Bangunan liar atau permukiman informal adalah salah satu fenomena perkotaan dan perdesaan yang kompleks di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia. Isu ini bukan sekadar masalah pelanggaran tata ruang atau estetika semata, melainkan cerminan dari berbagai permasalahan sosial, ekonomi, dan hukum yang saling terkait yang telah mengakar kuat dalam struktur masyarakat. Dari pinggir sungai hingga lahan kosong milik negara, dari kolong jembatan hingga di atas tanah privat yang tidak berizin, bangunan-bangunan ini berdiri menantang regulasi dan menimbulkan serangkaian konsekuensi yang multidimensional dan berkelanjutan. Keberadaan bangunan liar seringkali menjadi dilema tersendiri bagi pemerintah, masyarakat, dan para penghuninya, menciptakan lingkaran setan permasalahan yang sulit dipecahkan tanpa pendekatan yang komprehensif dan berkeadilan.
Di satu sisi, permukiman informal ini merupakan respons terhadap kebutuhan dasar akan tempat tinggal yang layak dan terjangkau bagi sebagian besar penduduk, terutama mereka yang terpinggirkan secara ekonomi atau yang baru saja menjalani urbanisasi masif. Mereka tidak memiliki akses atau kemampuan untuk bersaing di pasar perumahan formal yang harganya terus meroket. Oleh karena itu, membangun di lahan-lahan yang tidak memiliki status hukum jelas menjadi pilihan terakhir untuk bertahan hidup dan mencari nafkah. Fenomena ini juga sering menjadi penanda kegagalan sistem penyediaan perumahan yang inklusif dan responsif terhadap dinamika populasi.
Di sisi lain, bangunan liar menimbulkan berbagai dampak negatif yang signifikan di berbagai sektor. Dampak-dampak ini tidak hanya dirasakan oleh para penghuninya sendiri, melainkan juga masyarakat secara luas, lingkungan hidup, serta sistem pemerintahan dan penegakan hukum. Mulai dari kerusakan lingkungan yang irreversible, kerawanan sosial yang memicu konflik, hingga kerugian ekonomi yang substansial dan masalah hukum yang berkepanjangan, keberadaan bangunan liar menjadi beban kolektif yang harus ditanggung bersama. Ketidakteraturan ini juga menghambat upaya pemerintah dalam menata kota, menyediakan infrastruktur, dan mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan.
Artikel ini akan mengupas tuntas berbagai aspek terkait bangunan liar, menganalisis penyebab kemunculannya dari berbagai perspektif, menguraikan dampak-dampak yang ditimbulkannya secara mendalam, serta meninjau berbagai upaya penanganan dan perspektif ke depan dalam menghadapi tantangan yang ada. Kita akan melihat bagaimana bangunan liar tidak hanya mempengaruhi individu dan keluarga yang tinggal di dalamnya, tetapi juga masyarakat secara luas, lingkungan hidup, serta sistem pemerintahan dan penegakan hukum. Memahami fenomena ini secara komprehensif dan multidimensional adalah langkah awal yang krusial untuk merumuskan solusi yang tidak hanya reaktif, tetapi juga preventif, berkelanjutan, dan berkeadilan bagi semua pihak yang terlibat.
Definisi bangunan liar tidak selalu tunggal dan dapat bervariasi tergantung pada konteks hukum, sosiologis, dan geografisnya. Namun, secara umum, bangunan liar merujuk pada konstruksi fisik yang didirikan tanpa izin resmi dari otoritas yang berwenang, atau yang melanggar ketentuan tata ruang, hak kepemilikan tanah, atau standar pembangunan yang berlaku. Fenomena ini mencakup berbagai bentuk, mulai dari gubuk sederhana yang bersifat temporer hingga permukiman padat yang telah berkembang secara organik selama bertahun-tahun, bahkan memiliki fasilitas dasar yang dibangun sendiri oleh masyarakat. Bangunan-bangunan ini seringkali muncul sebagai solusi pragmatis bagi individu dan keluarga yang menghadapi kendala serius dalam mengakses perumahan yang aman, layak, dan legal.
