Perjalanan menguasai bahasa kedua (B2) adalah proses yang kompleks dan berliku. Ia bukan sekadar mengganti satu kosakata dengan yang lain, atau menerapkan aturan tata bahasa secara langsung dari bahasa ibu (B1) ke B2. Di antara B1 dan B2, ada sebuah sistem linguistik yang unik, dinamis, dan terus berkembang yang dibentuk oleh pembelajar sendiri. Sistem inilah yang dikenal sebagai antarbahasa (interlanguage).
Konsep antarbahasa adalah salah satu pilar utama dalam bidang akuisisi bahasa kedua (Second Language Acquisition - SLA) karena memberikan kerangka kerja untuk memahami mengapa pembelajar membuat kesalahan, mengapa kesalahan tertentu gigih, dan bagaimana sistem linguistik internal mereka berevolusi seiring waktu. Memahami antarbahasa tidak hanya krusial bagi peneliti tetapi juga sangat relevan bagi pendidik dan pembelajar bahasa itu sendiri.
1. Apa Itu Antarbahasa? Sebuah Definisi Mendalam
Istilah "antarbahasa" pertama kali diperkenalkan oleh linguis Larry Selinker pada tahun (tanpa tahun), menandai pergeseran paradigma dalam studi akuisisi bahasa kedua. Sebelum Selinker, kesalahan pembelajar seringkali hanya dianggap sebagai "penyimpangan" dari norma bahasa target, atau sebagai hasil interferensi langsung dari bahasa ibu.
Selinker mengemukakan bahwa pembelajar bahasa kedua tidak hanya "membuat kesalahan," tetapi sebenarnya mereka sedang membangun sebuah sistem linguistik yang koheren dan sistematis di dalam pikiran mereka. Sistem ini memiliki aturan-aturannya sendiri, yang mungkin berbeda dari B1 maupun B2, tetapi berfungsi sebagai jembatan sementara bagi pembelajar untuk berkomunikasi dan secara bertahap mendekati bahasa target.
Dengan kata lain, antarbahasa adalah sebuah sistem linguistik otonom yang bersifat sementara, bersifat personal bagi setiap individu pembelajar, dan terus berevolusi seiring dengan bertambahnya paparan dan pembelajaran B2. Ini adalah 'bahasa' ketiga yang ada di antara B1 dan B2, bukan sekadar versi B1 yang buruk atau B2 yang belum sempurna.
1.1. Perbedaan Mendasar dari Konsep Sebelumnya
- Bukan Hanya Interferensi: Sebelum Selinker, analisis kontrastif (Contrastive Analysis) mendominasi, memprediksi kesalahan B2 berdasarkan perbedaan antara B1 dan B2. Antarbahasa mengakui bahwa transfer B1 memang salah satu sumber kesalahan, tetapi bukan satu-satunya.
- Bukan Hanya Analisis Kesalahan: Meskipun analisis kesalahan (Error Analysis) fokus pada identifikasi dan klasifikasi kesalahan, antarbahasa melangkah lebih jauh dengan mencari tahu sistem internal di balik kesalahan tersebut. Kesalahan dipandang sebagai bukti hipotesis yang sedang diuji pembelajar.
- Bukan Sekadar Versi B2 yang Cacat: Antarbahasa adalah sistem yang utuh dan berfungsi bagi pembelajar, bukan hanya "versi rusak" dari B2. Ia memungkinkan komunikasi, bahkan jika itu tidak sempurna menurut standar penutur asli.
2. Karakteristik Utama Antarbahasa
Untuk memahami antarbahasa secara komprehensif, penting untuk mengenali karakteristiknya yang membedakannya:
2.1. Sistematis
Meskipun seringkali tampak acak dari sudut pandang penutur asli, antarbahasa bersifat sistematis. Artinya, kesalahan yang dibuat pembelajar seringkali tidak acak, melainkan mengikuti pola atau aturan yang dibentuk sendiri. Misalnya, seorang pembelajar bahasa Inggris mungkin secara konsisten mengatakan "She go to school" daripada "She goes to school". Ini bukan karena mereka tidak tahu kata "goes", tetapi karena mereka menerapkan aturan umum untuk semua subjek tanpa membedakan subjek orang ketiga tunggal pada masa sekarang. Aturan ini, meskipun tidak sesuai dengan B2, adalah sistematis dalam antarbahasa mereka.
Sistematisasi ini membantu pembelajar memproses informasi dan menghasilkan ujaran. Pembelajar membentuk hipotesis tentang bagaimana B2 bekerja, mengujinya dalam komunikasi, dan memperbarui atau merevisi hipotesis tersebut berdasarkan umpan balik atau pengalaman baru. Proses ini menunjukkan adanya logika internal yang mendorong perkembangan antarbahasa.
