dalam perjalanan hidup, dan pentingnya istirahat serta pemulihan. Dari perspektif masyarakat agraris pedesaan hingga kehidupan modern yang serba cepat, makna filosofis yang terkandung di dalamnya tetap abadi dan relevan.

Ia mengingatkan kita bahwa tidak apa-apa untuk merasa lelah, bahwa melangkah lambat bukanlah kegagalan, dan bahwa setiap perjalanan memiliki tujuan akhir berupa kepulangan – baik itu ke rumah fisik, kedamaian batin, maupun pencapaian cita-cita. Seperti itik yang dengan sabar dan gigih melangkah pulang di senja hari, kita juga didorong untuk menjalani setiap fase kehidupan dengan pengertian, kesabaran, dan harapan yang tak pernah padam, menuju "kandang" kita sendiri yang penuh kedamaian.

Maka, ketika kita merasa langkah kita mulai berat, pikiran berkabut, dan energi menipis, ingatlah "Bagai itik pulang petang." Izinkan diri kita untuk melambat, beristirahat, dan secara bertahap melanjutkan perjalanan, yakin bahwa tujuan akhir akan tercapai. Dalam setiap kepulangan, ada pemulihan. Dalam setiap kelelahan, ada pelajaran. Dan dalam setiap langkah, meskipun lambat, ada kemajuan menuju kedamaian.