Karakteristik bangunan liar dapat sangat beragam, namun terdapat beberapa ciri umum yang membedakannya dari permukiman legal:
Memahami karakteristik ini penting untuk dapat merumuskan kebijakan yang tepat guna, karena penanganan bangunan liar tidak bisa disamakan dengan penanganan permukiman legal. Pendekatan yang holistik dan humanis sangat dibutuhkan, mengingat dimensi kemanusiaan yang kuat di balik setiap keberadaan bangunan liar.
Penyebab kemunculan bangunan liar sangat multidimensional dan seringkali saling berkaitan, membentuk sebuah jejaring kompleks dari faktor-faktor pendorong. Tidak ada satu faktor tunggal yang dapat menjelaskan fenomena ini secara menyeluruh, melainkan gabungan dari tekanan sosial, ekonomi, politik, lingkungan, dan kegagalan institusional. Membedah akar permasalahan ini adalah kunci untuk mengembangkan strategi pencegahan dan penanganan yang efektif.
Salah satu pendorong utama adalah urbanisasi yang tidak terkendali. Gelombang migrasi dari desa ke kota yang didorong oleh harapan mencari pekerjaan, pendidikan yang lebih baik, dan akses layanan yang lebih modern telah menyebabkan peningkatan drastis populasi perkotaan. Sayangnya, pertumbuhan kota seringkali tidak diimbangi dengan ketersediaan lahan perumahan yang layak dan terjangkau.
Kemiskinan adalah akar masalah yang paling mendasar. Masyarakat berpenghasilan rendah atau tidak tetap seringkali tidak mampu membeli atau menyewa rumah di pasar formal. Kondisi ekonomi yang sulit, pendapatan yang tidak stabil, dan ketiadaan akses terhadap kredit perumahan memaksa mereka untuk mencari solusi yang paling ekonomis, yaitu dengan membangun di lahan kosong yang tidak memiliki status hukum jelas.
Lemahnya implementasi regulasi dan pengawasan oleh pemerintah daerah turut berkontribusi pada menjamurnya bangunan liar. Tanpa penegakan hukum yang konsisten dan tegas, masyarakat cenderung melihat celah untuk membangun tanpa izin.
Meskipun pemerintah telah meluncurkan berbagai program perumahan rakyat (misalnya rumah susun sederhana sewa/milik), implementasinya belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat yang membutuhkan.
Dalam beberapa kasus, bangunan liar muncul sebagai respons terhadap situasi darurat. Korban bencana alam (banjir, gempa, letusan gunung berapi) atau konflik sosial yang kehilangan tempat tinggal seringkali terpaksa membangun kembali kehidupan mereka di lokasi baru tanpa izin atau perencanaan yang matang, membentuk permukiman informal dadakan.
Lahan yang tidak jelas status kepemilikannya atau sedang dalam sengketa menjadi target mudah untuk diduduki. Adanya "mafia tanah" yang memanfaatkan situasi ini untuk kepentingan pribadi, seperti menjual kavling ilegal atau memungut iuran dari penghuni tanpa dasar hukum, memperkeruh masalah kepemilikan dan legitimasi.
Keterikatan komunal yang kuat di antara kelompok masyarakat tertentu, atau persepsi bahwa menduduki lahan kosong adalah hak bagi mereka yang membutuhkan, juga dapat menjadi faktor pendorong. Solidaritas sosial di antara penghuni seringkali kuat, menciptakan komunitas yang resilient namun di luar jalur legal.
Semua faktor ini saling berinteraksi, menciptakan ekosistem yang kompleks di mana bangunan liar tumbuh subur. Mengatasi masalah ini memerlukan pemahaman mendalam tentang setiap faktor dan pendekatan yang terkoordinasi dari berbagai pihak.
Kehadiran bangunan liar, meskipun seringkali menjadi solusi sementara bagi masalah tempat tinggal, membawa serangkaian dampak negatif yang luas dan mendalam di berbagai aspek kehidupan. Dampak ini tidak hanya memengaruhi penghuni permukiman ilegal itu sendiri, tetapi juga masyarakat kota secara keseluruhan, lingkungan hidup, serta efektivitas sistem hukum dan administrasi negara.