2.2. Dinamis dan Permeabel (Dapat Dilalui)
Antarbahasa bukanlah entitas statis; ia terus berubah dan berkembang. Pembelajar terus menguji hipotesis, menambahkan aturan baru, memodifikasi aturan yang ada, atau bahkan menghilangkan aturan yang ternyata tidak tepat. Proses ini mencerminkan sifat pembelajaran bahasa yang berkelanjutan.
Istilah "permeabel" mengacu pada fakta bahwa antarbahasa dapat dipengaruhi oleh faktor internal (misalnya, strategi kognitif pembelajar) dan eksternal (misalnya, masukan bahasa target). Ini berarti antarbahasa bisa menyerap fitur-fitur baru dari B2 dan juga bisa terpengaruh oleh B1 atau strategi belajar lainnya. Pembelajar dapat mengintegrasikan informasi baru dan menyesuaikan sistem mereka. Misalnya, seorang pembelajar yang awalnya selalu menggunakan struktur "Subject-Verb-Object" dari B1-nya untuk semua kalimat, mungkin mulai mengadopsi struktur "Object-Subject-Verb" yang lebih umum dalam bahasa target tertentu setelah terpapar masukan yang cukup.
2.3. Variabel (Bervariasi)
Antarbahasa juga menunjukkan variabilitas, yang berarti bahwa pembelajar mungkin menggunakan bentuk linguistik yang berbeda dalam konteks yang berbeda, atau bahkan dalam konteks yang sama pada waktu yang berbeda. Variabilitas ini bisa bersifat:
- Sistematis: Misalnya, seorang pembelajar mungkin lebih akurat dalam lingkungan formal seperti ujian daripada dalam percakapan kasual. Ini menunjukkan pengaruh konteks sosial dan situasional.
- Non-sistematis: Terkadang, pembelajar mungkin secara acak menggunakan bentuk yang benar dan bentuk yang salah tanpa pola yang jelas. Ini sering terjadi pada tahap awal pembelajaran ketika hipotesis masih sangat tentatif.
2.4. Fosilisasi (Fossilization)
Salah satu karakteristik antarbahasa yang paling menantang adalah fosilisasi. Ini adalah fenomena di mana fitur-fitur tertentu dalam antarbahasa seorang pembelajar berhenti berkembang dan menjadi permanen, meskipun pembelajar terus mendapatkan masukan dari B2 dan memiliki motivasi untuk belajar. Kesalahan-kesalahan ini menjadi kebiasaan dan sangat sulit untuk dihilangkan.
Fosilisasi dapat terjadi pada tingkat fonologi (aksen yang sulit dihilangkan), morfologi (kesalahan konsisten pada imbuhan atau bentuk kata), sintaksis (struktur kalimat yang keliru), dan leksikal (penggunaan kata yang tidak tepat). Selinker berpendapat bahwa hanya sekitar 5% pembelajar B2 yang mencapai tingkat kefasihan seperti penutur asli, sisanya cenderung mengalami fosilisasi pada tingkat tertentu.
Penyebab fosilisasi diduga meliputi:
- Kurangnya Umpan Balik Korektif: Jika kesalahan tidak diperbaiki secara konsisten atau efektif.
- Prioritas Komunikasi: Jika pembelajar berhasil berkomunikasi meskipun dengan kesalahan, mereka mungkin tidak merasakan kebutuhan mendesak untuk mengubah sistem antarbahasa mereka.
- Usia Pembelajar: Umumnya lebih sering terjadi pada pembelajar dewasa dibandingkan anak-anak.
- Faktor Afektif: Motivasi rendah, kecemasan, atau kurangnya kepercayaan diri.
- Interferensi B1 yang Kuat: Struktur B1 yang sangat berbeda dari B2 bisa menjadi sumber fosilisasi yang gigih.
3. Sumber-sumber Pengaruh dalam Pembentukan Antarbahasa
Antarbahasa dibentuk oleh berbagai sumber pengaruh, yang menjelaskan mengapa pembelajar membuat jenis kesalahan yang berbeda-beda. Selinker mengidentifikasi lima proses sentral:
3.1. Transfer Bahasa Ibu (Interferensi Linguistik)
Ini adalah pengaruh dari B1 pembelajar terhadap produksi B2. Transfer bisa positif atau negatif.
3.1.1. Transfer Positif (Fasilitasi)
Terjadi ketika fitur-fitur dari B1 serupa dengan B2, membantu pembelajar dalam proses akuisisi. Misalnya, pembelajar bahasa Inggris yang B1-nya adalah bahasa Jerman akan lebih mudah mempelajari kosakata dengan akar kata Germanic yang sama.
3.1.2. Transfer Negatif (Interferensi)
Terjadi ketika fitur-fitur dari B1 berbeda secara signifikan dari B2, menyebabkan kesalahan. Ini adalah sumber kesalahan yang paling sering dibahas.
