Di hamparan ribuan pulau Nusantara, di antara riuh rendahnya gelombang modernisasi dan bisikan angin perubahan, sebuah konsep purba tetap relevan: adat pasang berturun naik. Frasa ini, yang mungkin paling kental diwarisi dalam khazanah Minangkabau, sebenarnya merangkum esensi universal dari setiap tradisi di dunia, khususnya di Indonesia. Ia bukan sekadar deskripsi fenomena alam, melainkan sebuah metafora mendalam tentang dinamika, adaptasi, dan keberlanjutan nilai-nilai luhur yang membentuk identitas suatu masyarakat.
Adat pasang berturun naik berarti adat itu tidak statis, beku, atau mati. Sebaliknya, ia adalah entitas yang hidup, bernapas, dan bergerak seiring zaman. Ada masa di mana adat begitu dominan, memegang kendali penuh atas sendi-sendi kehidupan (pasang). Namun, ada pula masa ketika ia harus merendah, menyesuaikan diri, atau bahkan "menarik diri" sejenak di hadapan kekuatan baru (turun). Namun, esensinya tidak hilang; ia hanya beradaptasi, bersembunyi, atau berevolusi untuk kembali mengemuka dalam bentuk yang relevan (naik). Ini adalah tarian abadi antara tradisi dan inovasi, antara masa lalu dan masa depan, yang membentuk lanskap budaya Indonesia yang kaya dan kompleks.
Pengertian dan Filosofi Adat Pasang Berturun Naik
Secara harfiah, "pasang" merujuk pada air laut yang naik, mencapai puncaknya, sementara "turun" adalah kebalikannya, air laut yang surut. "Naik" kemudian mengulang siklus pasang itu lagi. Dalam konteks adat, ini menggambarkan bahwa adat tidak selalu berada di puncak kejayaannya. Ada periode di mana nilai-nilai adat begitu dihormati dan dipraktikkan secara luas, menjadi landasan utama kehidupan sosial, hukum, dan keagamaan. Namun, perubahan zaman, masuknya agama baru, pengaruh kolonialisme, globalisasi, dan modernisasi seringkali memaksa adat untuk "turun" atau beradaptasi.
Filosofi di balik frasa ini mengajarkan bahwa perubahan adalah keniscayaan. Masyarakat yang memahami konsep ini tidak akan mati-matian mempertahankan bentuk lahiriah adat jika itu sudah tidak relevan, melainkan akan mencari cara untuk menjaga semangat dan nilai intinya agar tetap hidup. Ini adalah kebijaksanaan yang mengakui bahwa untuk tetap bertahan, sesuatu harus fleksibel. Adat yang kaku dan menolak setiap perubahan akan punah. Sebaliknya, adat yang mampu "menunggangi" gelombang perubahan, menyerap elemen baru yang positif, dan menolak yang merusak, akan terus relevan dan hidup.
Dalam konteks Minangkabau, misalnya, dikenal pepatah "Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah" (Adat bersendikan hukum Islam, hukum Islam bersendikan Al-Qur'an). Ini menunjukkan bagaimana adat Minangkabau telah melalui proses adaptasi signifikan dengan masuknya Islam, menunjukkan kemampuan untuk "pasang berturun naik" dalam harmonisasi dua sistem nilai. Proses ini tidak selalu mulus, seringkali diwarnai ketegangan dan perdebatan, namun pada akhirnya menemukan sintesis yang memungkinkan keduanya berjalan berdampingan, bahkan saling menguatkan.
Dinamika Adat di Berbagai Wilayah Nusantara
Konsep pasang berturun naik dapat diamati di hampir setiap suku bangsa di Indonesia, meskipun dengan manifestasi dan istilah yang berbeda. Keragaman budaya di Nusantara menjadi laboratorium hidup untuk memahami bagaimana adat bereaksi terhadap tekanan internal dan eksternal.