Dampak sosial dari bangunan liar sangatlah kompleks dan seringkali paling terasa secara langsung dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Kehidupan di permukiman informal seringkali diwarnai oleh ketidakpastian, kerentanan, dan keterbatasan akses terhadap hak-hak dasar.
Salah satu dampak paling krusial adalah masalah kesehatan. Bangunan liar umumnya tidak memiliki akses memadai ke air bersih, sistem pembuangan limbah yang layak, dan sanitasi yang higienis. Ini menciptakan lingkungan yang sangat rentan terhadap penyebaran penyakit menular. Kondisi kumuh, tumpukan sampah, dan genangan air kotor menjadi sarang bagi vektor penyakit seperti nyamuk (penyebab demam berdarah dan malaria), tikus (penyebab leptospirosis), dan bakteri penyebab diare atau penyakit kulit. Tingkat kematian bayi dan anak-anak seringkali lebih tinggi di permukiman informal dibandingkan permukiman formal.
Selain itu, praktik buang air besar sembarangan (BABS) di sungai atau lahan terbuka, ketiadaan septic tank atau instalasi pengolahan air limbah (IPAL) komunal yang memadai, serta kurangnya pendidikan kesehatan, memperparah masalah ini. Kualitas udara juga memburuk karena pembakaran sampah ilegal atau asap dari dapur yang tidak memiliki ventilasi baik.
Lingkungan bangunan liar yang padat, tidak terencana, dan kurangnya penerangan seringkali dikaitkan dengan peningkatan risiko kriminalitas. Struktur rumah yang tidak permanen dan akses jalan yang sempit mempersulit polisi untuk berpatroli dan merespons tindak kejahatan. Konflik internal antar penghuni atau dengan masyarakat sekitar juga rentan terjadi akibat perebutan sumber daya, sengketa lahan, atau perbedaan sosial. Isu-isu seperti peredaran narkoba, perjudian, dan prostitusi juga bisa berkembang di lingkungan yang kurang pengawasan dan di mana tingkat pendidikan serta kesejahteraan rendah.
Anak-anak yang tinggal di bangunan liar seringkali menghadapi hambatan besar dalam mengakses pendidikan berkualitas. Lokasi sekolah yang jauh, biaya pendidikan (meskipun gratis, ada biaya terselubung seperti seragam atau buku), dan keharusan membantu keluarga mencari nafkah membuat banyak dari mereka putus sekolah atau tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Ketiadaan akta kelahiran atau dokumen identitas lainnya juga mempersulit pendaftaran sekolah. Selain pendidikan, akses terhadap layanan kesehatan, transportasi publik, dan fasilitas rekreasi juga terbatas atau tidak ada sama sekali, yang berdampak pada kualitas hidup dan mobilitas sosial mereka.
Bangunan liar, dengan kondisinya yang kumuh dan tidak teratur, seringkali merusak estetika kota dan menciptakan citra negatif. Bagi penghuninya sendiri, hidup di lingkungan yang tidak sehat dan tidak nyaman dapat menurunkan kualitas hidup secara signifikan, menyebabkan stres, depresi, dan perasaan terpinggirkan. Hal ini juga mempengaruhi citra pariwisata dan investasi di kota tersebut, karena menciptakan persepsi kota yang tidak teratur dan tidak bersih.
Kehadiran bangunan liar dapat memicu konflik antara penghuni dengan pemerintah (terutama saat penertiban), antara penghuni dengan pemilik lahan (jika lahan privat), atau bahkan dengan masyarakat legal di sekitarnya yang merasa terganggu oleh dampak negatif seperti pencemaran atau kepadatan. Penghuni bangunan liar juga seringkali mengalami stigmatisasi dan diskriminasi, dicap sebagai kelompok marjinal atau penyebab masalah kota, yang pada gilirannya dapat memperdalam ketidakadilan sosial dan menghambat integrasi mereka ke dalam masyarakat yang lebih luas.
Pembentukan kantong-kantong permukiman informal seringkali menyebabkan ghettoisasi, yaitu pengelompokan masyarakat miskin dan terpinggirkan dalam satu area tertentu. Ini memperkuat marginalisasi sosial dan ekonomi mereka, karena akses terhadap peluang pekerjaan, pendidikan, dan layanan publik menjadi semakin terbatas. Mereka terputus dari arus utama pembangunan dan sulit keluar dari lingkaran kemiskinan.