- Contoh Sintaksis (Indonesia ke Inggris):
- Pembelajar Indonesia mungkin menghasilkan kalimat seperti "I happy" (Saya senang) alih-alih "I am happy" karena dalam bahasa Indonesia, kata kerja 'to be' seringkali dihilangkan dalam konstruksi serupa. Struktur "S-Adjektif" langsung ada, sedangkan Inggris membutuhkan kopula.
- "She go to market" (Dia pergi ke pasar) alih-alih "She goes to market" karena bahasa Indonesia tidak memiliki konjugasi kata kerja berdasarkan subjek dan waktu.
- "My book beautiful" (Buku saya cantik) alih-alih "My book is beautiful".
- Penggunaan adverbia waktu di awal kalimat: "Yesterday I go to Bali" daripada "I went to Bali yesterday" karena fleksibilitas posisi adverbia di B1 lebih besar.
- Contoh Leksikal/Semantik (Indonesia ke Inggris):
- Penggunaan "borrow" (meminjam) dan "lend" (meminjamkan) sering tertukar karena dalam bahasa Indonesia hanya ada satu kata "pinjam". Misalnya, "Can you borrow me your pen?" (Bisakah kamu meminjam saya pulpenmu?) alih-alih "Can you lend me your pen?".
- Kata "present" (hadir) untuk "sekarang": "I am present" alih-alih "I am here" atau "I am present at the meeting" yang lebih formal.
- Contoh Fonologi (Indonesia ke Inggris):
- Kesulitan membedakan suara /p/ dan /f/ bagi beberapa pembelajar dari daerah tertentu di Indonesia, atau /v/ (sering diucapkan /f/ atau /b/).
- Tidak adanya perbedaan vokal panjang/pendek seperti dalam bahasa Inggris (sheep vs ship) sering diabaikan.
3.2. Generalisasi Berlebihan (Overgeneralization) Aturan B2
Pembelajar sering mengaplikasikan aturan B2 yang mereka pelajari secara terlalu luas atau ke konteks yang salah. Ini adalah bukti bahwa mereka sedang aktif membangun sistem B2 mereka.
- Contoh Morfologi:
- Menerapkan aturan pembentukan bentuk lampau reguler (-ed) pada kata kerja tidak beraturan: "goed" (alih-alih "went"), "eated" (alih-alih "ate"), "runned" (alih-alih "ran").
- Menerapkan aturan jamak (-s) pada kata benda tidak beraturan: "mans" (alih-alih "men"), "sheeps" (alih-alih "sheep").
- Contoh Sintaksis:
- Menggunakan struktur kalimat tanya langsung untuk pertanyaan tidak langsung: "I don't know where is he" (alih-alih "I don't know where he is").
- Menggunakan kata "much" dan "many" secara bergantian tanpa membedakan benda yang dapat dihitung atau tidak dapat dihitung, atau selalu menggunakan "much" karena lebih sering didengar.
3.3. Penyederhanaan (Simplification) Strategi
Pembelajar, terutama pada tahap awal, cenderung menyederhanakan struktur bahasa target untuk memudahkan komunikasi. Ini adalah strategi kognitif untuk mengurangi beban dalam memproses dan memproduksi bahasa.
- Contoh:
- Menghilangkan artikel (a, an, the): "I want apple" (alih-alih "I want an apple").
- Menggunakan kalimat-kalimat pendek dan sederhana, menghindari klausa kompleks.
- Menghilangkan preposisi atau menggunakan preposisi yang sama untuk berbagai fungsi ("I go in school" alih-alih "I go to school" atau "I am at school").
- Menggunakan kosakata umum alih-alih kosakata spesifik ("big" untuk "large, enormous, huge").
3.4. Strategi Komunikasi (Communication Strategies)
Ketika pembelajar menghadapi kesulitan dalam mengungkapkan diri dalam B2, mereka menggunakan berbagai strategi untuk menjaga agar komunikasi tetap berjalan. Ini mungkin melibatkan pengorbanan akurasi demi kelancaran.
- Contoh:
- Paraphrasing: Mengganti kata yang tidak diketahui dengan deskripsi. Misalnya, jika tidak tahu kata "fork", bisa mengatakan "that thing for eating noodles" (benda itu untuk makan mie).
- Borrowing/Code-switching: Menggunakan kata dari B1 jika tidak tahu padanan di B2, atau mencampur bahasa. "I like to eat nasi goreng with kerupuk."
- Avoidance: Menghindari topik atau struktur gramatikal yang rumit yang mereka tahu tidak bisa mereka kuasai.
- Approximation: Menggunakan kata yang mirip atau berkaitan, meskipun tidak sepenuhnya tepat. Misalnya, menggunakan "animal" untuk "pet".