Adat di Tanah Jawa: Harmonisasi dan Sinkretisme
Di Jawa, adat sangat kental dengan pengaruh agama Hindu-Buddha yang kemudian diserap dan disintesiskan dengan Islam. Proses Islamisasi di Jawa, yang seringkali berlangsung melalui akulturasi budaya, adalah contoh nyata "pasang berturun naik". Wali Songo, misalnya, tidak serta merta menghapus tradisi lama, melainkan menggunakan kesenian dan ritual yang sudah ada (seperti wayang, gamelan, sesajen) sebagai media dakwah, mengubah makna dan arahnya tanpa menghilangkan bentuknya sepenuhnya. Upacara-upacara seperti slametan, tingkeban, atau ruwatan tetap dipertahankan, namun seringkali diberi nafas keislaman, menunjukkan bagaimana adat "turun" dari kemurnian pra-Islamnya, namun kemudian "naik" kembali dalam bentuk baru yang diterima oleh masyarakat Islam.
Pengaruh kerajaan-kerajaan besar di Jawa juga membentuk adat yang hierarkis dan penuh simbolisme. Ketika kekuasaan politik beralih, adat pun ikut beradaptasi, kadang menjadi alat legitimasi kekuasaan baru, kadang menjadi benteng perlawanan budaya. Fenomena seperti kejawen, sebagai sebuah sistem kepercayaan dan praktik yang memadukan elemen Islam, Hindu-Buddha, dan animisme, adalah puncak dari proses pasang berturun naik yang berlangsung selama berabad-abad, menunjukkan fleksibilitas dan kemampuan masyarakat Jawa dalam menyaring dan mengolah berbagai pengaruh.
Adat di Bali: Konsistensi dalam Perubahan
Bali adalah contoh unik di mana adat dan agama (Hindu Dharma) menyatu begitu erat sehingga nyaris tak terpisahkan. Meskipun demikian, adat Bali juga mengalami "pasang berturun naik", terutama dalam menghadapi pariwisata massal dan globalisasi. Ritual seperti Ngaben atau Galungan-Kuningan tetap menjadi inti kehidupan masyarakat, namun cara pelaksanaannya bisa saja sedikit berubah, disesuaikan dengan kondisi ekonomi atau kemudahan logistik modern.
Tekanan untuk mengkomodifikasi budaya demi pariwisata adalah tantangan besar. Namun, masyarakat Bali, dengan kekuatan desa pakraman (desa adat) dan sistem subak, mampu menjaga agar adat tetap menjadi regulator utama kehidupan. Mereka "menurunkan" beberapa aspek yang terlalu eksklusif, membuka diri pada interpretasi yang lebih luas, namun "menaikkan" kembali nilai-nilai inti yang mengikat komunitas. Ini adalah adaptasi cerdas untuk menjaga keseimbangan antara tradisi dan modernitas, antara identitas lokal dan tuntutan global.
Adat di Sumatera: Kelembagaan dan Ketegasan
Di Sumatera, khususnya suku-suku besar seperti Minangkabau, Batak, Aceh, dan Melayu, adat memiliki struktur kelembagaan yang sangat kuat. Adat Minangkabau dengan sistem matrilinealnya dan Kerapatan Adat Nagari (KAN), atau Batak dengan Dalihan Na Tolu-nya, menunjukkan betapa kokohnya pondasi adat dalam mengatur kehidupan. Namun, mereka juga menghadapi "pasang berturun naik".
Di Aceh, syariat Islam yang kuat dan otonomi khusus telah memungkinkan adat untuk "naik" kembali dan diintegrasikan secara resmi ke dalam sistem hukum daerah, setelah sempat "turun" di bawah kebijakan sentralistik Orde Baru. Ini adalah contoh di mana kekuatan politik dan keinginan masyarakat bersinergi untuk mengembalikan posisi adat. Sementara itu, di Minangkabau, sistem matrilineal menghadapi tantangan dari pola keluarga inti modern dan mobilitas penduduk, memaksa adaptasi dalam interpretasi peran dan fungsi mamak (paman dari pihak ibu) atau hak waris, menunjukkan bahwa pasang berturun naik juga terjadi pada skala interpretasi dan aplikasi sehari-hari.