Dampak ekonomi dari bangunan liar juga tidak kalah signifikan, memengaruhi keuangan negara, investasi, dan nilai properti secara luas. Meskipun ada sisi ekonomi informal yang berkembang di dalamnya, kerugian jangka panjang seringkali jauh lebih besar.
Pemerintah mengalami kerugian finansial yang besar akibat keberadaan bangunan liar. Ini termasuk:
Keberadaan permukiman kumuh dan tidak teratur dapat menyebabkan penurunan nilai properti di area sekitarnya. Investor enggan menanamkan modal di wilayah yang berdekatan dengan bangunan liar karena risiko keamanan, masalah lingkungan, dan citra buruk. Hal ini dapat menghambat pengembangan kawasan dan menurunkan potensi penerimaan pajak properti di masa depan.
Bangunan liar seringkali berdiri di atas jalur hijau, sempadan sungai, atau lahan yang seharusnya digunakan untuk pembangunan infrastruktur publik (jalan, jembatan, saluran air, jaringan listrik). Hal ini menyebabkan pembangunan proyek-proyek vital terhambat, tertunda, atau harus mengeluarkan biaya tambahan yang sangat besar untuk pembebasan lahan dan relokasi. Ini memperlambat pertumbuhan ekonomi dan efisiensi kota.
Meskipun sebagian besar penghuni bangunan liar terlibat dalam ekonomi informal (pedagang kaki lima, pekerja serabutan), yang pada satu sisi memberikan kontribusi kecil bagi perputaran ekonomi lokal, kondisi ini juga rentan terhadap eksploitasi. Penghuni seringkali membayar iuran tidak resmi kepada "koordinator" atau "preman" setempat, yang merupakan bentuk pungutan liar dan tidak sah. Selain itu, kondisi kerja di sektor informal seringkali tidak aman, tanpa jaminan sosial, dan upah yang rendah.
Pemerintah terpaksa mengalokasikan anggaran yang signifikan untuk mengatasi dampak negatif bangunan liar, mulai dari penanganan masalah kesehatan, pembersihan lingkungan, hingga penegakan hukum. Anggaran ini seharusnya dapat dialokasikan untuk sektor-sektor produktif lainnya yang mendukung pembangunan jangka panjang.
Lingkungan adalah salah satu sektor yang paling parah terkena dampak dari keberadaan bangunan liar. Praktik-praktik yang tidak berkelanjutan dan ketiadaan infrastruktur dasar menyebabkan degradasi lingkungan yang serius dan seringkali irreversible.
Bangunan liar hampir selalu berkorelasi dengan pencemaran lingkungan yang parah:
Bangunan liar seringkali didirikan di area yang memiliki fungsi ekologis vital bagi kota:
Penghuni bangunan liar seringkali tinggal di lokasi-lokasi yang sangat rentan terhadap bencana alam, yang ironisnya juga diperparah oleh keberadaan mereka:
Perusakan habitat alami akibat perluasan bangunan liar, baik di darat maupun di perairan, mengancam keanekaragaman hayati lokal. Banyak spesies tumbuhan dan hewan kehilangan tempat tinggal dan sumber makanan, yang dapat mengganggu keseimbangan ekosistem.
Aspek hukum dan administrasi adalah fondasi di mana masalah bangunan liar bermula. Pelanggaran terhadap peraturan dan hukum menciptakan kekacauan dan ketidakpastian yang berujung pada berbagai konsekuensi lainnya.
Inti dari keberadaan bangunan liar adalah pelanggaran terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan peraturan daerah lainnya. Setiap pembangunan harus sesuai dengan peruntukan lahan yang telah ditetapkan pemerintah. Ketika bangunan didirikan di luar peruntukan ini, ia mengganggu rencana pembangunan kota, menciptakan anomali dalam struktur perkotaan, dan menyulitkan pemerintah dalam menyediakan layanan yang terintegrasi dan efisien.