- Word Coinage: Menciptakan kata baru. Meskipun jarang, ini bisa terjadi.
3.5. Pengaruh Pelatihan (Transfer of Training) atau Pengajaran
Terkadang, kesalahan dalam antarbahasa dapat berasal dari metode pengajaran, bahan ajar, atau penjelasan guru yang kurang jelas atau menyesatkan. Ini juga dikenal sebagai "kesalahan yang disebabkan oleh pengajaran" (teaching-induced errors).
- Contoh:
- Jika guru selalu menekankan aturan tata bahasa secara terisolasi tanpa konteks, pembelajar mungkin kesulitan mengaplikasikannya secara alami.
- Buku teks yang menyajikan aturan yang terlalu disederhanakan atau tidak lengkap.
- Fokus berlebihan pada latihan drill tanpa praktik komunikasi bebas, yang tidak memungkinkan pembelajar mengembangkan sistem antarbahasanya secara alami.
- Jika suatu aturan dijelaskan dengan analogi dari B1 yang sebenarnya tidak pas untuk B2, bisa menyebabkan miskonsepsi.
4. Tahapan Perkembangan Antarbahasa
Meskipun antarbahasa tidak berkembang dalam tahapan yang kaku dan linier seperti akuisisi B1, para peneliti sering mengamati pola umum dalam perkembangannya:
4.1. Tahap Awal (Initial Stage)
Pada tahap ini, antarbahasa sangat dipengaruhi oleh bahasa ibu (transfer negatif) dan strategi penyederhanaan. Pembelajar fokus pada komunikasi dasar dan sering menggunakan kalimat-kalimat pendek, kosakata terbatas, dan banyak isyarat non-verbal. Akurasi sangat rendah, tetapi kemampuan komunikasi esensial mulai terbentuk. Pembelajar membuat banyak hipotesis dan mengujinya. Misalnya, seorang pembelajar bahasa Inggris mungkin hanya menggunakan subjek, kata kerja, dan objek ("I want drink water") tanpa mempertimbangkan konjugasi, tense, atau artikel.
4.2. Tahap Menengah (Intermediate Stage)
Pembelajar mulai menginternalisasi lebih banyak aturan B2. Mereka masih membuat kesalahan, tetapi kesalahan ini lebih sering disebabkan oleh overgeneralisasi aturan B2 daripada transfer B1. Kompleksitas ujaran meningkat, dan kosakata berkembang pesat. Pada tahap ini, variabilitas antarbahasa mungkin sangat menonjol, karena pembelajar mencoba berbagai bentuk dan strategi. Fosilisasi juga mulai menjadi perhatian pada tahap ini untuk beberapa fitur.
4.3. Tahap Lanjut (Advanced Stage)
Pada tahap ini, antarbahasa pembelajar semakin mendekati B2. Kesalahan menjadi lebih sedikit dan lebih halus, seringkali terbatas pada fitur-fitur linguistik yang sangat spesifik atau idiomatis. Namun, fosilisasi bisa menjadi masalah yang lebih persisten, di mana beberapa "penyimpangan" yang tidak sesuai dengan B2 mungkin sulit dihilangkan, bahkan setelah bertahun-tahun belajar. Pembelajar mungkin memiliki kefasihan yang tinggi tetapi masih memiliki aksen atau membuat kesalahan tata bahasa tertentu yang khas.
Penting untuk diingat bahwa tahapan ini tidak selalu jelas dan dapat tumpang tindih. Perkembangan antarbahasa bersifat spiral, di mana pembelajar mungkin kembali ke tahap sebelumnya untuk fitur tertentu atau menunjukkan kemajuan yang tidak merata di berbagai area linguistik (misalnya, sangat baik dalam tata bahasa tetapi lemah dalam pengucapan).
5. Implikasi Pedagogis dari Konsep Antarbahasa
Pemahaman tentang antarbahasa memiliki dampak besar terhadap bagaimana bahasa kedua diajarkan dan dipelajari. Pendidik dapat memanfaatkan wawasan ini untuk merancang strategi pengajaran yang lebih efektif.
5.1. Menerima Kesalahan sebagai Bagian Alami Proses Belajar
Alih-alih memandang kesalahan sebagai kegagalan yang harus dihindari, pendidik harus melihatnya sebagai bukti dari proses belajar yang aktif. Kesalahan adalah jendela ke dalam sistem antarbahasa pembelajar, menunjukkan hipotesis apa yang sedang mereka uji. Hal ini mengubah perspektif dari penghukuman menjadi diagnostik.
5.2. Fokus pada Komunikasi dan Makna
Meskipun akurasi penting, fokus yang berlebihan pada kebenaran tata bahasa sejak awal dapat menghambat pembelajar untuk bereksperimen dan mengembangkan kefasihan. Mendorong pembelajar untuk menggunakan B2 untuk berkomunikasi, bahkan dengan kesalahan, membantu mereka menguji hipotesis antarbahasa mereka dan membangun kepercayaan diri.