Adat di Kalimantan: Pelestarian di Tengah Perubahan Lingkungan
Suku Dayak di Kalimantan menghadapi "pasang berturun naik" yang sangat nyata, terutama akibat deforestasi, ekspansi perkebunan, dan pertambangan. Adat mereka sangat terikat dengan alam dan hutan. Ketika hutan menghilang, praktik adat yang terkait dengan ritual pertanian, perburuan, atau pengobatan tradisional pun terancam "turun".
Namun, dalam menghadapi ini, banyak komunitas Dayak justru "naik" kembali dengan gerakan revitalisasi adat, penguatan hukum adat untuk melindungi tanah ulayat, dan pendidikan budaya bagi generasi muda. Mereka berjuang mempertahankan hak-hak tradisional mereka dan bahkan menciptakan bentuk-bentuk adat baru yang relevan dengan konservasi lingkungan. Ini adalah bentuk adaptasi yang heroik, di mana adat tidak hanya berjuang untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk keberlanjutan ekosistemnya.
Adat di Sulawesi dan Nusa Tenggara: Melawan Arus Modernisasi
Dari Toraja dengan upacara kematian yang megah hingga Sumba dengan tradisi menunggang kuda dan tenun ikatnya, adat di wilayah ini adalah jantung identitas. Namun, keterbukaan informasi dan ekonomi modern membawa "pasang berturun naik" yang kompleks. Generasi muda mungkin merasa terbebani oleh biaya atau tuntutan ritual adat yang tinggi, sehingga memunculkan pertanyaan tentang relevansi.
Namun, di sisi lain, ada upaya kuat untuk "menaikkan" kembali adat sebagai daya tarik pariwisata budaya berkelanjutan, sebagai sumber identitas di era globalisasi, atau sebagai cara untuk menegaskan kepemilikan atas sumber daya lokal. Penenun Sumba, misalnya, menghadapi tantangan masuknya tekstil pabrikan, namun mereka "naik" dengan inovasi desain dan promosi sebagai warisan budaya bernilai tinggi.
Adat di Maluku dan Papua: Penegasan Identitas di Wilayah Perbatasan
Di Maluku, adat seperti sasi (larangan mengambil hasil alam untuk sementara waktu) menunjukkan adaptasi cerdas dalam pengelolaan sumber daya. Konsep ini adalah contoh bagaimana adat "pasang berturun naik" dalam mengatur ekosistem, di mana periode larangan adalah fase "turun" untuk eksploitasi, yang kemudian memungkinkan alam "naik" dan berlimpah lagi.
Di Papua, adat sangat erat kaitannya dengan hak ulayat dan kepemilikan tanah. Di tengah tekanan pembangunan dan eksploitasi sumber daya alam, komunitas adat di Papua berjuang untuk mempertahankan tanah mereka, seringkali menggunakan hukum adat sebagai benteng. Upaya pengakuan masyarakat adat adalah manifestasi dari keinginan untuk "menaikkan" kembali posisi adat sebagai penjaga kearifan lokal dan keberlanjutan lingkungan.
Faktor Pendorong dan Penghambat Adat Pasang Berturun Naik
Proses "pasang berturun naik" pada adat tidak terjadi begitu saja, melainkan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berinteraksi, baik yang mendorong adaptasi maupun yang menghambatnya.
Faktor Pendorong Adaptasi (Pasang & Naik)
- Kepemimpinan Adat yang Visioner: Pemimpin adat yang mampu melihat jauh ke depan, memahami perubahan zaman, dan berani mengambil langkah adaptasi tanpa mengorbankan esensi adat.
- Generasi Muda yang Terlibat: Keterlibatan aktif generasi muda dalam praktik dan pemaknaan adat adalah kunci. Mereka membawa energi baru, ide-ide segar, dan koneksi dengan dunia modern.
- Pendidikan dan Revitalisasi Budaya: Program pendidikan adat, museum, sanggar seni, dan festival budaya membantu menghidupkan kembali minat dan pemahaman terhadap adat.
- Integrasi dengan Sistem Modern: Kemampuan adat untuk berdialog dan bahkan diintegrasikan dengan sistem hukum nasional, pendidikan formal, atau ekonomi kreatif, seperti pengakuan hukum adat atas tanah ulayat, atau pengembangan ekowisata berbasis adat.