Status tanah yang tidak jelas atau tanpa hak kepemilikan yang sah menimbulkan masalah administrasi yang rumit. Pemerintah kesulitan dalam mendata kepemilikan, memungut pajak, atau bahkan merencanakan pembangunan di area tersebut. Ini menciptakan "area abu-abu" di mana hukum pertanahan tidak dapat diterapkan secara efektif, membuka peluang bagi sengketa dan praktik-praktik ilegal lainnya. Para penghuni juga tidak memiliki jaminan legal atas tempat tinggal mereka, sehingga tidak dapat mengakses bantuan pemerintah yang mensyaratkan bukti kepemilikan.
Penegakan hukum terhadap bangunan liar seringkali menjadi dilema moral dan politis bagi pemerintah. Di satu sisi, pemerintah memiliki kewajiban untuk menegakkan hukum dan tata ruang demi kepentingan umum. Di sisi lain, penertiban yang keras dapat menimbulkan konflik sosial, pelanggaran hak asasi manusia (terutama hak atas tempat tinggal), dan resistensi dari masyarakat yang terpaksa kehilangan satu-satunya tempat tinggal mereka. Proses penegakan hukum menjadi lambat, tidak konsisten, dan seringkali melibatkan biaya sosial yang tinggi, termasuk citra negatif pemerintah.
Penghuni bangunan liar seringkali tidak memiliki dokumen identitas atau surat kependudukan yang lengkap (KTP, Kartu Keluarga) karena alamat mereka tidak diakui secara resmi. Ketiadaan status hukum ini membatasi akses mereka terhadap berbagai hak dasar sebagai warga negara, seperti pendaftaran pemilu, akses kesehatan dan pendidikan formal, bantuan sosial, atau bahkan membuka rekening bank. Mereka menjadi warga negara "kelas dua" yang terpinggirkan secara administratif.
Ancaman penggusuran selalu membayangi penghuni bangunan liar. Ketidakpastian ini menciptakan tekanan psikologis yang besar, menghambat mereka untuk berinvestasi dalam perbaikan rumah atau mengembangkan kehidupan jangka panjang. Penggusuran, jika tidak dilakukan dengan pendekatan humanis dan penyediaan solusi alternatif yang layak, dapat memperparah kemiskinan dan memindahkan masalah ke lokasi lain.
Jika bangunan liar tidak ditangani secara konsisten dan tegas, hal ini dapat menciptakan preseden buruk. Masyarakat lain mungkin melihat bahwa membangun tanpa izin adalah hal yang mungkin dilakukan tanpa konsekuensi serius, sehingga mendorong munculnya bangunan liar baru di tempat lain. Ini merusak wibawa hukum dan tata kelola pemerintahan yang baik.
Penanganan bangunan liar menciptakan beban birokrasi yang signifikan bagi pemerintah daerah, mulai dari pendataan, sosialisasi, negosiasi, hingga pelaksanaan penertiban dan relokasi. Proses ini seringkali memakan waktu, tenaga, dan sumber daya yang sangat besar, mengalihkan fokus dari program pembangunan lain.
Untuk lebih memahami kompleksitas bangunan liar, ada baiknya kita meninjau beberapa studi kasus konseptual yang menggambarkan di mana dan bagaimana fenomena ini sering muncul, meskipun tanpa menyebutkan lokasi spesifik untuk menjaga generalisasi dan fokus pada pola umum.
Salah satu lokasi paling umum ditemukannya bangunan liar adalah di sepanjang tepi sungai, kanal, atau saluran air. Masyarakat cenderung memilih lokasi ini karena akses ke air (meskipun seringkali tercemar) dan kemudahan untuk membuang limbah. Selain itu, lahan sempadan sungai seringkali dianggap sebagai lahan kosong yang tidak terurus dan relatif "gratis" untuk diduduki.
Kolong jembatan layang atau jalur tol yang jarang dimanfaatkan juga sering menjadi tempat tumbuhnya bangunan liar. Area ini menawarkan "perlindungan" dari panas dan hujan, serta seringkali berada di dekat akses jalan utama atau pusat kota. Masyarakat miskin kota memanfaatkan ruang-ruang sisa ini sebagai tempat berteduh dan beraktivitas.