5.3. Umpan Balik yang Efektif dan Tepat Waktu
Umpan balik korektif (corrective feedback) harus diberikan secara strategis. Tidak semua kesalahan perlu diperbaiki, dan cara koreksi juga bervariasi.
- Fokus pada Kesalahan Sistematis: Prioritaskan perbaikan kesalahan yang mengganggu makna atau yang merupakan bagian dari pola antarbahasa yang terfosilisasi.
- Jenis Umpan Balik: Pertimbangkan umpan balik eksplisit (misalnya, penjelasan aturan) dan implisit (misalnya, pengucapan ulang yang benar oleh guru atau klarifikasi pertanyaan).
- Waktu Pemberian Umpan Balik: Kadang-kadang umpan balik langsung diperlukan; di lain waktu, umpan balik tertunda (misalnya, setelah aktivitas komunikasi selesai) lebih efektif untuk menjaga kelancaran.
- Mendorong Koreksi Diri: Biarkan pembelajar mencoba mengoreksi kesalahan mereka sendiri sebelum guru memberikan jawaban.
5.4. Sensitivitas terhadap Transfer B1
Guru yang memahami bahasa ibu murid-muridnya dapat mengantisipasi area di mana transfer negatif kemungkinan besar akan terjadi. Dengan demikian, mereka dapat merancang latihan yang secara khusus menargetkan perbedaan-perbedaan ini dan membantu pembelajar membangun jembatan yang tepat antara B1 dan B2.
5.5. Strategi Mengatasi Fosilisasi
Mencegah atau mengatasi fosilisasi adalah tantangan besar. Strategi yang dapat diterapkan meliputi:
- Peningkatan Input: Menyediakan masukan B2 yang kaya, otentik, dan bervariasi.
- Output yang Bermakna: Mendorong pembelajar untuk menghasilkan bahasa secara aktif dalam situasi yang bermakna.
- Perhatian Terfokus: Mendesain aktivitas yang secara eksplisit menarik perhatian pembelajar pada bentuk-bentuk yang bermasalah.
- Latihan Terbimbing: Memberikan latihan yang berulang tetapi bervariasi untuk fitur-fitur yang sulit.
- Peningkatan Kesadaran Metalinguistik: Membantu pembelajar memahami perbedaan antara B1 dan B2 secara kognitif.
6. Antarbahasa dalam Konteks Akuisisi Bahasa Kedua di Indonesia
Di Indonesia, di mana bahasa Indonesia (B1) adalah bahasa nasional dan bahasa Inggris (seringkali) adalah B2 yang paling umum dipelajari, konsep antarbahasa sangat relevan. Pembelajar Indonesia menghadapi tantangan dan pola kesalahan yang spesifik karena perbedaan struktural antara kedua bahasa.
6.1. Tantangan Khas Bagi Pembelajar Indonesia Belajar Bahasa Inggris
- Absennya 'To Be': Seperti yang disebutkan, ketiadaan kopula eksplisit dalam banyak konstruksi bahasa Indonesia menyebabkan pembelajar sering menghilangkan 'to be' dalam bahasa Inggris. Contoh: "He tall," "She beautiful."
- Tense dan Aspek: Bahasa Indonesia tidak memiliki sistem tense gramatikal seperti bahasa Inggris. Waktu diungkapkan melalui adverbia waktu (kemarin, besok, sekarang) atau konteks. Ini sering menyebabkan kesulitan dalam penggunaan bentuk kata kerja yang benar dalam bahasa Inggris (misalnya, penggunaan simple present untuk semua waktu).
- Artikel (a, an, the): Bahasa Indonesia tidak memiliki artikel, sehingga pembelajar sering menghilangkannya atau menggunakannya secara tidak konsisten dalam bahasa Inggris. Contoh: "I buy book," "He has cat."
- Preposisi: Penggunaan preposisi dalam bahasa Inggris seringkali idiomatis dan tidak selalu dapat diterjemahkan langsung dari bahasa Indonesia, menyebabkan kesalahan seperti "listen music" (alih-alih "listen to music") atau "on the street" untuk di dalam jalan.
- Kata Kerja Fleksibel vs. Kaku: Tata bahasa Indonesia seringkali lebih fleksibel dalam urutan kata atau penggunaan kata kerja dibanding Inggris yang lebih kaku.
- Fonologi: Bunyi /th/ (θ, ð), /v/, dan perbedaan vokal panjang/pendek (misalnya, sheet vs. shit) sering menjadi tantangan.