- Teknologi Informasi: Pemanfaatan media sosial, situs web, dan platform digital untuk mendokumentasikan, mempromosikan, dan mengajarkan adat kepada audiens yang lebih luas, termasuk diaspora.
- Dukungan Pemerintah dan Lembaga Non-Pemerintah: Kebijakan pro-adat, pendanaan untuk kegiatan budaya, dan kerja sama dengan LSM yang peduli budaya dapat memperkuat posisi adat.
Faktor Penghambat (Turun)
- Globalisasi dan Konsumerisme: Arus budaya global yang masif dan gaya hidup konsumtif dapat mengikis nilai-nilai komunal dan spiritual yang diusung adat.
- Urbanisasi dan Migrasi: Perpindahan penduduk dari desa ke kota seringkali menyebabkan putusnya ikatan dengan praktik adat, terutama bagi generasi muda yang tidak lagi tinggal di lingkungan adat.
- Kurangnya Pemahaman dan Minat Generasi Muda: Jika adat dianggap kuno, membebani, atau tidak relevan, minat generasi muda untuk mempelajarinya akan menurun drastis.
- Komersialisasi yang Berlebihan: Ketika adat hanya dilihat sebagai komoditas pariwisata semata tanpa pemahaman nilai, esensinya bisa hilang.
- Konflik Internal dan Eksternal: Perselisihan antarlembaga adat, atau konflik dengan kepentingan ekonomi dan politik yang lebih besar (misalnya, sengketa tanah adat dengan perusahaan), dapat melemahkan posisi adat.
- Eksploitasi Sumber Daya Alam: Kerusakan lingkungan akibat eksploitasi yang tidak bertanggung jawab merusak basis fisik banyak adat yang terkait dengan alam.
Adat dalam Konteks Kekinian: Antara Pelestarian dan Inovasi
Di era digital dan global ini, adat tidak bisa lagi hanya menjadi artefak masa lalu yang dipajang di museum. Ia harus terus "pasang berturun naik" untuk membuktikan relevansinya. Ini berarti ada kebutuhan mendesak untuk menyeimbangkan antara pelestarian otentisitas dan inovasi yang adaptif.
Pelestarian Identitas
Pelestarian berarti menjaga akar, esensi, dan nilai-nilai luhur yang telah teruji zaman. Ini melibatkan pendokumentasian tradisi lisan, ritual, dan seni pertunjukan, pengajaran bahasa daerah, serta penguatan lembaga-lembaga adat. Tanpa pelestarian yang kuat, inovasi akan kehilangan arah dan identitas.
Contoh nyata pelestarian adalah upaya revitalisasi bahasa daerah yang terancam punah melalui pendidikan formal dan informal, atau pemeliharaan rumah adat sebagai simbol identitas dan pusat kegiatan komunal. Di banyak daerah, rumah adat bukan sekadar bangunan fisik, melainkan manifestasi dari filosofi hidup, struktur sosial, dan sejarah suatu komunitas. Memeliharanya berarti memelihara ingatan kolektif.
Peran para tetua adat dan pemangku adat menjadi sangat krusial dalam menjaga kemurnian dan transmisi pengetahuan. Mereka adalah "kamus hidup" yang menyimpan kearifan dan sejarah panjang, yang perlu terus dihormati dan didukung agar dapat mewariskan pengetahuannya kepada generasi berikutnya. Program-program magang atau mentorship antara generasi tua dan muda adalah cara efektif untuk memastikan keberlanjutan ini.
Inovasi Adaptif
Inovasi berarti mencari cara-cara baru untuk mengekspresikan, mempraktikkan, atau mengintegrasikan adat dalam kehidupan modern. Ini bisa berupa festival budaya kontemporer, produk ekonomi kreatif berbasis motif adat, adaptasi ritual agar lebih efisien namun tetap bermakna, atau penggunaan media digital untuk edukasi dan promosi.
Misalnya, banyak seniman muda yang mengadaptasi musik tradisional dengan sentuhan modern, atau desainer busana yang menggunakan kain tenun adat dalam kreasi yang trendi. Ini adalah cara adat "naik" kembali ke permukaan, menarik perhatian audiens baru, dan membuktikan bahwa tradisi bisa tetap keren dan relevan. Aplikasi mobile yang mengajarkan bahasa daerah atau legenda lokal juga merupakan bentuk inovasi yang menjembatani kesenjangan generasi.