Lahan kosong yang tidak terurus, baik milik pemerintah (misalnya lahan bekas proyek, lahan cadangan, atau lahan hijau) maupun milik swasta yang lama terbengkalai, seringkali menjadi sasaran empuk bagi pendudukan liar. Masyarakat melihat lahan-lahan ini sebagai "tidak bertuan" dan memanfaatkan ketiadaan pengawasan.
Beberapa bangunan liar juga didirikan di jalur hijau kota atau area yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Ini adalah pelanggaran serius terhadap tata ruang yang memiliki dampak jangka panjang terhadap lingkungan kota.
Masing-masing studi kasus konseptual ini menunjukkan bahwa meskipun ada kesamaan karakteristik dasar, konteks dan dampak spesifik dapat bervariasi tergantung lokasi dan fungsi lahan yang diduduki. Hal ini menggarisbawahi perlunya pendekatan yang disesuaikan dan sensitif terhadap kondisi lokal dalam setiap upaya penanganan.
Mengatasi permasalahan bangunan liar memerlukan pendekatan yang komprehensif, terintegrasi, dan berkelanjutan, melibatkan berbagai pemangku kepentingan, serta menyeimbangkan antara penegakan hukum dan dimensi kemanusiaan. Solusi tidak bisa hanya bersifat reaktif (penertiban), tetapi harus juga preventif dan pemberdayaan.
Pencegahan adalah kunci untuk menghentikan pertumbuhan bangunan liar baru dan mencegah masalah serupa di masa depan.
Pemerintah harus menyusun dan melaksanakan rencana tata ruang yang visioner, inklusif, dan responsif terhadap dinamika pertumbuhan kota. Rencana ini harus secara jelas menetapkan peruntukan lahan untuk permukiman, industri, ruang terbuka hijau, dan fasilitas umum, serta mengantisipasi kebutuhan perumahan bagi seluruh lapisan masyarakat, termasuk masyarakat berpenghasilan rendah. Proses penyusunan tata ruang juga harus melibatkan partisipasi aktif masyarakat agar sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi lokal, serta meningkatkan rasa kepemilikan dan kepatuhan.
Pemerintah harus meningkatkan investasi dalam program perumahan rakyat yang terjangkau dan layak. Ini bisa berupa pembangunan rumah susun sederhana sewa (Rusunawa) atau sederhana milik (Rusunami) di lokasi strategis yang dekat dengan pusat pekerjaan dan fasilitas umum. Program ini harus dirancang agar mudah diakses oleh masyarakat berpenghasilan rendah, dengan skema pembayaran yang fleksibel dan persyaratan yang tidak memberatkan. Inovasi dalam teknologi konstruksi untuk menekan biaya juga perlu didorong.
Penegakan hukum terhadap pelanggaran tata ruang dan pembangunan tanpa izin harus dilakukan secara konsisten, transparan, dan tanpa pandang bulu. Pengawasan rutin oleh aparat terkait diperlukan untuk mendeteksi dini upaya pembangunan liar dan segera menindak tegas. Sanksi harus efektif dan memberikan efek jera, tanpa mengabaikan aspek humanis. Peningkatan kapasitas dan integritas petugas penegak hukum juga sangat penting untuk meminimalkan praktik korupsi.
Pemerintah perlu mempercepat proses pendataan dan sertifikasi lahan, terutama lahan-lahan yang berpotensi menjadi objek sengketa atau diduduki secara liar. Dengan status kepemilikan yang jelas, akan lebih mudah untuk mengelola dan memanfaatkan lahan secara legal, serta mencegah pendudukan ilegal. Program reforma agraria dan legalisasi aset bagi masyarakat yang berhak juga perlu diperluas.
Sosialisasi mengenai pentingnya menaati aturan tata ruang, bahaya membangun secara liar, serta hak dan kewajiban warga negara dalam memiliki tempat tinggal perlu terus dilakukan. Edukasi ini dapat membantu meningkatkan kesadaran masyarakat dan mengurangi keinginan untuk membangun tanpa izin.
Jika bangunan liar sudah terlanjur berdiri dan berada di lokasi yang sangat vital atau membahayakan, penertiban dan relokasi mungkin menjadi pilihan terakhir. Namun, proses ini harus dilakukan dengan pendekatan yang humanis dan berkeadilan.