6.2. Strategi Pengajaran yang Kontekstual untuk Pembelajar Indonesia
Untuk mengatasi tantangan ini, pendidik di Indonesia dapat:
- Penjelasan Eksplisit tentang Perbedaan: Secara langsung membandingkan struktur B1 dan B2 untuk menyoroti area perbedaan yang kritis (misalnya, penggunaan 'to be' atau artikel).
- Latihan Terfokus: Merancang latihan yang berulang dan bermakna untuk menguatkan penggunaan tense, artikel, dan preposisi yang benar.
- Konten yang Relevan: Menggunakan materi ajar yang relevan dengan konteks Indonesia untuk meningkatkan motivasi dan keterlibatan.
- Mendorong Komunikasi Otentik: Membuat lingkungan kelas yang aman di mana pembelajar merasa nyaman untuk bereksperimen dengan bahasa tanpa takut membuat kesalahan.
- Aktivitas Peran dan Simulasi: Mempraktikkan bahasa dalam skenario dunia nyata untuk mengatasi kesenjangan antara pengetahuan tata bahasa dan penggunaan komunikatif.
- Umpan Balik yang Membangun: Menekankan bahwa kesalahan adalah bagian dari proses dan memberikan umpan balik yang konstruktif dan membantu pembelajar memahami di mana letak kesalahan dalam sistem antarbahasa mereka.
7. Antarbahasa di Era Digital: Tantangan dan Peluang Baru
Perkembangan teknologi telah mengubah lanskap pembelajaran bahasa. Aplikasi pembelajaran bahasa, media sosial, dan alat terjemahan otomatis kini menjadi bagian integral dari pengalaman pembelajar bahasa kedua. Bagaimana semua ini berinteraksi dengan antarbahasa?
7.1. Alat Terjemahan Otomatis dan Antarbahasa
Alat seperti Google Translate dapat menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, mereka menyediakan akses cepat ke kata atau frasa, membantu pembelajar memahami masukan atau menghasilkan ujaran. Di sisi lain, ketergantungan berlebihan pada terjemahan otomatis dapat menghambat pembelajar untuk mengembangkan sistem antarbahasanya sendiri. Alih-alih memproses dan membentuk hipotesis linguistik, pembelajar hanya "menyalin" output mesin, yang mungkin terdengar alami tetapi tidak mencerminkan pemahaman internal mereka. Ini berpotensi memperkuat kebiasaan transfer langsung tanpa pemahaman nuansa B2.
7.2. Aplikasi Pembelajaran Bahasa (Duolingo, Babbel, dll.)
Aplikasi ini seringkali dirancang untuk memperkenalkan struktur secara bertahap dan memberikan umpan balik instan. Mereka dapat membantu dalam memperkuat kosakata dan struktur dasar. Namun, mereka mungkin kurang dalam memberikan konteks yang kaya dan interaksi sosial yang diperlukan untuk perkembangan antarbahasa yang kompleks, terutama dalam mengatasi fosilisasi atau mengembangkan kemampuan pragmatis.
7.3. Media Sosial dan Komunitas Online
Platform seperti Reddit, Discord, atau grup Facebook yang didedikasikan untuk pembelajaran bahasa menawarkan peluang unik untuk interaksi dengan penutur asli dan sesama pembelajar. Ini dapat memberikan masukan otentik dan kesempatan untuk produksi bahasa, membantu pembelajar menguji dan memodifikasi antarbahasa mereka dalam konteks yang lebih alami dan kurang formal. Namun, umpan balik korektif mungkin tidak konsisten atau kurang sistematis.
7.4. Masukan Otentik Melalui Media Digital
Akses tak terbatas ke film, musik, podcast, dan artikel berita dalam B2 dapat memperkaya masukan bagi pembelajar. Paparan masukan yang bervariasi ini dapat membantu pembelajar mengidentifikasi pola, perbedaan, dan nuansa yang mungkin terlewat dalam pengajaran formal, sehingga membantu evolusi antarbahasa mereka.
8. Studi Kasus Mendalam: Analisis Kesalahan dan Antarbahasa
Untuk lebih memahami bagaimana antarbahasa beroperasi, mari kita telaah beberapa studi kasus umum dari pembelajar bahasa Indonesia yang belajar bahasa Inggris, dan sebaliknya, serta menganalisis akar penyebabnya berdasarkan konsep antarbahasa.
8.1. Kasus 1: Penggunaan "Be" dalam Bahasa Inggris oleh Pembelajar Indonesia
Pembelajar Indonesia seringkali kesulitan dengan penggunaan kata kerja 'to be' (am, is, are, was, were) dalam bahasa Inggris. Misalnya, mereka mungkin mengatakan:
- "My brother handsome." (Seharusnya: "My brother **is** handsome.")
- "I hungry." (Seharusnya: "I **am** hungry.")
- "They student." (Seharusnya: "They **are** students.")