Pentingnya inovasi adalah agar adat tidak hanya menjadi tontonan, tetapi juga menjadi bagian yang hidup dan bernapas dalam keseharian masyarakat modern. Ini bukan tentang mengubah adat secara radikal, melainkan tentang menemukan titik temu antara warisan leluhur dan tuntutan masa kini, sehingga adat dapat terus memberikan panduan moral, etika, dan identitas di tengah derasnya arus globalisasi.
"Adat itu ibarat sungai, ia terus mengalir, kadang deras, kadang tenang, tapi selalu menemukan jalannya. Jika ada batu besar menghalang, ia tidak berhenti, melainkan mencari celah atau mengukir jalannya sendiri."
– Pepatah Bijak Nusantara
Peran Adat dalam Pembentukan Karakter Bangsa
Di luar lingkup lokal, konsep adat pasang berturun naik memiliki implikasi besar bagi identitas nasional Indonesia. Bhinneka Tunggal Ika bukan hanya semboyan, melainkan cerminan dari kemampuan bangsa ini untuk menyatukan beragam adat yang terus berdinamika. Setiap suku bangsa yang mampu menjaga adatnya melalui proses adaptasi ini, secara tidak langsung berkontribusi pada kekayaan budaya Indonesia.
Adat mengajarkan nilai-nilai fundamental seperti gotong royong, musyawarah mufakat, toleransi, hormat kepada alam, dan ketaatan kepada sesepuh. Nilai-nilai ini, yang merupakan pondasi etika dan moral bangsa, telah diwariskan dari generasi ke generasi melalui praktik adat. Ketika adat "pasang", nilai-nilai ini begitu kuat terinternalisasi dalam masyarakat. Ketika adat "turun", terkadang nilai-nilai ini pun ikut melemah.
Oleh karena itu, menjaga agar adat terus "naik" adalah investasi bagi pembentukan karakter bangsa yang kokoh. Ini bukan berarti menolak kemajuan, tetapi menumbuhkan generasi yang berakar kuat pada nilai-nilai luhur bangsanya sendiri, namun tetap terbuka terhadap dunia luar. Generasi yang bangga dengan identitas budayanya akan lebih tangguh menghadapi berbagai tantangan global.
Pemerintah dan seluruh elemen masyarakat memiliki peran dalam mendukung "pasang berturun naik" yang positif bagi adat. Ini termasuk pengakuan hukum, dukungan finansial, promosi budaya, dan pendidikan yang memperkenalkan kekayaan adat sejak dini. Dengan demikian, adat akan terus menjadi sumber inspirasi, kearifan, dan kekuatan bagi Indonesia.
Tantangan dan Harapan Masa Depan Adat
Masa depan adat di Indonesia adalah lanskap yang penuh tantangan sekaligus harapan. Tantangan utama terletak pada bagaimana adat dapat mempertahankan relevansinya di tengah arus modernisasi yang tak terbendung, di mana nilai-nilai individualisme dan materialisme seringkali mendominasi. Kesenjangan generasi, hilangnya lahan adat, serta tekanan komersialisasi adalah beberapa isu krusial yang harus dihadapi.
Namun, di balik tantangan tersebut, terdapat harapan yang besar. Kesadaran global akan pentingnya keberlanjutan, kearifan lokal, dan keanekaragaman budaya justru memberikan ruang baru bagi adat untuk "naik". Semakin banyak kaum muda yang kembali melirik akar budaya mereka, mencari identitas dan makna di tengah kekacauan informasi. Gerakan-gerakan masyarakat adat untuk mendapatkan pengakuan hak-hak mereka juga semakin kuat, didukung oleh jaringan nasional dan internasional.
Harapan juga terletak pada kemampuan adat untuk berinovasi tanpa kehilangan jati diri. Adat dapat menjadi inspirasi bagi solusi-solusi modern, seperti dalam pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan (misalnya konsep sasi di Maluku, atau subak di Bali), sistem keadilan restoratif yang mengedepankan musyawarah mufakat, atau bahkan model ekonomi berbagi yang berlandaskan gotong royong.