Prioritaskan dialog, musyawarah, dan negosiasi dengan penghuni. Libatkan tokoh masyarakat, akademisi, dan organisasi non-pemerintah sebagai mediator. Hindari kekerasan dan pendekatan represif. Berikan waktu yang cukup bagi penghuni untuk mempersiapkan diri dan mencari alternatif.
Pemerintah harus menyediakan hunian pengganti yang layak dan terjangkau sebelum melakukan penggusuran. Hunian ini bisa berupa rumah susun, rumah sederhana, atau skema pemukiman kembali. Lokasi hunian pengganti harus strategis, dekat dengan fasilitas umum, pekerjaan, dan tidak jauh dari komunitas lama agar tidak mengganggu mata pencarian dan jaringan sosial penghuni.
Selain hunian, pemerintah juga perlu menyediakan bantuan sosial dan ekonomi bagi keluarga yang direlokasi, seperti bantuan biaya hidup sementara, pelatihan keterampilan baru, atau modal usaha kecil. Tujuannya adalah untuk membantu mereka beradaptasi di lingkungan baru dan meningkatkan kemandirian ekonomi.
Seluruh proses penertiban dan relokasi harus dilakukan secara transparan dan akuntabel. Informasikan secara jelas mengenai rencana, prosedur, dan kompensasi atau bantuan yang akan diberikan. Mekanisme pengaduan bagi masyarakat juga harus tersedia dan berfungsi dengan baik.
Untuk bangunan liar yang tidak berada di lokasi yang sangat vital atau membahayakan, pendekatan perbaikan dan pemberdayaan masyarakat bisa menjadi alternatif yang lebih baik daripada penggusuran.
Di beberapa kasus, jika memungkinkan dan tidak melanggar tata ruang yang fundamental, pemerintah dapat mempertimbangkan legalisasi status tanah bagi permukiman informal yang telah lama berdiri. Ini bisa diikuti dengan program peningkatan kualitas permukiman (slum upgrading) melalui penyediaan infrastruktur dasar (air bersih, sanitasi, jalan), perbaikan drainase, pengelolaan sampah, dan pembangunan fasilitas umum.
Fokus pada peningkatan kapasitas ekonomi penghuni melalui pelatihan keterampilan yang relevan dengan pasar kerja, fasilitasi akses ke pasar, dan penyediaan modal usaha mikro. Ini akan membantu mereka keluar dari jerat kemiskinan dan meningkatkan kemandirian finansial.
Perluasan program kesehatan masyarakat, posyandu, dan puskesmas di permukiman informal, serta memastikan anak-anak mendapatkan akses ke pendidikan formal yang layak. Program literasi dan pendidikan non-formal juga dapat membantu meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Mendukung pembentukan dan penguatan organisasi masyarakat lokal untuk mengelola lingkungan mereka sendiri, memecahkan masalah bersama, dan berpartisipasi dalam perencanaan pembangunan. Ini akan meningkatkan kohesi sosial dan menciptakan komunitas yang lebih resilient.
Keberhasilan penanganan bangunan liar membutuhkan sinergi dari berbagai pihak.
Meskipun berbagai upaya telah dilakukan, penanganan bangunan liar tetap menghadapi dilema dan tantangan besar yang membutuhkan pemikiran dan inovasi berkelanjutan. Ini bukan hanya tentang menghilangkan bangunan fisik, tetapi tentang mengatasi akar masalah kemiskinan dan ketidakadilan.
Salah satu dilema terbesar adalah bagaimana menyeimbangkan antara hak asasi manusia, khususnya hak atas tempat tinggal, dengan kewajiban pemerintah untuk menegakkan hukum dan tata ruang demi kepentingan publik yang lebih luas. Penggusuran yang tidak manusiawi dapat melanggar hak asasi, sementara pembiaran dapat menciptakan preseden buruk dan merusak tatanan kota. Mencari titik temu yang adil adalah tantangan abadi.
Banyak program penanganan seringkali bersifat jangka pendek atau reaktif. Tantangan ke depan adalah bagaimana menciptakan solusi yang berkelanjutan, yang tidak hanya menyelesaikan masalah saat ini tetapi juga mencegah masalah serupa muncul kembali di masa depan. Ini memerlukan investasi jangka panjang, komitmen politik, dan perubahan struktural yang mendalam.