Analisis Antarbahasa: Ini adalah contoh klasik dari transfer negatif B1. Dalam bahasa Indonesia, kalimat dengan predikat adjektiva atau nomina tidak selalu membutuhkan kopula eksplisit. Misalnya, "Kakakku tampan," "Saya lapar," "Mereka siswa." Pembelajar mengasumsikan bahwa struktur yang sama berlaku dalam bahasa Inggris, sehingga mereka menghilangkan 'to be'. Ini menjadi bagian sistematis dari antarbahasa mereka pada tahap awal. Untuk mengatasinya, diperlukan masukan yang konsisten dan penjelasan eksplisit tentang fungsi 'to be' sebagai kopula wajib dalam konstruksi tertentu di bahasa Inggris.
8.2. Kasus 2: Penggunaan Tense oleh Pembelajar Indonesia
Pembelajar Indonesia mungkin mengatakan:
- "Yesterday I go to Bali." (Seharusnya: "Yesterday I **went** to Bali." atau "I **went** to Bali yesterday.")
- "I usually eating breakfast at 7 AM." (Seharusnya: "I usually **eat** breakfast at 7 AM.")
Analisis Antarbahasa: Ini menunjukkan transfer negatif B1 terkait sistem tense, dan juga overgeneralisasi bentuk dasar kata kerja atau bentuk -ing. Bahasa Indonesia mengungkapkan waktu melalui keterangan waktu (kemarin, besok) dan konteks, bukan melalui perubahan bentuk kata kerja. Pembelajar mungkin secara hipotesis percaya bahwa keterangan waktu sudah cukup. Penggunaan "eating" untuk kebiasaan bisa jadi overgeneralisasi dari present continuous yang mereka pelajari untuk tindakan yang sedang berlangsung. Ini adalah area yang rentan terhadap fosilisasi jika tidak ditangani dengan umpan balik yang sistematis dan latihan yang memadai, karena komunikasi mungkin masih dapat dipahami meskipun tense-nya salah.
8.3. Kasus 3: Penggunaan Kata Benda Jamak oleh Pembelajar Indonesia
Kesalahan umum lainnya adalah:
- "I have two book." (Seharusnya: "I have two **books**.")
- "Many peoples come." (Seharusnya: "Many **people** come.")
Analisis Antarbahasa: Ini adalah kombinasi dari transfer negatif B1 (bahasa Indonesia tidak memiliki penanda jamak yang wajib pada kata benda, jumlah ditunjukkan oleh angka atau penentu kuantitas) dan overgeneralisasi aturan jamak (-s) pada kata benda tidak beraturan. Pembelajar awalnya mungkin tidak menambahkan -s sama sekali, lalu setelah mempelajari aturan -s, mereka menerapkannya pada semua kata, termasuk yang tidak beraturan. Ini menunjukkan perkembangan dalam antarbahasa mereka, dari hipotesis 'tidak ada jamak' menjadi 'jamak selalu dengan -s', yang kemudian perlu disempurnakan.
8.4. Kasus 4: Pembelajar Bahasa Inggris Belajar Bahasa Indonesia
Seorang penutur asli bahasa Inggris mungkin mengatakan:
- "Saya adalah guru." (Seharusnya: "Saya guru." atau "Saya seorang guru." - "adalah" sering dihilangkan.)
- "Aku cinta kamu." (Dalam situasi formal, seharusnya "Saya cinta Anda/Bapak/Ibu." atau "Saya mencintai Anda.")
- "Di mana adalah kamar mandi?" (Seharusnya: "Di mana kamar mandi?" - 'adalah' sering tidak perlu.)
Analisis Antarbahasa: Ini adalah transfer negatif B1 dari bahasa Inggris. Pembelajar cenderung menerjemahkan 'to be' (is, am, are) langsung sebagai "adalah" dalam bahasa Indonesia, padahal "adalah" memiliki fungsi yang lebih spesifik (definisi, identifikasi) dan sering dihilangkan dalam kalimat ekuatif sederhana. Penggunaan "aku" dan "kamu" tanpa memperhatikan konteks formalitas juga merupakan transfer dari sistem pronomina Inggris yang tidak memiliki tingkatan kesantunan seperti bahasa Indonesia. Antarbahasa mereka pada tahap ini masih mengasumsikan struktur B2 mirip B1. Mengoreksi ini membutuhkan pemahaman tentang pragmatik dan konteks sosial dalam bahasa Indonesia.
8.5. Kasus 5: Overgeneralisasi dalam Bahasa Indonesia oleh Penutur Asing
Seorang penutur asing mungkin mengatakan:
- "Saya makan-makan nasi." (Seharusnya: "Saya makan nasi." atau "Saya sering makan nasi." atau "Saya sedang makan-makan." jika ada konteks pesta).