Pendidikan memegang peranan kunci. Integrasi pengetahuan adat ke dalam kurikulum sekolah, baik formal maupun informal, akan memastikan bahwa generasi mendatang tidak hanya memahami, tetapi juga menghargai dan bangga akan warisan leluhur mereka. Sekolah adat, sanggar budaya, dan program pertukaran budaya dapat menjadi jembatan bagi transfer pengetahuan dan praktik adat.
Selain itu, penguatan payung hukum bagi masyarakat adat adalah esensial. Undang-Undang tentang Masyarakat Adat yang memberikan pengakuan dan perlindungan hak-hak mereka akan menjadi fondasi kuat bagi adat untuk terus "pasang berturun naik" secara mandiri dan bermartabat, tanpa harus selalu bergantung pada intervensi eksternal yang kadang tidak sesuai.
Pada akhirnya, adat pasang berturun naik adalah sebuah siklus kehidupan. Ia adalah refleksi dari perjuangan abadi masyarakat Indonesia untuk menjaga keseimbangan antara yang lama dan yang baru, antara tradisi dan kemajuan. Dengan kebijaksanaan, adaptasi, dan komitmen kolektif, adat akan terus menjadi lentera yang menerangi jalan bagi identitas bangsa, mengalirkan kearifan dari masa lalu ke masa depan, tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan, selalu berdenyut dalam nadi kehidupan Nusantara.
Setiap gelombang modernisasi yang menerpa adalah ujian sekaligus peluang bagi adat. Jika ia mampu melewati badai, menyerap pelajaran, dan muncul kembali dengan kekuatan baru, maka itu adalah bukti keabadian nilai-nilai luhur yang dikandungnya. Adat bukan tentang mempertahankan fosil, melainkan tentang menghidupkan kembali semangat yang relevan, mengubah bentuknya agar tetap berdaya, dan memastikan bahwa kebijaksanaan leluhur tidak pernah benar-benar padam, melainkan terus berpasang, berturun, dan naik, seiring dengan perjalanan waktu dan peradaban manusia.
Melalui setiap pasang surutnya, adat mengajarkan kita tentang ketahanan, fleksibilitas, dan kebijaksanaan. Ia mengingatkan bahwa keaslian tidak selalu berarti kekakuan, dan perubahan tidak selalu berarti kehancuran. Justru dalam kemampuan untuk beradaptasi, mencari bentuk baru tanpa kehilangan makna, adat menemukan kekuatannya yang abadi. Dari Sabang sampai Merauke, dari desa-desa terpencil hingga kota-kota metropolitan, semangat adat pasang berturun naik akan terus mengalir, menjadi penjaga jiwa bangsa yang tak pernah tidur.
Perjalanan adat di Indonesia adalah saga tanpa akhir, sebuah narasi yang terus ditulis oleh setiap generasi. Ia adalah warisan berharga yang harus dijaga, dirayakan, dan dihidupkan. Dengan memahami dan merangkul filosofi pasang berturun naik, kita tidak hanya melestarikan tradisi, tetapi juga memastikan bahwa Indonesia tetap menjadi bangsa yang kaya akan nilai, berakar kuat pada sejarahnya, namun siap menghadapi masa depan dengan penuh optimisme dan kearifan.
Semoga artikel ini dapat memberikan pemahaman yang mendalam tentang kompleksitas dan keindahan adat pasang berturun naik, serta menginspirasi kita semua untuk menjadi bagian dari perjalanan abadi tradisi ini.
Dengan demikian, adat tidak hanya menjadi sebatas aturan atau ritual, tetapi menjadi sebuah entitas hidup yang terus berinteraksi dengan lingkungan sosial, ekonomi, dan politiknya. Adat adalah cerminan dari jiwa kolektif, yang melalui proses "pasang berturun naik" ini, ia terus mengukir jejaknya dalam sejarah peradaban Indonesia, menjadi sumber inspirasi tak berujung bagi generasi-generasi mendatang.