Urbanisasi akan terus berlanjut, dan seiring dengan itu, tekanan terhadap lahan perkotaan akan semakin meningkat. Ditambah lagi dengan tantangan perubahan iklim yang meningkatkan risiko bencana (banjir, kekeringan, kenaikan permukaan air laut), permukiman liar di daerah rentan akan semakin terancam. Solusi masa depan harus terintegrasi dengan strategi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Pemerintah perlu terus berinovasi dalam merumuskan kebijakan perumahan yang lebih inklusif dan terjangkau, serta memanfaatkan teknologi (misalnya data spasial, smart city) untuk pengawasan tata ruang yang lebih efektif dan pendataan permukiman yang lebih akurat. Keterlibatan start-up dan sektor swasta dalam mencari solusi kreatif juga penting.
Mendorong perubahan mindset di kalangan masyarakat bahwa pembangunan harus berdasarkan aturan dan legalitas, serta membangun budaya partisipasi aktif dalam perencanaan kota, adalah tantangan non-teknis yang krusial. Pemerintah juga harus mengubah mindset dari sekadar penertiban menjadi pemberdayaan dan pencegahan.
Bangunan liar adalah manifestasi kompleks dari berbagai masalah sosial, ekonomi, lingkungan, dan hukum yang saling terkait erat. Keberadaannya bukan sekadar anomali dalam perencanaan kota, melainkan cerminan nyata dari ketimpangan, kemiskinan, dan keterbatasan akses terhadap hak dasar, terutama hak atas tempat tinggal yang layak dan terjangkau bagi sebagian besar masyarakat.
Dampak yang ditimbulkannya bersifat multidimensional dan destruktif, mulai dari degradasi lingkungan yang serius seperti pencemaran air dan tanah serta peningkatan risiko bencana, hingga masalah sosial yang mendalam seperti kerawanan kesehatan, keamanan yang buruk, terbatasnya akses pendidikan dan layanan publik, serta konflik sosial. Secara ekonomi, bangunan liar menimbulkan kerugian besar bagi negara dan menghambat pembangunan infrastruktur serta investasi. Dari sisi hukum dan administrasi, ia merusak tatanan tata ruang, menciptakan ketidakpastian status lahan, dan menempatkan penghuninya dalam posisi yang rentan terhadap penggusuran serta marginalisasi administratif.
Menghadapi fenomena ini, pendekatan yang komprehensif dan berkelanjutan adalah suatu keniscayaan. Pencegahan harus menjadi prioritas utama melalui perencanaan tata ruang yang inklusif, penyediaan perumahan terjangkau yang masif dan mudah diakses, serta penegakan hukum yang konsisten dan tanpa kompromi. Jika penertiban tidak dapat dihindari, prosesnya harus dilakukan dengan pendekatan yang humanis, disertai penyediaan hunian pengganti yang layak dan strategis, serta bantuan sosial-ekonomi untuk memastikan keberlangsungan hidup penghuni yang direlokasi.
Lebih dari itu, pemberdayaan masyarakat di permukiman informal, melalui program peningkatan kualitas permukiman, pelatihan keterampilan, dan peningkatan akses terhadap layanan dasar, adalah langkah krusial untuk mengangkat mereka dari kemiskinan dan ketidakpastian. Sinergi antara pemerintah, masyarakat sipil, sektor swasta, dan akademisi sangat diperlukan untuk merumuskan dan melaksanakan solusi yang efektif.
Tantangan masa depan akan semakin kompleks seiring dengan laju urbanisasi, dampak perubahan iklim, dan dinamika sosial ekonomi. Oleh karena itu, komitmen politik yang kuat, inovasi dalam kebijakan, serta perubahan mindset dari semua pihak untuk melihat bangunan liar bukan hanya sebagai masalah, tetapi juga sebagai peluang untuk mewujudkan kota yang lebih adil, berkelanjutan, dan inklusif, adalah kunci untuk mencapai masa depan di mana setiap warga negara memiliki hak atas tempat tinggal yang layak dan aman.