- "Rumah besar itu adalah warna merah." (Seharusnya: "Rumah besar itu berwarna merah." atau "Rumah besar itu merah.")
Analisis Antarbahasa: "Makan-makan" adalah bentuk reduplikasi yang menunjukkan intensitas, kebiasaan, atau aktivitas sosial ("pesta makan"). Pembelajar mungkin telah mempelajari reduplikasi sebagai cara untuk membuat jamak atau menunjukkan intensitas dan menggeneralisasinya secara berlebihan ke konteks yang salah. Untuk kasus kedua, ini adalah transfer negatif B1 (bahasa Inggris: "The big house **is** red.") dan kurangnya pemahaman tentang afiksasi dalam bahasa Indonesia (imbuhan "ber-" untuk warna). Antarbahasa mereka sedang mencoba mengaplikasikan aturan B2 yang baru dipelajari atau menerjemahkan secara harfiah, yang memerlukan penyempurnaan.
Studi kasus ini menggarisbawahi pentingnya melihat kesalahan bukan hanya sebagai "kesalahan" tetapi sebagai bukti dari sistem linguistik yang sedang dibangun oleh pembelajar. Dengan memahami akar penyebabnya, pendidik dapat memberikan umpan balik yang lebih terarah dan efektif.
9. Masa Depan Penelitian Antarbahasa
Bidang antarbahasa terus berkembang, dan penelitian di masa depan kemungkinan akan fokus pada beberapa area kunci:
9.1. Peran Otak dan Kognisi
Dengan kemajuan neurosains, penelitian akan semakin mengeksplorasi bagaimana antarbahasa direpresentasikan di otak. Bagaimana otak membedakan B1, B2, dan antarbahasa? Mekanisme kognitif apa yang terlibat dalam pembentukan dan modifikasi hipotesis antarbahasa?
9.2. Antarbahasa dalam Konteks Multilingualisme
Sebagian besar penelitian awal fokus pada akuisisi B2 setelah B1. Namun, semakin banyak orang belajar B3, B4, dan seterusnya. Bagaimana antarbahasa dari B2 memengaruhi antarbahasa B3? Bagaimana berbagai B1 dan B2 berinteraksi dalam sistem linguistik individu yang multibahasa?
9.3. Antarbahasa dan Teknologi Pembelajaran Bahasa
Bagaimana kecerdasan buatan (AI) dapat digunakan untuk menganalisis antarbahasa pembelajar secara lebih akurat dan memberikan umpan balik yang dipersonalisasi? Bisakah AI membantu mengidentifikasi pola fosilisasi lebih awal dan merancang intervensi yang ditargetkan?
9.4. Dinamika Antarbahasa secara Longitudinal
Studi yang lebih panjang dan mendalam tentang bagaimana antarbahasa individu berkembang seiring waktu, dengan fokus pada variabilitas dan fosilisasi, akan memberikan wawasan yang lebih kaya tentang proses akuisisi.
9.5. Pragmatik dan Antarbahasa
Selain tata bahasa dan kosakata, bagaimana pembelajar mengembangkan antarbahasa pragmatik—yaitu, kemampuan menggunakan bahasa dengan tepat dalam konteks sosial? Kesalahan pragmatik seringkali lebih sulit dideteksi dan diperbaiki, tetapi sangat penting untuk komunikasi yang efektif.
Kesimpulan: Menghargai Perjalanan, Bukan Hanya Tujuan
Antarbahasa adalah konsep fundamental yang mengubah cara kita memandang pembelajaran bahasa kedua. Ini mengingatkan kita bahwa proses akuisisi bukanlah sekadar imitasi sempurna dari penutur asli, melainkan sebuah perjalanan kreatif di mana pembelajar secara aktif membangun sistem linguistik mereka sendiri.
Dengan mengakui sistematisasi, dinamisme, variabilitas, dan kemungkinan fosilisasi dalam antarbahasa, kita dapat mengembangkan pendekatan pengajaran yang lebih empatik dan efektif. Kita dapat melihat kesalahan bukan sebagai kegagalan, tetapi sebagai bukti upaya, hipotesis yang sedang diuji, dan langkah-langkah penting dalam perjalanan menuju penguasaan bahasa kedua.
Bagi pembelajar, pemahaman antarbahasa dapat mengurangi frustrasi dan meningkatkan kesadaran metalinguistik mereka. Bagi pendidik, ini memberikan alat diagnostik yang kuat dan pedoman untuk menciptakan lingkungan belajar yang mendukung. Pada akhirnya, antarbahasa adalah jembatan yang tak terlihat namun krusial, yang dibangun oleh setiap individu pembelajar, menghubungkan dunia linguistik mereka saat ini dengan bahasa target yang ingin mereka capai. Mengapresiasi jembatan ini berarti menghargai seluruh kompleksitas dan keindahan perjalanan akuisisi bahasa.